CakNun.com

Hanya Pertengkaran Sesama Kurawa

Umar Satrio Hadi
Waktu baca ± 3 menit

Mahabharata atau Ramayana masih saja menawarkan sudut pandang menarik bagi saya, selalu saja begitu. Memang benar, di kalangan Hindu dan Budha, Resi Viyasa dan Walmiki, pengarang keduanya, dianggap setara nabi di Islam dan Kristen karena simbolisasi yang disediakan di sana sangat lugas dan umum untuk mengerti zaman. Jawa, meskipun mengamandemennya habis-habisan, Mahabharata dan Ramayana masih tidak kehilangan relevansinya.

Kurawa memandang Sesepuh, Resi, Begawan, Brahmana, dan Imam sebagai kekuatan politik. Jika tak berpihak pada mereka, maka permainan dijalankan. Degradasi karakter, pendangkalan figur pada sosok Sesepuh, Resi, Begawan, Brahmana, dan Imam dilakukan hingga kemudian mereka hanya dipandang oleh penonton hanya sebagai eksistensi yang ‘berpihak ke mana’. Akhirnya, para Ksatria-ksatria politisi ini memolitisasi untuk kepentingannya. Ksatria dalam artian penguasa mengambil posisi politik yang lebih tinggi di atas mereka. Serat-serat di Jawa mengatakan itu dengan bahasanya, Begawan yang kehilangan ‘Pandhita’nya. Suara-suara Resi, Begawan, Brahmana hanya dianggap sebagai legitimasi politis golongan tertentu.

Pandawa mengambil jalan Kesatria yang berbeda. Ada di pihak mana pun engkau, kau adalah guru untukku. Hal yang menarik, ketika di ambang peperangan hari pertama Bharatayudha, Prabu Yudhistira malah bersimpuh kepada Sesepuh-sesepuh Astina yang berdiri di pihak Kurawa, memohon izin berperang, bahkan menghadapi mereka. Usulan yang ngawur secara politik. Mengingat Resi Bhisma bisa saja mengeluarkan pernyataan tendensius, “bubarkan pasukanmu,” atau, “bunuhlah dirimu.”

Bhisma paham, ia Begawan sejati, perang harus terjadi sebagai penebusan sejuta sumpah dan jalan Kesatria ratusan ribu nyawa. Bhisma memberikan izinnya, Durna menyetujuinya, Salya menangisi sembari mengucapkan kebanggaannya pada Pandhawa. Dan perang pun terjadi.

Oleh Kurawa –Sesepuh, Begawan, Resi dan para Brahmana hanya dianggap sebagai kekuatan politik. Maka, penilaiannya hanya sekadar “engkau mendukungku atau tidak?” Pendangkalan karakter yang cukup umum. Para Sesepuh, Begawan, Resi, dan Imam tidak pernah kemudian dinilai dari apa dedikasinya, keilmuannya, bahkan siapa yang sudah mereka bentuk. Para sesepuh itu, hanya dinilai berdasarkan anggukan kepalanya kepada kelompok penguasa. Jika iya, kau ada di pihakku, namun jika tidak, kita akan beradu pedang, gada dan panah di atas Kurusetra.

Cak Nun menggambarkannya dalam Daur:

Mereka hanya mencari stempel untuk melegitimasi kebenaran mereka sendiri. Mereka butuh backup batiniah dan kerakyatan dari anggukan kepala Cak Sot. Itu bukan penyelesaian masalah. Justru itu adalah penguatan atas kepentingan sepihak dari kelompok yang berkuasa.…” – Daur II-024 – Himpunan Kebaikan dan Cinta

Pandawa bersikap lain, “engkau adalah guruku, kau suruh aku untuk mati pun, aku akan melaksanakannya. Selebihnya, biar Tuhan memutuskan siapa yang benar.”

Atas pandangan itulah, lahir lakon Dewa Ruci, Palguna Palgunadi, Babad Alas Wanamarta, bahkan Wisanggeni Gugat yang menghancurkan Kahyangan. Bagi Ksatria, perintah para Sesepuh, Begawan, Pandhita, Resi, dan Brahmana adalah mutlak. Tidak ada jalan untuk menolaknya, meski mati sekalipun. Selebihnya, biar Tuhan menentukan mana yang benar, mana yang salah. Ajaran Hindu memberi satu konsep yang menarik, Dharma dan Karma akan mengambil persumpahan mereka masing-masing.

***

Di Astina yang sedang mengambil nama lain bernama Indonesia ini, entah, mana Begawan, mana Sesepuh, mana Resi, mana Ksatria? Ataukah, kita semua ini sedang menjalani lakon sebagai Kurawa sepenuhnya? “Kurawa-isme” sebagai sistem, sebagai cara pandang politik, sebagai cara pandang tata negara, sebagai cara pandang sosial? Atau sudah lebih dalam lagi, kita adalah Kurawa sejarah dalam lakon besar Mahabharata dalam lelakon yang dimainkan Sang Dalang Semesta.

Sengkuni hanya tertawa kecil. Semua proyeknya terlaksana. Pecah belah, kekuasaan absolut yang dia kendalikan, intrik-intrik hingga regenerasi pola pikir kepada penguasa. Sementara, Semar dan Kresna masih belum bisa ditebak kapan dan bagaimana akan mulai menggugat.

Pendangkalan figur yang luar biasa ini, di mana sosok hanya dinilai dari keterlibatannya pada kepentingan golongan, dalam pandangan saya merupakan produk dari sebuah penjajahan pola pikir lewat informasi dangkal yang diberikan secara terus-menerus. Yang mana, dalam konteks ini, memengaruhi pola pandang kita pada figur-figur panutan itu.

Dilukiskan dalam salah satu tulisan Daur:

Penjajahan yang semua terang-terangan, kemudian penjajahan yang disamarkan, dan sekarang penjajahan yang wujudnya sama sekali bukan penjajahan, sehingga yang dijajah justru merasa dijunjung dan disantuni. Yang terakhir itu bisa berlangsung karena cara utama penjajahan mutakhir adalah tipu daya melalui pendidikan, hukum, kebudayaan dan kepalsuan-kepalsuan politik. Bisa sedemikian mulus dan dominannya penjajahan dan tipu daya itu karena syarat strategis untuk menjalankannya, yakni proses pembodohan global, melalui penguasan-penguasan nasional, regional dan lokal – berjalan sangat mulus.” – Daur 06 – Ia Saudaraku. Tetap Saudaraku

Di kaki langit yang masih penuh kemurnian, Ksatria muda penuh kewarasan, Wisanggeni dan Antasena masih berhitung-hitung. Kapan kemunafikan itu akan memaksa mereka untuk menggugat dan melawan. Ksatria yang akan membuat Pandawa, Sesepuh, Begawan, dan para Resi kembali mengoreksi dirinya. Sebelum Bharatayudha terpaksa dimulai. Wisanggeni dan Antasena, dua figur Ksatria sejati yang menolak berguru pada siapa pun. Mereka hanya berguru pada dunia, Semar, Togog, dan Sang Hyang Tunggal. Sosok yang, selalu berpihak pada kebenaran.

Astina yang penuh perebutan kekuasaan ini, masih perlu pemahaman menyeluruh. Apakah kita sedang melaksanakan janji suci Bharatayudha, ataukah pertengkaran-pertengkaran remeh-temeh penuh kedangkalan bernama Kurawayudha ini. Peperangan yang seakan-akan kita anggap sebagai Bharatayudha, namun ternyata adalah hanya sesama Kurawa.

Kemudian, untuk ditanyakan pada Astina yang sekarang sedang kita asosiasikan sebagai Indonesia, masihkah ada para Begawan, para Resi, para Brahmana, para Imam? Dan yang lebih penting, Ksatria-kah kita?

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil