CakNun.com

Hanya Karena Hidayah Allah

Firsa Enthovin
Waktu baca ± 4 menit

Zaman sebelum ramainya smartphone, media sosial kami adalah cangkruk ngobrol bareng gayeng layaknya saudara yang tidak pernah bertemu. Di situ apa saja bisa dikatakan, dibahas, dan diungkapkan tanpa membuat tersinggung di antara yang lain dalam satu lingkaran. Ada persaudaraan di sana. Tidak ada tipu daya di antara teman.

Jarang sekali ngrasani pejabat karena itu jelas tidak penting bagi kami, apalagi ngrasani kyai yang merupakan su`ul adab bagi kami sebagai santri kalong atau santri pondok kampung yang jauh dari perkotaan. Karena di desa kami, yang namanya kyai pastinya disegani masyarakat entah dari ilmu yang sudah ditularkan atau sebagai orang yang dituakan di kampung. Entah pernah masuk tivi atau tidak, yang jelas semua para sepuh yang bisa dikatakan menjadi jalan kami menerima hidayah dari Allah, kami anggap kyai. Dan itu hanyalah hasil budaya dan kesepakatan kami sebagai masyarakat level terendah di negeri ini.

Kami juga pernah mendengar kalau tidak ada istilah kyai di dalam Islam sendiri. Dan kenapa istilah kyai itu ada ya karena memang kami yang ‘ngajeni’ para sesepuh dan masyarakat butuh seseorang untuk diajeni. Entah ilmu, nasihat atau apa saja yang membuat kami bisa tetap merasakan indahnya cinta dalam kehidupan sehari-hari lahir dan batin.

Adab dan sopan santun yang tulus dari hati adalah cerminan setiap diri. Belajar dengan melihat, mendengar, dan merasakan dari apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Sekarang orang bisa berbicara atau menulis apa saja di media sosial. Bercerita apa saja boleh di sana, bahkan menghujat pejabat hingga presiden, ngrasani sampai mengolok-olok kyai pun bisa. Dan membaca tulisan-tulisan seperti itu pasti akan membuat pikiran yang jernih akan mampu menilai apakah ini sebuah kemajuan atau malah kemunduran akhlak sebagai seorang ‘manusia’.

Tidak seimbang antara nafsu keduniaan dengan pertumbuhan akidah, begitulah Markesot pernah bertutur. Rasa saling ingin menyalahkan dan menjatuhkan satu sama lain sesama manusia, sesama rakyat, sesama pejabat, sesama muslim, sesama mukmin. Kalau terlalu banyak sampah yang masuk, yang keluar juga pasti sampah-sampah tak berguna dari pikiran dan hati. Tanpa kita punya filter di media sosial membuat diri melupakan keberadaban, sopan santun, dan unggah-ungguh dalam bebrayan. Pandai dan jeli dalam mengolah informasi adalah solusi. Tidak menjadi budak informasi yang hilir mudik, untuk menuju kebijaksanaan sejati.

Hidayah Allah

Ada teman suatu hari bercerita. Dia seorang anak yang tak pernah mondok dan biasa hidup bersama anak jalanan. Sempat sekolah SMA hingga lulus dengan nilai yang “mengharukan”. Suatu hari dia mendengar kabar ada pengajian di Jombang yang rutin diadakan setiap malam tanggal lima belas bulan hijriah. Berangkatlah temanku ke kota Jombang dengan bersepeda motor jadul menempuh jarak kurang lebih delapan puluh kilometer. Dua jam lebih perjalanan akhirnya sampai di lokasi dengan beberapa kali bertanya. Selalu binggung arah jalan karena baru pertama kali menempuh perjalanan sejauh itu, dan baru pertama kali berjalan menuju kota yang asing baginya.

Tidak mudah memang menemukan lokasi pengajian dan itu jauh dari bayangannya sebelumnya. Pengajian Padhangmbulan namanya, dan itu masih asing karena selama ini ia mengenal Cak Nun dari buku-buku atau tulisan esai dan puisi saja. Kadang ia melihat Cak Nun di tivi menjelang adzan maghrib waktu itu, kalau tidak salah acara bertajuk “Cermin”.

Sejak maghrib sudah banyak orang yang datang dengan rombongan dari sekitar Jombang maupun dari luar kota Jombang menggunakan motor yang masih jarang waktu itu. Banyak rombongan naik mobil pick-up, mobil pribadi, bahkan ada yang menggunakan truk yang biasa digunakan untuk mengangkut pasir atau tebu ke pabrik gula.

Menjelang malam sudah ribuan orang yang datang dan acara dimulai setelah ba’da isya. Sholawatan dan Wirid Padhangmbulan bersama semua jamaah membuat hati mak nyess, adem dan ada rasa tentram yang belum pernah dirasakannya.

Setelah pulang dari Padhangmbulan aku tanya dapat apa dari sana? Datang pertama kali ke Padhangmbulan yang paling teringat hanya lafadz  “lailahaillaah”, itu pesan dari Cak Nun katanya. “Saat nafas keluar bilang lailaha dan saat nafas masuk Ilallahhh. Itu bisa kamu jadikan doa, ajian, jimat paling ampuh kalau mau melafalkannya dengan mateg aji (sungguh-sungguh). Sing penting yakin marang gusti Allahhh!”, begitu dia meyakinkanku. Walau Aku sendiri sedikit pening bercampur heran dengan perubahan pada temanku yang satu ini, mungkin beginilah orang yang mendapatkan hidayah dari Allah, pikirku.

Hanya karena hidayah Allah semua bisa datang, dan hanya karena Allah jamaah mau datang jauh-jauh dari luar kota dengan biaya dari hasil jerih payah sendiri. Demi mengobati kerinduan, rasa kangen di hati untuk Maiyahan. Tidak berharap apa-apa dan bermodal kejujuran hati karena ingin belajar dan ketulusan hati untuk tetap belajar. Meningkat atau menurun nilai yang ada dalam diri itu terserah Allah. Hanya Dia yang Maha Menempatkan dan Maha Menata segalanya.

Memang tidak ada niat apa-apa selain ilmu dan cinta kepada Allah dan kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bisa dikatakan jalan menuju ke sana itu ya Maiyah bagi sebagian orang yang tidak berkesempatan mondok atau nyantri pada kyai. Ada kebebasan dan tidak mengikat. Mau datang terserah, tidak ya terserah. Tidak pandang latar belakang. Tidak harus pakai sarung atau kerudung, apalagi bersorban. Semua boleh menjadi satu di Maiyah dan semuanya berjalan begitu saja tanpa ada cela satu dengan yang lain, apalagi kepentingan memperkaya materi.

Ssaling menjaga dan saling menghargai satu sama lain dan lupa akan dirinya sendiri sudah wajar terjadi kalau sudah menyatu dan lebur dalam suasana Maiyahan. Semua berjalan begitu saja, lupa akan apa yang terjadi dengan hiruk pikuk dunia, lupa siapa saja di kanan dan kirinya. Karena hati dan pikiran yang fokus dan berproses menuju kejernihan berpikir dan kejernihan “rasa”.

Tidak ada yang dianggap kyai apalagi ustadz seperti di tivi. Semua berproses dengan sendirinya dan semua terserah individu menafsirkannya dengan kedaulatan pikiran dan hatinya masing-masing. Adab dan sopan santun terjadi otomatis karena saling menghargai dan penuh rasa cinta. Walau seorang preman jalanan yang hidup dalam dunia yang keras bersama debu jalanan, pun menangis kalau sedang bersholawat bersama semua Jamaah Maiyah.

Dengan ber-Maiyah kita menjalin cinta persaudaraan tanpa tendensi. Saling menguatkan dengan rasa cinta, menjernihkan hati, dan pikiran untuk menjadi manusia sejati. Anugerah, hidayah ataupun karomah semua adalah hak prerogatif Allah. Mau diserahkan kepada siapa saja itu terserah Allah. Bahkan seorang preman jalanan pun juga mendapatkan hidayah dari Allah yang tak terduga dan tak disangka dengan hanya datang duduk dan mendengarkan. Maiyah bisa menjadi jalan, menjadi rumah yang teduh dan bisa menjadi lumbung manusia-manusia yang selalu berharap hanya kepada Allah.

Lainnya

Batu Meleleh Jadi Air

Batu Meleleh Jadi Air

Ada baiknya kita menemukan bersama kenapa nama “Gambang Pesisiran” bukanlah sekadar nama rubrik di koran.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib