Hakekat Ilmu Itu Meliputi
“Sebagaimana dunia adalah bagian yang paling hina dari akhirat”, lanjut Sundusin, “bumi adalah bagian yang paling pragmatis dari langit atau semesta. Kesementaraan dunia adalah bagian yang paling awam dan rendah kualitasnya dibanding keabadian akhirat”
“Kenapa semua Ulama, semua khazanah ilmu, bahkan firman-firman Tuhan, termasuk dalam kalimat-kalimat yang diajarkan untuk kita lantunkan sebagai doa-doa, menyebut dunia dan akhirat seakan-akan itu adalah dua hal?”, Seger berburu pengetahuan.
“Yang bisa kita jangkau dengan penalaran akal: mungkin jawabannya adalah, karena Tuhan menciptakan manusia dengan keterbatasan dan kekurangan, sehingga komunikasi dan informasi dari Tuhan pun dituturkan sebatas atau disesuaikan dengan kekurangan bahasa manusia juga”
“Jadi”, Jitul mengejar, “salah kalau saya menanyakan pertemuan dengan Rasulullah itu jasadiyah ataukah ruhaniyah?”
Ndusin menjawab dengan tersenyum, “Pakde tidak mungkin bisa menyalahkan, karena tidak berada pada posisi untuk mampu membenarkan. Pertemuan dengan Rasulullah mestinya bisa beribu macam bentuknya, sistemnya, formulanya. Bisa seperti pertemuan kita sekarang ini, bisa ada rasa mengalami ketemu, ada seperti mimpi, atau bisa tiba-tiba saja sudah ada hal-hal yang bisa kita ungkapkan seakan-akan sebelumnya terjadi perjumpaan. Mana saya tahu. Sesungguhnya hakekat ilmu itu ‘meliputi’, tetapi dalam hal ini kita sangat ‘diliputi’. “Dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” [1] (At-Thalaq: 12)
“Sesungguhnya ilmu Tuhanmu meliputi segala manusia” [2] (Al-Isra`: 60). Jadi, jangan mengharapkan kebenaran dari Pakde”.