Hak Untuk Tidak Mati
Sebelum bisa kutemukan Iblis untuk kutantang berkelahi, malah salah satu dari diriku yang mempertengkariku.
“Apa maksudmu menyimpulkan Bapak Hak Asasi Manusia adalah Iblis?”
Aku tidak mau ditekan oleh diriku yang ini. Aku tetap mencoba santai dan tersenyum, sehingga ia sedikit merasa kuremehkan.
“Lho kan kamu sendiri yang menyodorkan kesimpulan itu kepadaku”, kataku, “bahwa Hak Asasi Manusia awal mulanya adalah Hak Asasi Iblis”
Diriku itu pernah menguraikan kepadaku bahwa Iblislah yang pertama-tama mengklaim hak Tuhan sebagai hak-nya. Tidak logis bahwa Iblis punya hak. Atas dasar apa Iblis merasa punya hak. Iblis tidak punya saham apapun atas eksistensinya. Iblis tidak mampu menciptakan dirinya sendiri. Iblis tidak punya kesanggupan untuk menciptakan sehelai rumput pun, apalagi jagat raya yang dahsyat dan mengagumkan. Iblis hanya diadakan oleh Tuhan.
Iblis hanya makhluk yang diselenggarakan oleh Tuhan. Seluruh komponen yang menjadikan ia adalah Iblis bukanlah ciptaan dirinya sendiri, melainkan diinisiatifi oleh Tuhan. Apapun saja yang ada yang menyangkut diri Iblis adalah seratus persen saham Tuhan. Maka hanya Tuhan yang juga absolut memegang hak. Andaikan secara teknis ada disebut bahwa Iblis punya hak asasi, pada hakikatnya itu bukan hak otentik. Bukan hak asasi. Melainkan kemurahan Tuhan untuk meminjamkan apa yang seolah-olah hak itu menjadi seakan-akan miliknya.
Kalau Iblis punya mata dan bisa melihat, sesungguhnya tidaklah ada rasio kenyataan bahwa Iblis punya mata dan bisa melihat. Iblis hanya dipinjami penglihatan oleh Tuhan dan diperkenankan untuk bisa melihat dengan matanya itu. Tetapi sejatinya pemilik mata Iblis adalah Tuhan. Dan ketika Iblis melihat, sejatinya Tuhan sendirilah yang melihat.
Iblis asal-usulnya adalah Malaikat. Ketetapan absolut atas Malaikat adalah “ya’maluna ma yu`marun”: mengerjakan yang diperintahkan, Malaikat hanya melakukan yang Tuhan memerintahkannya untuk melakukan. Iblis tidak melakukan apapun yang Tuhan tidak memerintahkannya untuk melakukan. Kemudian Malaikat senior itu digelari Iblis karena dia mengklaim hak Tuhan sebagai hak-nya. Hak asasi hanya milik Tuhan, tetapi Iblis merebut dan mendeklarasikan Hak Asasi Iblis.
Ibarat lukisan, Tuhan adalah Maha Pelukis, yang berhak absolut untuk melakukan apa saja atas lukisan-Nya. Berhak mengubah warnanya, merevisi susunan garisnya, memperbaiki estetika cuatan-cuatannya, bahkan Tuhan berhak menghapus lukisan itu kemudian menggantinya dengan lukisan yang baru.
“Bertasbih kepada-Nya segala apa yang di langit maupun di bumi”. Seluruh yang berlangsung di alam semesta, yang bergerak, yang bergetar, yang mengalir, yang diam dan yang membisu – melakukan kepatuhan mutlak kepada Tuhan. Sampai kemudian Iblis mengambil jarak dari mekanisme ketaatan itu. Menawar kepada Tuhan untuk memilih sesuatu yang dikehendakinya. Dan di antara yang dikehendaki oleh Iblis, terdapat hal-hal yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Tuhan memperkenankan usulan itu, sehingga ditandatanganilah kontrak dengan Iblis yang berlaku hingga Hari Kiamat. Usulan tentang dialektika antara baik dengan buruk, antara gelap dengan cahaya, kemungkinan antara sorga dengan neraka. Usulan untuk menempuh kehidupan di rentang jarak intelektual. Maka berubahlah kehidupan para makhluk di alam semesta. Kemudian anak-anak Adam mewarisi dialektika dan halusinasi hak-hak itu. Qabil menerapkan haknya untuk memilih istri, yang oleh Bapaknya sudah dinikahkan dengan Habil kakaknya. Terjadi perbenturan itu dan Qabil membunuhnya.
Andaikan ada ketentuan atau perkenan Tuhan bahwa Malaikat memiliki kemungkinan untuk tertawa, maka aku membayangkan Sembilan belas Malaikat tertawa-tawa, melihat perubahan kehidupan di alam semesta itu. Mereka menunggu waktu sebelum mereka bertugas di neraka: berkeliling mengamati betapa ummat manusia amat mantap dan sibuk dengan Hak Asasinya. Manusia memproklamasikan berbagai hal yang mereka sangka itu adalah hak-haknya:
“Aku berhak untuk memilih kawin dengan lawan jenis atau sesama jenis”. Para Saqar tertawa. “Besok area hak itu berkembang: aku berhak memilih berumah tangga dengan sesama manusia atau dengan kambing, Jin, hantu atau siapapun saja”.
“Bumi dan isinya adalah milikku, tanah ini milikku, kupegang surat pengesahannya dari Negara”. Salah satu Saqar tertawa terpingkal-pingkal. “Aku berhak menggali tambang dan kekayaan apapun saja dari perut bumi”. “Ini kakiku, aku berhak melangkah ke manapun aku mau. Ini tanganku, aku berhak melakukan apapun saja dengan tanganku. Ini mataku, telingaku, pikiranku, hatiku, darahku, sarafku, ototku, bulu-buluku, alis-idepku. Aku merdeka menggunakan semua milikku itu untuk apa saja semauku. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa…”
Saqar yang kesembilan belas nyeletuk: “Aku berharap manusia mengembangkan terus kreativitas hak-hak asasinya”
“Maksudmu?”, tanya Saqar ketiga belas.
“Manusia meresmikan pasal konstitusi Negaranya, bahwa manusia berhak untuk tidak mati. Setiap calon bayi berhak memilih siapa Ibu dan Bapaknya. Setiap janin berhak menentukan ia dikandung oleh Ibu di Afrika atau Kuba. Agar tatkala lahir, bayi tidak lagi menangis karena menyesali kenapa yang itu Bapaknya. Setiap manusia memegang hak asasi untuk menunda waktu terbitnya matahari, mengatur menit buang air besarnya, serta mengubah skedul kencingnya.”
Saqar ketiga belas tertawa lebih keras. “Manusia akan mendeklarasikan hak asasinya untuk menolak mati. Hak untuk bunuh diri, sebagai individu maupun sebagai bangsa, sebagaimana yang sedang berlangsung di Negeri Kepulauan itu. Memperbanyak jumlah detak jantungnya. Membatalkan gunung meletus. Menolak keausan tulang dan seluruh perangkat tubuhnya. Bahkan akan ada a new declaration of independence di mana lelaki menolak batasan memanjang dan membesarnya alat kelaminnya…”
Yogya, 1 Oktober 2017