Golek Panggonan Sejati
Judul ini terinspirasi dari dialog di Grup WA simpul JM Magetan yang kebetulan bulan ini ketempatan sebagai tuan rumah rutinan Waro’ Kaprawiran. Saat itu dulur-dulur tarik ulur soal tempat ngumpul bareng tersebut. Bukan apa-apa mengapa kita semua diskusi soal tempat, sebab ia harus dipertimbangkan dari segala sisinya. Kemudahan akses transportasi bagi dulur-dulur yang jauh, kenyamanan selama acara berlangsung, parkir dan sebagainya. Akhirnya tempat diputuskan di rumah Mas Alif yang berada di Desa Petungrejo Kecamatan Nguntoronadi.
Kebingungan dalam menentukan tempat malah kemudian diusulkan oleh kebanyakan dulur untuk menjadi tema WK bulan ini, yakni Golek Panggonan Sejati. Secara eksplisit judul tersebut bertujuan agar dulur-dulur bisa menentukan panggonan ngumpul bareng yang memenuhi prasyarat. Dan secara implisit agar kita tidak akan kebingungan dalam menentukan tempat persinggahan sejati kelak.
Manusia secara ruhaniah berasal dari unsur ilahiyah yang dibungkus dengan unsur hina (bumi) sebagai tempat singgah sementara. Ia sejatinya adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un).
Saat manusia dilahirkan, ia seperti dilepaskan begitu saja di belantara dunia ini untuk mencari dan menemukan tempat kembali di mana ia berasal dulu. Ruh Suci dari Gusti harus berbalut dengan wadag kotor yang selalu minta dimanjakan dan dipenuhi segala permintaannya.
Perang Bubruh antara ajakan ruh suci yang mengutamakan kebaikan dan kesejatian dan bujuk nafsu ragawi tak pernah berhenti selama manusia menghembuskan nafas. Hasil dialektika dari peperangan tersebut tersebut menghasilkan jiwa kita: seperti apakah ia?
Menjadi jiwa yang muthmainnah, jiwa yang tenang, rela dan direlakan oleh yang memiliki titah kehidupan, sehingga diperkenankan bahkan diundang untuk kembali ke Panggonan yang Sejati? Atau menjadi sebaliknya jiwa yang sakit, gelap, tak pernah tahu jalan pulang rumah/panggonan yang sejati ?
Dunia yang merupakan tempat singgah raga menjadi surga bagi mereka yang tidak pernah berpikir tentang kesejatian. Bagi mereka dunia adalah surga itu sendiri, yang cara apapun dilakukan untuk berburu dan mendapatkannya. Meski dengan jalan yang mengingkari nurani dan bertentangan dengan naluri mereka sendiri. Bagi kita ia tak lebih adalah tempat singgah sementara dan sangat singkat sekaligus perantara menuju keabadian dan panggonan sejati kita.
Oleh sebab kesementaraan itu tadi, di sini kita oleh Kanjeng Nabi Muhammad diperintahkan untuk memiliki prinsip kewajaran dalam mensikapi dunia dengan segala isinya. Kita disuruh seperti seorang musafir yang singgah sementara, sekedar mampir ngombe dan makan seperlunya di suatu tempat untuk kemudian melanjutkan perjalanan panjang menuju tujuan utama.
Kesadaran tentang kesementaraan dan dunia mungkin telah menjadi pengetahuan bersama kita, bahkan sudah merasuk dalam sanubari kita. Juga segala bentuk godaan dan keindahan yang ditawarkan panggonan semu yang bernama dunia ini telah mampu kita identifikasi.
Namun lihatlah, cengkeraman kuku dan taring tajam tipu muslihat itu begitu kuat dan tajam. Dan tipu daya itu semakin hari semakin canggih modus dan casing-nya. Sehingga kita harus memasang kewaspadaan yang berlipat untuk tidak terjerembab dan tergelincir dalam menuju panggonan yang semestinya.
Sudah cukup rasanya sekian lakon yang disuguhkan di hadapan kita, betapa mengenaskan ujung dan nasib akhir tragis para pemuja kepalsuan. Namun di waktu yang sama berapa banyak manusia yang terus mengabadikan lakon yang mengenaskan itu.
Kita semua berjuang entah sampai kapan di waktu yang seolah tak berpenghujung, namun sebenarnya benar-benar singkat seperti kelebatan kilat. Namun dalam singkatnya waktu yang dianugerahkan, masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan dulur-dulur yang selalu ikhlas mengingatkan tentang kesementaraan dunia seisinya. Dan selalu mau bergandengan tangan untuk selalu berburu dan mengorientasikan keseluruhan nafas dan gerak demi kesejatian.
Kesejatian dalam paseduluran, kesejatian dalam transaksi, dalam obrolan, dalam cara pandang, dalam mencari karunia demi menyambung hidup. Kesejatian dalam berseni, dalam memaknai rangkaian peristiwa yang disajikan Gusti di hadapan mripat kita. Meskipun tentunya kadang terlihat dan terkesan seperti bercanda, guyon dan seringkali sangat tidak serius.
Memang mau apa? Bukankah hidup sekedar sendau-gurau yang tidak boleh dimasukkan dalam hati. Cukup disikapi dengan sejengkal pikiran dari luasnya akal yang dianugerahkan.
Jangan pernah hiruk-pikuk dunia sampai dimasukkan ke dalam hati. Terlampau menyakitkan nanti. Hati tidak boleh dimasuki oleh apapun, Tak satupun boleh bertahta di dalamnya kecuali yang sejati.
Jika ia mampu kita jaga agar hanya yang sejati yang menjadi raja dan bertahta di singgasana itu, maka panggonan sejati kelak akan kita peroleh bersama.
Kita yakin bahwa bahwa orang-orang dan dulur-dulur yang melingkar adalah mereka yang sudah sangat bosan dengan segala macam kepalsuan. Mereka adalah pemburu dan para perindu kesejatian dalam tingkat dan kadar yang tentu saja beragam.
Intensitas pertemuan dan kesungguhan dalam belajar hari demi hari akan semakin memberi bentuk dan warna dari kerinduan tersebut. Kita bertemu sejatinya tak lain adalah dalam rangka mewujudkan kerinduan untuk bisanya kelak mendapatkan tempat mulia/panggonan yang sejati dihadapan Yang Maha Menitahkan kita.
Semoga.