Gitaran Lagune KiaiKanjeng
Gitaran. Hal yang masuk dalam kategori membahagiakan ketika usia saya baru belasan tahun. Gitaran menjadi semacam ajang pertunjukan ala kadarnya bahwa saya, yang masih imut, sudah bisa memainkan lagu-lagu yang cukup dikenal atau terpaksa dikenal oleh tetangga-tetangga. Band-band yang sempat terkenal di era 90an, khususnya yang dari Indonesia, wa bil khusus yang berasal dari kota Yogya, insyaallah sampai sekarang cukup awet dan mendapatkan tempat tersendiri karena memang meninggalkan kesan yang mungkin cukup mendalam bagi sebagian remaja kala itu. Kaset-kaset pita menjadi primadona. Album lagu yang dikemas menjadi kisi-kisi untuk ikut bernyanyi karena di dalamnya memuat lirik dari lagu-lagu di album itu. Berburu album baru memiliki nilai ‘kegaulan’ tersendiri bagi kaum di era itu.
Gitaran. Tidak membutuhkan setting panggung yang ‘wah’. Tidak perlu juga harus memiliki perizinan dari aparat keamanan. Tidak perlu juga mendatangkan perangkat tata suara berdaya puluhan ribu watt. Tidak juga harus ada fasilitas tambahan, semisal akomadasi hotel berbintang, dan tersedianya makanan-makanan khusus di back stage. Bahkan dengan sangat ekstrim, tidak peduli ada penonton atau tidak. Pelaku bisa berlaku sekaligus sebagai penonton. Proposal sponsor tak usah disiapkan. Karena memang, siapa pula yang sudi memberikan dana bantuan kalau pertunjukkannya hanya berskala gitaran?
Gitaran. Kemampuan yang dimiliki cukup dengan mengenal alur lagu dan kunci lagu. Itu pun bebas seperti apa tafsir kami terhadap lagu yang kami mainkan. Kalau kami sudah merasa benar, tidak ada masalah. Mainkan saja. Gitaran saja. Detail lagu seperti nada-nada yang dimainkan pada bagian intro atau tengah, bahkan akhir lagu, tidak wajib untuk dibawakan. Gunakan saja mulut sebagai pengisi melodi. Teknik seperti ini ada yang menyebutnya dengan ‘MelCot’ alias melodi cocot. Ada yang menyebutnya dengan ‘MelKem’ alias melodi cangkem. Terserah-serah kami mau memakai kata ganti mulut yang mana. Cocot, cangkem, congor, lambe, mouth, yang mana saja tidak ada juknis resminya. Tidak ada guide booknya. Alur juga boleh diterabas dilewati begitu saja. Tahu-tahu masuk bagian reff. Tahu-tahu masuk ke bagian akhir lagu. Tahu-tahu ganti lagu atau nyambung ke lagu yang lainnya.
Gitaran. Cukup dengan satu gitar. Persetan dengan fals apa tidak. Bodoh amat dengan apakah ‘stem’an gitar kami sudah standar apa belum. Pokoknya asal ada gitar dan genap enam senarnya, mari mainkan. Perkara yang terdengar adalah susunan nada disharmoni bin sumbang, itu urusan yang mendengarkan. Ilmu harmoni tidak begitu dibutuhkan. Keseimbangan suara yang dihasilkan njomplang atau njegleg sekalipun silakan. Pokoknya yang merasa bisa, ayo gitaran. Syukur lagunya up to date. Sehingga semua orang yang ikut terlibat dalam gerakan Gitaran bisa ikut bernyanyi. Tentu saja tetap dengan kaidah ‘bodoh amat’ dan ‘persetan’ dengan kualitas keindahan suara yang dihasilkan. Tidak ada keharusan. Pun tidak ada pelarangan. Karena bukan prestasi yang harus dibanggakan. Dan bukan sesuatu yang membahayakan untuk dilarang.
Gitaran. Perempatan jalan berubah seketika menjadi area panggung. Bok, kursi permanen yang bahannya mirip dengan tembok rumah, atau lincak bambu menjadi panggung utamanya. Tidak ada pagar pembatas antara panggung dan penonton. Tidak juga dibatasi dengan durasi waktu. Tidak ada yang merasa terganggu. Karena cara berpikir masyarakan di dusun saya sudah memiliki konsep “Ngko nek kesel lak leren dhewe.”. Iya, dan kami sebagai aktivis Gitaran pun sadar diri untuk hal itu. Sekuat-kuatnya kami gitaran, energi kami ada batasnya. Atau katakanlah kami aktivis Gitaran yang memiliki level kesaktian yang luar biasa sehingga kami tidak akan pernah merasakan capek meski gitaran semalam suntuk. Tetapi ingat apakah jumlah kuota lagu yang kami mainkan akan sebanding dengan energi yang kami miliki? Mampu memainkan sepuluh lagu secara utuh itu sudah bagus. Sudah banyak yang bahagia. Terutama pemuda-pemuda yang sedang tebar pesona. Syukur-syukur teriakan mereka terdengar oleh perempuan yang ditaksirnya. Mereka, termasuk saya sudah cukup bahagia.
Gitaran. Gitar bermerk bukan yang utama. Gitar-gitar kelas sayur atau murahan cukup menjadi media penyalur gembira. Tidak butuh gitar bermerk. Apalagi gitar yang merknya sama dengan merk sepeda motor itu. Kondisi gitar bisa dalam kondisi yang bagaimanapun. Sudah mulai mengelupas catnya. Sudah mulai terlihat retakannya. Sudah mulai dipenuhi stiker-stiker yang ditempel dengan seenaknya. Dan senar berkarat akhirnya. Asal tangan masih kuat. Asal tangan tidak mengalami kesakitan atau terjangkit tetanus, kami akan tetap gitaran setiap malamnya.
Gitaran. Kami tidak merangsang datangnya curiga dari pihak yang berwenang. Intel-intel juga pasti enggan berdatangan. Karena kami sekedar gitaran.
Oleh sebab itu, maka…..
Karena pemahaman hidup saya masih dalam level Gitaran, saya berusaha sekuat mungkin untuk bisa menemukan titik-titik mana dalam hidup saya yang harus terus senantiasa saya benahi. Pelan-pelan saya mencoba memahami dunia tata suara. Misalnya, saya mengidolakan, Sheila on 7 sejak remaja hingga sekarang. Pemahaman saya akan Sheila on 7 tidak lantas berhenti pada wilayah ‘bisa gitaran’ lagu-lagu Sheila on 7. Tetapi saya tambah dengan penelitian-penelitian kecil terhadap tata suara dan Sheila on 7. Adakah perbedaan daya tangkap telinga saya terhadap tata suara pada saat mereka merekam lagu-lagu untuk kaset /CD/vinyl dengan tata suara saat mereka live concert di panggung? Untuk mengetahui hal itu saya harus meluangkan waktu untuk menonton konser mereka dari awal sampai akhir. Tentu saja yang gratis. Kalau untuk era sekarang mungkin juga akan saya tambahi dengan melihat konser mereka lewat video yang tersebar di kanal-kanal YouTube. Dari penelitian itu saya harap ada sesuatu yang saya dapatkan. Sederhana saja. Apa yang saya tangkap, dan apa imbasnya? Mendengarkan lagu melalui kaset/CD berbeda dengan menonton live concert, dan berbeda pula dengan penonton video lewat YouTube. Nggak mungkin kalian akan teriak-teriak histeris memanggil-manggil Duta ketika mendengarkan lagu Sheila on 7 dengan headset. Menangis galau masih mungkin. Nggak mungkin juga kalian akan misuh-misuh dalam hati karena live concert yang kalian tonton di tanah lapang tidak membutuhkan koneksi internet atau tiba-tiba buffering karena internet lemot. Tidak ada bau keringat. Tidak ada teriakan histeris penonton di sebelah kita. dan tidak ada senggolan dari penjaja minuman keliling di sekitar panggung. Apa itu berpengaruh terhadap indera pendengaran kita? Jelas. Titik api alias fokus kita bisa dengan cepat mengalami split. Terbagi secara mendadak dan acak.
Saya mengoleksi video-video live concert dari YouTube. Banyak. Cuma bisa saya pastikan berbeda dengan menonton langsung konser mereka. Live concert bisa ribut? Bisa. Tetapi mesti aparat sigap mengamankan. Penampil juga sigap dan bereaksi segera menghentikan konsernya. Itu lazim. Kalau ada kerusuhan pasti segera diselesaikan. Bedanya dengan YouTube, satu, mungkin sudah diedit atau disunting atau dipotong. Dua, suara yang terdengar dari speaker gawai anda dengan suara sound system saat anda mendengarkan secara langsung pada saat peristiwa itu berlangsung, frekuensinya mesti beda. Pasti lebih kelihatan tingkat kejernihannya. Frekuensi itu mempengaruhi penilaian kita terhadap sesuatu lho. Reaksi kita insyaallah tidak akan sama.
Makanya kalau referensinya hanya berdasar video konser dari youtube, coba ditambah dengan datang secara langsung ke konser-konser. Ada banyak hal yang insyaallah dapat panjenengan dapatkan. Dari mencari tempat parkir, sampai harus tahu dimana letak toilet. Juga di titik mana anda akan berdiri menikmati konser itu. Point of viewnya benar-benar anda perhitungkan. Perlu bergoyang atau tidak. Karena itu penting. Kalau dari video dari youtube kan bisa anda nikmati sembari di dalam toilet. Point of viewnya ya manut kamera dan tergantung seberapa inch gawai yang anda bawa. Juga agak sulit untuk bergoyang. Nylepret mengko.
Dan…..
Gitaran. Ternyata tidak semua lagu bisa dinikmati dengan gitaran.
Gitaran. Ternyata tidak semua lagu bisa dibawakan dengan gitaran.
Saya belum pernah mendapati lagu-lagu KiaiKanjeng dibawakan cukup dengan Gitaran. Maka dari itu saya memilih untuk mendengarkan secara langsung jika ingin mendengarkan lagu-lagu KiaiKanjeng. Pun tidak memilih menikmati video lewat YouTube. Karena, manusia level gitaran seperti saya, masih sering was-was terhadap kuota data. Bahasa Jermannya eman-eman. Jaman sulit, harus irit.
Begitu juga dengan ‘yang sering satu panggung’ kemana-mana bersama KiaiKanjeng. Tidak cukup lewat buku, harus datang ke forum-forum beliau. Tidak cukup hanya lewat video, tapi juga bertatap muka, syukur bisa ketemu dan mendengarkan secara langsung apa saja yang beliau sampaikan. Kalau perlu tanpa michrophone. Alias berdekatan dan pulang diakhiri salaman.
Monggo yang mau Gitaran Lagune KiaiKanjeng…
Kalau saya lagunya Sheila on 7 saja. Atau KLA Project. Atau Jikustik. Atau Shaggydog. Atau Endang Soekamti. Atau Festivalist. Atau Captain Jack. Atau Sri Redjeki. Atau Letto ya boleh lah. Asal dari Yogya.