Ghaib Itu Perkasa dan Bijaksana
Sebenarnya sejak awal-awal dulu anak-anak muda terlibat dalam komunitas lanjutan Patangpuluhan, sekali dua kali sudah mendengar sejumlah pemahaman dan rumusan tentang keghaiban, berasal dari yang mereka dapat dari Mbah Markesot entah melalui tangan ke berapa.
Misalnya, satu menit di depan setiap manusia adalah keghaiban. Penjelasan sederhana yang lain, umpamanya, keghaiban adalah segala sesuatu yang seseorang belum tahu. Boleh soal pesawat angkasa ke Bulan, soal isi perut telepon genggam atau perut Ibu. Bisa juga narik taksi akan dapat berapa penumpang dan jualan makanan akan didatangi berapa pembeli. Sejak bayi, sekolah Kanak-kanak, hingga Sarjana Utama, pekerjaan utama manusia adalah menembus wilayah keghaiban, agar kemudian tidak menjadi ghaib lagi.
Dan ternyata di puncak pembelajaran ditemukan bahwa puncak pengetahuan adalah ketidaktahuan. Puncak penglihatan adalah kebutaan. Puncak pencapaian adalah kekosongan. Kemudian disadari bahwa jarak antara “besi” dengan “probabilitas” adalah infinitas. Bahkan manusia yang menggunakan akalnya akan pasti tercampak di tanah terjal dan sepi dari lembah remang kehidupan, di mana ia termangu-mangu menatap hatinya sendiri yang ternyata adalah keghaiban.
Akan tetapi semua itu bukanlah atau belumlah sampai pada dimensi yang dimaksudkan oleh Allah sebagai keghaiban. “Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. [1] (At-Taghobun: 18). Hanya Allah yang benar-benar bisa membedakan antara yang ghaib dengan yang nyata. Dan ternyata lingkup tema keghaiban itu bukanlah ilmu dan pengetahuan, melainkan keperkasaan dan kebijaksanaan. Betapa “tidak akademis-Ilmiah”nya spektrum logika yang dihamparkan oleh Tuhan.
“Itu juga area ghaib yang sangat menggiurkan”, kata Pakde Tarmihim.