Gelisah
Gelisah itu hal yang lumrah dan jamak bagi Emha atau Cak Nun. Sahabat karibnya sejak kecil. Jika kegelisahan memuncak tak ada yang memberi tawaran maka terapi jiwanya adalah mlungker di atas tikar sambil mendengarkan lagu-lagunya Ummi Kultsum atau qiroah-nya Syeikh Abdul Basith dari recorder. Teknologi belum secanggih sekarang.
Sedangkan lapar baginya adalah makanan sehari hari. Sehari paling makan sekali. Siangnya atau malamnya makan kalau ada yang njajakke. Itu berlangsung bertahun-tahun. Bila makan pun menunya sederhana. Nasi pecel tempe goreng sama krupuk. Kalau tak ada cukup nasi “dikrawu”. Nasi anget dicampur parutan kelapa diberi garam. Itu sudah mengantarkannya fly, ekstase. Satu kebiasaan yang tak hilang sampai sekarang itu rokok kretek sama ngopi. Nasgitel atau nasgideng yang penting kopi. Mestinya dia yang cocok juga jadi bintang reklame kopi.
Tidak usah repot jika sewaktu-waktu Engkau kepingin menghampirkan Cak Nun ke rumahmu. Menu misonabe, sukiyaki, shabu shabu, dan sea food sama sekali tak ada bayangan. Sate kambing saja bagai barang mewah yang sulit digapai. Maka dalam puisinya “Aku Seorang Gelandangan” makan di Malioboro cukup dengan gudeg tempe. Minumnya susu jahe. Bukan gudeg telor atau ayam. Minumnya bukan susu, bir atau red wine, white wine. Tapi cukup teh jahe.
Pernah suatu hari salah seorang kawan akrabnya yang satu profesi “gelandangan” Malioboro dan sama-sama memiliki pandangan yang sama bahwa sate itu makanan surganya orang kaya ke jalan Pasar Ngasem dekat Kadipaten Wetan. Mereka serempak jalan kaki dengan gagah membayangkan sate yang konon warung sate di situ tidak hanya kondang rasane. Tapi juga tersohor penjualnya yang hitam manis semplohoy.
Tapi ketika selesai makan hendak membayar mereka saling berpandangan. Sama-sama tidak ada yang bawa uang. Yang ngajak pun hanya katawa-ketiwi. “Loh, aku cuma ngajak. Bukan mbayari.” Demi persatuan dan kesatuan, Eko Tunas (penyair, sastrawan yang kini tinggal di Banyumanik Semarang) perlahan-lahan melepas arloji yang baru beberapa bulan diterimanya sebagai oleh-oleh saudaranya dari Jerman. Mereka pun segera pulang sambil tertawa akrab tak ada dendam. Selamatlah NKRI. Nasib Kelaparan Hari Ini.
Kegelisahan yang menimpa Cak Nun hari ini tampaknya cukup bikin bingung. Mondar-mandir memendam sesuatu yang tak diucapkan. Bukan perkara sate atau lapar. Setelah didesak baru bicara perlahan, “Jika nganggur pinjam mesin ketikmu sebentar”.
Kami saling berpandangan. Mesin ketik baginya adalah dapur bagi hidup sehari hari. Saya sangat paham. Mesin ketiknya pasti sedang sekolah di Pegadaian dekat Mapolresta Ngupasan.
Tik tak tik tak sampai pagi entah sudah berapa judul mengalir dari sebelas jarinya. Sepertinya tak ada kertas yang dibuang karena salah. Belum ada tipe ex atau cara men-delete seperti sekarang ini.
Cak, sekarang mesin ketiknya masihkah ada? Sudah lulus atau masih sekolah? Mesin ketik kecil Brother warna putih tulang itu tinggal kenangan. Saksi bisu menghadirkan beribu tulisan.