Garuda Nusantara Menatap Piala Dunia 2026
Pada hari-hari terakhir ini, selain mengikuti pertandingan Piala AFF U-18 di Myanmar, di kampung saya juga sedang berlangsung Turnamen Sepakbola “Tarkam” yang memang rutin dilaksanakan setiap tahun, entah sebelum 17 Agustus atau setelahnya. Sepakbola “Tarkam” ini juga digelar di kampung-kampung sekitar. Jangan ditanya apakah turnamen “Tarkam” ini taat dan patuh kepada statuta FIFA atau tidak, karena urusan utamanya adalah hiburan rakyat. Setidaknya fenomena turnamen “Tarkam” ini benar-benar membuktikan bahwa sepakbola adalah olahraga yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Kita memang punya banyak jawara di cabang olahraga Bulutangkis, dan ketika pemain-pemain kita berhasil juara pun, kita tetap bangga atas prestasi mereka. Tetapi memang mayoritas rakyat Indonesia lebih menyukai cabang olahraga sepakbola. Bahkan di ajang SEA Games lalu, olahraga sepakbola adalah cabang yang paling ditunggu-tunggu dan mendapat atensi lebih dari cabang olahraga lainnya.
Meskipun cabang olahraga lain seperti panahan dan atletik berhasil meraih medali emas, bahkan seandainya Indonesia mampu menjadi Juara Umum SEA Games seperti tahun 2011 lalu, tetap akan terasa hambar karena sepakbola kita gagal meraih medali emas. Tanpa mendeskreditkan cabang olahraga lain, memang begitulah faktanya.
Saya kembali teringat, Cak Nun pernah menulis tentang dinamika sepakbola Indonesia yang disebut sebagai “Sepakbola Kultural”. Sepakbola di Indonesia masih mengandalkan bakat alam, intuisi, dan insting dalam dimensi yang paling natural. Meskipun ada target-target yang sifatnya prestasi, tetapi masih dalam skala lokal. Klub sepakbola di Indonesia selalu berbenah setiap musimnya, tetapi ketika mengikuti kompetisi di tingkat Internasional, mereka belum benar-benar mampu bersaing dengan klub sepakbola dari Negara tetangga di wilayah Asia Tenggara, apalagi dengan Negara-negara di Asia. Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh PSSI dan para pelaku sepakbola di Indonesia jika memang kita benar-benar ingin lolos ke Piala Dunia.
Pada awal 2017 lalu, PSSI menyatakan bahwa target prestisius yang hendak dicapai adalah lolos ke Piala Dunia 2026. Ketika PSSI mengungkapkan target tersebut, Coach Indra Sjafri masih menjadi pelatih Bali United, tim yang kemudian saat ini ditangani oleh Coach Widodo C. Putro dinilai banyak pihak menjadi tim paling atraktif dan paling menarik sejauh ini di Liga 1 Indonesia. Dua tahun kurang lebih Coach Indra menanamkan fondasi permainan di Bali United. Dan meskipun telah berganti pelatih, Bali United tetap menjadi klub yang diperhitungkan di Liga 1 Indonesia musim ini.
Jika kita melihat kondisi sepakbola kita pada awal 2017 ini, mimpi untuk lolos ke Piala Dunia di tahun 2026 terasa sangat mustahil. Tetapi, setelah gelaran SEA Games di Kuala Lumpur dan Piala AFF U-18 bulan ini, sepertinya tidak berlebihan jika PSSI menargetkan lolos Piala Dunia 2026. Bahkan, dengan kondisi baru saja bebas dari sanksi FIFA, Tim Nasional Indonesia berhasil menembus final Piala AFF akhir tahun lalu, meskipun harus puas di posisi langganan; runner-up. Selain itu pada 2026, FIFA sendiri sudah memutuskan bahwa jumlah peserta akan ditambah menjadi 48, dimana wakil dari Asia dan Afrika akan mendapat jatah tambahan terbanyak. Memang perjalanan itu masih panjang. Belum lagi secara ranking FIFA, Indonesia masih di bawah Vietnam, Myanmar dan Thailand. Bahkan Malaysia pun masih di atas kita.
Tak usah jauh-jauh kita berkaca, cukup kepada Thailand saja. Pada kurun waktu 2004-2012 mereka mengalami paceklik prestasi sepakbola di tingkat Asia Tenggara. Dalam kurun waktu itu pula mereka melakukan pembenahan, salah satunya adalah dengan mempercayakan pelatih lokal; Kiatisuk Senamuang. Hasilnya, Thailand meraih medali emas di SEA Games tahun 2013 dan menembus empat besar Piala Asia 2014. Akhir tahun lalu, ia berhasil mengantarkan Thailand menjuarai Piala AFF setelah mengalahkan Indonesia di babak final. Kemudian, bulan lalu Thailand juga berhasil meraih medali emas di SEA Games Kuala Lumpur. Terakhir, Tim Nasional Thailand U-19 berhasil menjuarai Piala AFF U-18 di Myanmar. Maka jangan kaget jika Thailand menjadi salah satu peserta di Piala Dunia 2026 nanti.
Kepercayaan terhadap pelatih lokal mutlak dibutuhkan. Kita selalu percaya bahwa kualitas pesepakbola kita tidak kalah jauh dari pesepakbola di Negara lain, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Bahkan, pelatih Espanyol B yang beberapa bulan lalu mendampingi anak asuhnya bertanding dengan Indonesia U-19 menyatakan bahwa Egy Maulana Vikri dkk layak bermain di klub-klub Eropa. Setidaknya kita telah melihat hasil jerih payah Coach Indra Sjafri dalam 2 periode kepelatihannya di Indonesia U-19; 2013 dan 2017 ini.
Apa yang dilakukan Coach Indra Sjafri membuktikan bahwa talenta sepakbola kita memang berkualitas, asalkan ditangani oleh orang yang tepat. Coach Indra Sjafri menolak bahwa gaya permainan anak-anak asuhnya dianggap mengadopsi gaya permainan Barcelona. Sekilas memang ada kemiripan, tetapi Coach Indra menolak disamakan dengan gaya permainan Barcelona itu. Pepepa; pendek-pendek-panjang. Begitulah Coach Indra menyebut strategi dan gaya bermain yang ia tanamkan di dalam gaya permainan anak asuhnya selama ini.
Kita tidak bisa terus-menerus untuk berada di belakang bayang-bayang Negara lain. Bahwa saat ini Negara-negara sepakbola maju memang kualitasnya jauh di atas kita, itu memang faktanya. Karena mereka serius menangani sepakbola sejak dulu. Tetapi, jika kita tidak segera mempercayai kemampuan asli talenta sepakbola kita sendiri, maka selama itu pula kita akan menjadi bangsa inferior. Saya yakin, Coach Indra memiliki blue print pembinaan sepakbola Indonesia. Sejauh ini, kita telah melihat bagaimana Coach Indra membuktikan keberhasilannya mengaplikasikan blue print itu.
Dunia sepakbola modern hari ini terus berkembang dan jangan dikira bahwa berkembangnya sepakbola nasional kita hanya menjadi tanggung jawab para pelatih dan para pemain saja. Di dunia sepakbola modern, semua orang memiliki andil. Bahkan sebagai suporter sepakbola sekalipun. Kita mengetahui fakta bahwa seorang Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi yang keduanya menjadi ikon sepakbola dunia saat ini telah melewati proses yang berlangsung cukup lama hingga akhirnya mereka seperti hari ini. Apa yang telah mereka capai itu tidak instan. Mungkin saja kita merasa lelah, karena sudah bertahun-tahun Federasi Sepakbola kita melakukan pembenahan yang hasilnya belum maksimal hingga hari ini.
Seandainya sepakbola di Indonesia berhasil melepaskan diri dari dunia politik, mungkin situasinya tidak seperti saat ini. Terlalu banyak fakta di mana politik di Indonesia selalu mencampuri urusan sepakbola baik di dalam maupun di luar lapangan. “Ranjau-ranjau” inilah yang juga memiliki andil dalam lambatnya proses perkembangan sepakbola di Indonesia. Jika kita melihat bagaimana klub-klub Eropa mampu berkembang dengan baik, tidak lain karena mereka benar-benar mengelola klub sepakbola secara profesional. Orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan sepakbola adalah mereka yang benar-benar menguasi di bidangnya. Sepakbola modern bukan hanya urusan 11 pemain melawan 11 pemain untuk bertanding di lapangan hijau selama 90 menit. Ada aspek ekonomi di dalamnya, ada aspek teknologi, belum lagi penanganan kesehatan pemain yang juga tidak sembarangan. Asupan gizi pemain yang juga sangat ketat regulasinya.
Dan sekalipun Negara-negara di Eropa sudah begitu profesional mengelola sepakbola mereka, itu juga tidak menjanjikan hasil instan. Inggris misalnya, dengan kompetisi yang dianggap sebagai kompetisi terbaik di dunia saat ini, nyatanya tidak serta merta kemudian mengantarkan Tim Nasional Inggris menjadi Juara Dunia, atau setidaknya di level Eropa. Pembinaan sepakbola mereka baru menghasilkan Juara Dunia U-20 beberapa bulan lalu. Brasil yang mengoleksi trofi Piala Dunia terbanyak pun terakhir menjuarai Piala Dunia adalah tahun 2002 silam. Bahkan Argentina, meskipun memiliki pemain yang disebut sebagai “alien”, hingga hari ini untuk level Copa America sekalipun mereka belum mampu kembali menjuarainya setelah terakhir mereka meraih trofi Copa America tahun 1993.
Memang selalu ada anomali di dalam sepakbola; Denmark di Piala Eropa 1992 dan Yunani di Piala Eropa 2004 misalnya, mereka bukanlah tim yang diunggulkan menjadi Juara, tetapi justru status kuda hitam itulah yang melecut semangat mereka mengalahkan tim favorit Juara saaat itu. Juga Italia di Piala Dunia 2006, ketika mereka mengalami kasus calciopoli di liga domestik mereka, nyatanya mereka justru mampu menjadi Juara Dunia di Jerman saat itu.
Bagaimana dengan Indonesia? Menatap Piala Dunia 2026, dengan kemungkinan wilayah Asia akan mendapat tambahan jatah peserta menjadi 8,5 rasa-rasanya sangat mungkin kita akan melihat Indonesia akan berlaga di Piala Dunia 2026, jika pola pembinaan pemain sepakbola terus menerus diperbaiki. Konsep yang dimiliki Coach Indra Sjafri mungkin bukan konsep yang sempurna, tetapi setidaknya kita sudah melihat hasilnya. Tahun depan, Indonesia akan menjadi tuan rumah Piala Asia U-19, jika Tim Nasional kita mampu menembus 4 besar, itu artinya mereka akan lolos ke Piala Dunia U-20 di tahun 2019. Dengan pembinaan yang terus berkesinambungan, dan perbaikan sistem pengelolaan kompetisi sepakbola nasional yang juga terus dikembangkan, bukan mustahil Indonesia menjadi salah satu kontestan di Piala Dunia 2026.