CakNun.com
Daur 2281

Figur Pro-Iblis

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Sangat sering Markesot mengungkapkan pemikiran, melontarkan hal-hal yang tidak lazim, atau mengajak diskusi teman-temannya tentang hal-hal yang tidak populer bagi mainstream dan khalayak ramai. Markesot tidak pernah terdidik untuk menjadi manusia yang berguna bagi Bangsa, Negara dan Agama sebagaimana umumnya orang Indonesia. Mungkin ia contoh dari manusia mubadzir.

Padahal ungkapan-ungkapannya terkadang menabrak pagar orang, nyerempet kendaraan politik yang sedang melaju. Akibatnya ia dituduh anti ini dan pro itu. Padahal di tema seperti itu Markesot biasanya hanya urusan dengan Procold atau Antimo kalau mau naik bus ekonomi antar provinsi.

Misalnya, tiba-tiba ia bilang ke teman-temannya: “Saya takut menanyakan kepada siapa saja apakah ia percaya bahwa kita semua ini hidup abadi. Bahkan kekal dan abadi: seolah-olah dua rentang keabadian. Kerdilnya akal dan imajinasi kita tidak bisa mengukur keabadian kecuali dibatasi oleh bayangan bahwa keabadian itu tak ada batasnya. Yang bisa kita pastikan: tak ada satu makhluk pun, termasuk para Malaikat dan Nabi-Nabi, yang mengerti keabadian, kecuali Tuhan sendiri.”

“Tetapi Tuhan menginformasikan berkali-kali bahwa manusia ini hidupnya abadi. Kholidina fiha abada”. Ketika itu yang mendengarkan adalah Sapron, Tarmihim, Sundusin, Brakodin, bahkan ada juga Saimon alias Mbah Shoimun, “Kita semua hidup kekal, abadi, selamanya, di Sorga, atau Neraka. Dunia ini tempat kita magang dan uji skill, latihan ikhlas serta training kesabaran, di depan pintu gerbang antara Sorga dan Neraka. Itulah sebabnya seluruh duka derita atau gembira bahagia hidup di dunia ini tidak pernah kita masukkan ke kedalaman hati…”

Saimon yang menyahut: “Sot, apakah di dunia manusia, hal-hal seperti itu penting? Apa manfaat tema-tema seperti itu bagi hidupnya manusia?”

Markesot hanya tersenyum, dan Saimon menjawab sendiri pertanyaannya: “Bukankah bagi manusia yang penting bukan manfaat, melainkan uang dan harta benda? Bukankah bagi manusia yang penting bukan kegunaan hidup, melainkan kekuasaan dan citra?”

Kemudian terjadilah omong-omong kecil dan grenak-grenik di antara mereka.

Peradaban manusia Jawa, sebenarnya, sudah menemukan ketepatan kawruh atau pengetahuan hidup ketika mereka bikin rumusan “urip ming mampir ngombe”. Hidup ini sekadar lewat dan mampir minum. Sebagian kaum muda Jawa Zaman Now mengkonotasikannya: “Kalau mampir ngombe itu berarti minum bir, wiski atau arak. Kalau minumnya teh, kopi, sekoteng atau Es Teler, itu namanya mampir wedangan...”

Kalau boleh disebut kekurangan, maka filosofi Jawa itu mestinya dilengkapi bahwa yang dimaksud mampir ngombe adalah “urip ning ndonya”, hidup di dunia. Kemudian manusia melewati tahap yang bernama “mati”, padahal faktanya bukan kematian. Itu Semester kedua, masuk kelas dengan Dosen Penguji yang bernama Malaikat Munkar dan Nakir, dengan saksi Roqib dan Atid. Ini di luar urusan universiter dengan Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil, Izroil. Belum lagi urusan administrasi, birokrasi dan regulasi dengan para pejabat tinggi Kerajaan Langit Malaikat Zabaniyah, Hamalatil ‘Arsy, Harut, Marut, Dar’adil, Kiroman Katibin, Mu’aqqibat, Arham, Jundalah, ad-Dam’u, An-Nuqmah, Ahlul Adli, serta sangat banyak tak terbatas menurut awamnya hitungan akal manusia.

Menurut Markesot, terdapat kecenderungan yang sangat kuat dan merupakan arus utama di seluruh muka bumi, bahwa manusia sangat meremehkan masa depannya. Sangat tidak berhitung pada segala sesuatu yang akan dihadapinya.

Kalau Tuhan kasih tahu “Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan kembali?[1] (As-Shaaffaat: 16), manusia nyeletuk dalam batinnya: “Ah, yang enggak-enggak aja isi Kitab Suci itu”. Kemudian ada firman lainnya: “Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali tulang belulangnya?[2] (Al-Qiyamah: 3), melintas di benak manusia: “Horor dong. Masa` iya. Nggak begitu kaliii”. Dan ketika Tuhan kasih detail:  “Sebenarnya Kami kuasa menyusun kembali jari-jemarinya dengan sempurna[3] (Al-Qiyamah: 4), manusia tertawa dalam hati: “Emang animasi film kartun…”

Manusia mengira ada Bumi ada Langit, padahal Bumi hanya seserpih bagian dari Langit. Manusia menyangka ada Dunia ada Akhirat, padahal keduanya berada di rentang atau bulatan waktu yang sama dan satu saja. Dunia hanya intro orkestra musik keabadian. Manusia berpikir bahwa ia bisa “membolos” dari kewajiban untuk diangkut oleh kekekalan dan keabadian. Manusia bahkan meyakini ia bisa “pensiun dini”, setelah mabuk, rakus dan kalap di dunia, lantas berakhir begitu saja begitu jasadnya dikubur.

Manusia berebut harta jabatan pangkat kekayaan kemewahan, padahal semua itu hanya hartanya, jabatannya, pangkatnya, kekayaan dan kemewahannya – tetapi bukan dirinya. Bahkan kepala badan jantung otak dan otot sarafnya itu hanya kepalanya, badannya, jantungnya, otak dan otot sarafnya – dan sama sekali bukan dirinya. Manusia sudah punya pendahulu sejak miliaran tahun yang lalu, dan sudah memproses pembelajaran lebih 800.000 tahun sejak Bapa Adam, tetapi tetap belum bisa membedakan antara Rumah dengan Tuan Rumah. Antara Jasadnya dengan Diri-nya.

Sangat sukar menginformasikan kepada manusia bahwa badannya adalah rumah kecilnya. Rumah kecil itu berada dalam rumahnya yang lebih besar: keluarga, kelompok, masyarakat, dunia, alam semesta, kemudian rumah terbesar mereka adalah kampung halaman asli mereka tempat Mudik Sejati: yakni Sorga.

Oleh karena itu manusia berbuat seenaknya, omong sekenanya, bikin pernyataan semaunya, bertindak sepamrih udelnya, ambil keputusan ngawur – sehingga melegitimasi kekhawatiran Iblis ketika Tuhan berencana menciptakan manusia: “Untuk apa Engkau ciptakan manusia? Toh kerjanya cuma merusak Bumi dan menumpahkan darah?”. [4] (Al-Baqarah: 30)

Sapron, Tarmihim dan semua, termasuk Junit Jitul dan lain-lain yang mendengarkan penuturan tentang omongan Markesot itu, tertawa terbahak-bahak. Karena, sejak Markesot sering bicara soal bantahan Iblis kepada Tuhan itu, banyak orang menyebut Markesot sebagai figur pro-Iblis.

Tuban, 26 November 2017

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik