Fenomena Emha
Ketika kondisi sosial politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail. Kebrengsekan mekanisme sosial politik yang menelikung diri kita setiap hari, atau lalu lintas jalanan yang bisa juga jadi cerminan kondisi kebudayaan-politik kita, maka kita sering berpaling kepada sesuatu yang lain, yang bisa membuat kita mengingat tentang makna kehidupan: puisi atau juga teater,atau juga musik, atau jenis kesenian lainnya. Di antaranya, sosok Emha mengisi kepada kita tentang harapan kepada yang bukan cuma untuk “bla-bla-bla” tapi juga refleksi dan aksi, praxis.
Fenomena Emha adalah fenomena kebudayaan. Kita bisa melihat dari catatan di media massa, ketika pada tahun 80-an partai politik Islam mengalami buldoserisasi oleh kekuatan politik-birokrasi penguasa, dan partai diarahkan kepada watak teknoratis, dan dicoba dipisahkan dari akar di lingkungan pendidikan Islam yang namanya pesantren dan Kiai, sosok Emha muncul bukan cuma sebagai penyair, bukan juga sekadar penulis lakon dan prajurit idea bersama kelompok Teater Dinasti. Tapi, lebih dari itu, segala macam masalah kebudayaan digarapnya sampai dengan lingkungan NGO (Non Governmental Organization) di pedesaan. Tulisan atau esai-esainya di berbagai media massa membanjiri pmbaca. “Image” tentang dirinya semakin melebar dan mencair memasuki segala arah. Bukan cuma lingkungan kampus, pesantren, tapi juga dari lingkungan non muslim mengundangnya, memintanya berbicara sebagai saksi dari peristiwa di nusantara ini. Ibu-ibu pengajian, kalangan Dharma Wanita, anak-anak sekolah menengah memintanya untuk memberikan kesaksian. Sementar itu di level yang lebih tinggi, sosoknya semakin kukuh oleh kehadirannya di berbagai kegiatan seminar dan kajian. Dan visi-visinya tentang kebudayaan serta keadaan jaman sekarang, membuatnya terlibat untuk ikut mendongkrak partai Islam yang mengalami kemerosotan. Pada tahun-tahun itu, berkibarnya Emha seiring sejalan dengan kemunculan Nurcholis Madjid dan Gus Dur, dengan caranya masing-masing memberikan kontribusi pemikiran kepada masyarakat.
Banyak kenalan saya, lama maupun baru, ketika ngobrol tentang sobat kita, Emha, bertanya tentang hal-hal pribadi sampai soal visi dalam kebudayaan maupun kesenian. Pada masalah pribadi, saya bilang, letakkanlah sobat kita itu pada sosok manusianya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sebagaimana pada diri orang lain. Saya kira, meletakkan diri Emha pada posisi “pen-dewa-an” merupakan langkah yang keliru, yang bisa membuat penganggap atau pemujanya menjadi mudah kecewa dan frustasi. Hal yang paling penting, saya merasa yakin, sangat mungkin kalau sohib kita yang komplit sebutannya; dari penyair, penulis lakon, budayawan, kiai, eseis, kolumnis, komentator sepak bola, seniman dan lainnya, merasa tak pernah menjadi dewa dan senantiasa menolak kedudukan pada posisi itu. Keyakinannya mengharuskan dirinya secara konsekuen, dan konsistensi yang harus diambil adalah berupa penistaan kepada usaha “pen-dewa-an” kepada dirinya maupun orang lain.
Mengenal dirinya hampir seperempat abad, sebagaimana saya mengenal Linus Suryadi Ag dan Murtijono atau teman-teman lain, saya melihat sosok dirinya sebagai figur yang dipenuhi oleh semangat kesetaraan, yang memiliki solidaritas yang mendalam, dan bahkan mempunyai kecenderungan menyisihkan hal-hal privasi, yang saya anggap sangat keterlaluan.
Pelayanan kepada publik, dari soal pribadi sampai masalah kenegaraan, menyita waktunya, dari pagi sampai larut malam. Seorang teman, Raziku, aktivis LSM menyebut tentang Emha sebagai orang yang “mewakafkan dirinya” bagi masyarakat.
Pada visi kebudayaan-keseniannya, saya meletakkan diri Emha dalam semangat “estetika keprihatinan”, suatu kerangka dan perspektif yang bukan hanya memandang dan menjalankan kesenian maupun aktivitas kebudayaan pada tiga kandungan hakikinya, yang menjadikan eksistensinya manusia dan masyarakat senantiasa berusaha untuk mencapai harapannya yang paling tinggi. Ketiga kandunga itu, sebagaimana dikatakan oleh YB. Mangunwijaya, kesenian dan kebudayaan yang memiliki keindahan-kebenaran-kebaikan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dilepaskan.
“Estetika keprihatinan” merupakan konsekuensi logis dari kehadiran manusia di tengah-tengah masyarakat, lingkungannya, dan kapasitasnya untuk menuangkan masalah-masalah yang tumbuh dan berkembang. Keprihatinan pulalah yang mendorong untuk menciptakan segala sesuatu yang bersifat baru, pencairan kebenaran, demokrasi, hak asasi, perlindungan terhadap lingkungan hidup, perbaikan nutrisi-gizi, sampai dengan penemuan teknologi yang sederhana, semisal sendok, sandal, baju, topi, palu, cangkul, dan sebagainya, seperti juga puisi, musik, tari dan sejenis kesenian yang lainnya.
Memandang fenomena Emha dan keseniannya mau tak mau kita harus meletakkan pada kerangka latar belakang keyakinannya yang mendalam: Islam, yang bukan sekadar formalitas KTP dan upacara. Tapi lebih dari itu sebagai keyakinan pembebasan dan sumber penciptaan yang tak pernah tuntas habis. Inspirasi keyakinan inilah yang menurut saya bisa menjadi lebih jelas dalam kita memandang fenomena Emha dan keseniannya, dimana “citra keilahian (Theomorphic Being) mempunyai dua tuntutan dasar secara horizontal, sosiologis, maupun vertikal, theologis. Artinya, “citra keilahian” di dalam diri seseorang mendorong dirinya untuk bukan cuma meletakkan pada satu posisi secara dikotomis, secara vertikal saja atau hanya horizontal. Karena “citra keilahian” itulah konsekuensi secara sosiologis dan theologis menjadi tumpuan yang menyatu dan yang menghasilkan karya-karya sufistik yang mengandung nilai-nilai religiusitas maupun sosial. (Sumarno, Sastra Yang Tak Berhenti Pada Kata, paper diskusi “Forum Studi Seni & Sastra, 1994). Studi Sumarsono pada karya Emha, khususnya kumpulan puisinya yang berjudul 99 untuk Tuhanku membuktikan bahwa karya-karya sufistik atau karya-karya yang bersifat religius penuh dengan simbol, metafora dan isyarat-isyarat theologis yang berkaitan dengan masalah sosial. Studi itu juga menegaskan penolakan kepada asumsi yang berpandangan bahwa sastra atau puisi sufi atau sastra religius hanya berbicara soal Tuhan belaka. Emha menyatakannya dengan sederhana tapi menjadi “hot line” yang tidak pernah putus. Katanya:
“Akhirnya saya berdoa kepada Allah: dalam hidup yang amat sejenak ini semoga ada juga satu-dua butir kata-yang saya terjemahkan dari rahasia-rahasia yang dipinjamNya-yang sedikit bermanfaat bagi sejumlah orang”. (Emha Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya, SIPRESS, cetakan ketiga, 1994, hal. XV)
Keterlibatan, atau komitmen, yang begitu populer di selingkungan mereka yang bergerak dalam kebudayaan-kesenian dan kemasyarakatan, pada fenomena Emha semakin menjadi jelas lewat aktivitas kebudayaan maupun proses kreativitas keseniannya, yang sementara itu di lingkungan NGO kata tersebut semakin cenderung menjadi slogan dan jargon yang memburuk lantaran ketidakkonsistenan, hanya sampai pada tingkat proposal, dan “gertak sambel” dalam diskusi. Di sisi lain, jika kebanyakan orang memiliki keterlibatan berdasar kepada kenyataan sosiologis belaka, sambil sesekali kadang kita menemui kecenderungan menyebelahmatakan atau menyepelekan kandungan religiusitas, maka dalam posisi dan diri “Kiai mBeling” kita ini, justru berangkat dari—seperti yang dikatakan Paul Tillich, seorang theolog dan filsuf—“ultimate concern”. Kreativitasnya bersumber dari puncak keprihatinan, dan kesadarannya kepada dimensi yang paling dalam, dimensi religiusitas. Dimensi ini pulalah yang membedakan Emha, seperti juga fenomena YB. Mangunwijaya, yang melebar dan mencair, yang tidak terkungkung dalam kerangka formalitas keyakinan, dan menjadikan dirinya pada posisi sosial yang unik, yang menjadi benih potensi bagi kehidupan ke-Indonesia-an yang akan datang, yang bisa bersapa tegur dalam perbedaan, kemajemukan dan saling menghargai, tanpa harus kehilangan esensi pilihannya kepada Sang Pencipta. Di antara begitu banyak masalah yang bersifat sektarian yang berlatarbelakang keagamaan, suku atau ideologi politik, dan juga ras, rasa-rasanya kita bersyukur atas kehadiran mereka yang bisa menjadi inspirasi bagi kehidupan pribadi, sosial maupun lingkup yang lebih luas, sebagaimana sosok Gus Dur, atau almarhum Hamka serta jamaah Muhammadiyah,Pak A.R. Fachruddin, yang mengisi keindonesiaan kita, yang menolak “nasionalisme Kumbakarna”: “Right or wrong my king!” Sosok mereka juga mkambingali kita kepada rasa keadilan dalam berbagai hal, yang mengilhami kita untuk menilai rasa keadilan dalam berbagai hal, yang mengilhami kita untuk menilai kembali soal “nasionalisme”. Ketika mekenisme kenegaraan hanya dikuasai oleh segelintir elite, dan lembaga-lembaga perwakilan hampir-hampir manjadi paduan suara, maka orkestrasi politik hanya ditentukan oleh seorang dirigen, tanpa melibatkan dan memberikan kesempatan kepada warga untuk ikut serta. Dan “nasionalisme” menjadi penggada-pemukul-pamungkas bagi mereka yang mencoba memberikan penilaian, penafsiran dan kritik kepada jalannya orkestrasi-politik. Karena “nasionalisme Kumbakarna” tidak dilandasi oleh rasa keadilan, demokrasi, hak asasi.
Pada tahun-tahun awal 70-an, Emha bersama PSK (Persada Studi Klub. Persatuan Sastrawan Muda) yang bermarkas di Yogyakarta, dengan bimbingan al-Mukarrom Ustadz-Sastra Umbu Landu Paranggi, bersama rekan-rekannya mengisi kehidupan dunia sastra. Pada awalnya di sekitar lingkungan sendiri; diskusi di antara sesama penyair, cerpenis dan penulis atau wartawan yang hampir setiap minggu diadakan di kantor surat kabar Pelopor Yogya. Sesekali kegiatan melebar dan menjelajah kampung dan kampus. Beberapa nama berkibar bersama Emha, seperti Linus, Yudhistira Adhi Noegraha, Iman Budhi Santosa, Suwarno Pragolapati, Bambang Indra Basuki (alm), Bambang Darto, Saiff Bakham.
Mengingat-ingat pada waktu itu, rasa-rasanya puisi Emha tidak beranjak dari Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono. Dan baru pada kumpulan puisinya M Frustasi, usaha pencarian pengucapannya nampak makin jelas. Dengan watak yang blak-blakan, agak brangasan dan rasa humor yang tinggi, serta daya gugat kepada masalah sosial dan keimanan,pusinya muncul sebagai salah satu fenomena yang melesat meninggalkan gaya pengucapan PSK, yang memiliki kecenderungan ber-goenawan, ber-sapardi dan ber-rendra-ria.
Pada proses selanjutnya, kehadiran Emha semakin meluas bukan di sekitar Yogya-Jakarta: rambahan di banyak wilayah untuk pembacaan puisi, merupakan sebuah usaha yang nampaknya dibekali oleh semangat PSK-Umbu yang selalu menekankan kepada cantriknya untuk membuka kemungkinan hubungan sasterawi, yang bukan hanya melalui media massa, namun juga kontak langsung dengan publik.
Sementara itu perjalanan Orde Baru (Orba) nampaknya juga tidak seiting dengan semangatnya semula. Kepincangan sosial, ekonomi semakin terjadi, khususnya setelah tahun 1974 dan dibarengi oleh semkin nampaknya saluran politik dan ikut dibarengi kesulitan lantaran birokrasi dalam hubungannya dengan kegiatan sastra atau kesenian. Yogyakarta, pada periode itu, mengalami masa vakum yang mencemaskan. Dewan kesenian, yang semula diharapkan jadi “payung” bagi kalangan kesenian dan pemikiran, masuk ke dalam sikap yang membisu, membiarkan peristiwa secara “alamiah”.
Pada waktu itulah kemungkinan untuk mencari peluang kegiatan semakin menemukan tantangan. Bersama Emha, Linus, Slamet Riyadi, Rahini “Ray” Ridwan, Dedet Er Moerad ikut mengisi kegiatan Sanggarbambu, yang sebenarnya lebih banyak berorientasi kepada senirupa. Diskusi, baca puisi dan penerbitan berjalan. Di antaranya juga Arisan Teater yang berangkat dari kebersahajaan, kemungkinan untuk berekspresi dengan cara murah meriah: maen teater dan diskusi di kampung-kampung. Arisan Teater bubar lantaran intervensi politik praktis dari oknum yang ingin memanfaatkan kelompok itu demi dirinya dan ambisi menjadi sutradara film.
Emha dan Linus sering terkesan “bertolak belakang”. Jika Linus Suryadi Ag mempunyai kecenderungan bersahaja, agak masa bodoh, acuh tak acuh, menyendiri, introvert dan asyik denga dirinya sendiri ditambah lagi “kebatinan oriented”, sedangkan Emha punya keinginan untuk berbarengan, lebih komunal, sementara Linus lebih “bersepi sendiri” dan selalu merasa kelelahan denga lingkungannya yang sesak, banyak orang, apalagi banyak cakap! Tapi, keduanya mempunyai satu titik kesamaan: “liberal”/ artinya, kapasitas mengeksplorasi pikiran,pengucapan, dan “sakepenake dhewek” dalam menentukan karyanya. Berbeda dengan beberapa rekannya yang punya sikap menunggu dawuh dari Ustadz Umbu, yang dianggap sebagai “fatwa” dan “ijazah” untuk menentukan posisi kepenyairan. Kata di antara mereka, kalau ada sign up dari ustadz, pasti deh. Pak Jassin bakalan baca dan memperhatikan. Ustadz Umbu memang jeli dan telaten, walaupun bukan tanpa “cacat”.
Sekitar tahun 1973, hampir setiap hari saya ikut nongkrong bareng-bareng di depan Hotel Garuda di jalan Malioboro, di bawah teritisan perpustakaan umum dan kantor Pelopor Yogya, atau di sekitar Senisono dan kios-kios koran. Pernah Ustadz Umbu bilang, “Linus lebih penyair ketimbang Emha. Emha itu kuat dalam esei dan punya bakat dalam cerpen”.
Saya kurang tahu apakah Emha pernah juga mendengar pendapat ustadznya pada waktu itu. Tapi satu hal, “kompetisi” di antara keduanya melaju, apalagi setelah Linus pada akhir tahun 70-an melahirkan prosa lirik Pengakuan Pariyem, yang secara resmi cetakan pada awal tahun 80-an. “Kompetisi” itu semakin berkobar lantaran “gorengan-ati-rempelo” dari Ashadi Siregar dan “Daimnya kebudayaan” Yogyakarta, Umar Kayam, yang tampaknya lebih memilih orang yang dengkulnya lentur ketimbang sosok yang bisa melotot, bibir berkerut dan mendenguskan nafasnya. Barangkalijuga mereka, Ustadz Umbu, Kayam dan Ashadi tahu bahwa Emha memang perlu di”goreng ati-rempelo”nya agar terus bisa terjaga kreativitasnya.
Rasanya Emha paham benar dengan kondisi itu, kalau saya mengingat masa-masa di Sanggar Bambu dan Arisan Teater, serta makin melebarnya aktivitas Emha di berbagai kegiatan dan pengenalannya dengan lingkungan aktivis NGO yang juga berlatar belakang kesenian maupun pedesaan. Kalau Linus dan penyair lain terus berpuisi, juga Emha, ditambah dengan penulisan lakon secara sendiri maupun barengan dan kegiatan workshop teater untuk pendidikan, “teater penyadaran” bersama Simon HT, Agus Istianto dan Joko Kamto yang punya kecenderungan lebih “radikal” dalam memandang posisi dan peran kesenian-teater di dalam masyarakat.
Pada waktu itulah, keikutsertaan Emha bersama kelompok Dinasti pimpinan Fajar Suharno dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama diri Emha, sebagai sekeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Rajutan ide untuk naskah bersama Gadjah Abiyoso, Fajar Suharno, juga Simon HT, Joko Kamto dan Agus Istiyanto membawa nama Teater Dinasti dalam kibaran kehidupan kesenian di Yogya.
Larangan demi larangan dihadapi dan menjadi bahan perenungan dan bahan naskah mereka yang berangkat dari kenyataan sosial, ketika proses “sterilisasi kesadaran” (Eduardo Galeano, Days and Nights of Love and War) begitu kuat dalam indoktrinasi dan iklan, sementara demokratisasi mengalami kebuntuan.
Dinasti-Emha, Emha-Dinasti dan puisi mengalir dalam bentuk pementasan musik yang “agak liar”, “norak” dan bisa memekakkan telinga mereka yang kurang jembar hatinya. Tak peduli dengan tatanan karawitan yang penting bisa bunyi dan rasanya sreg buat puisi, mengisi fenomena kesenian di nusantara. Otonomi puisi yang oleh kebanyakan orang dianggap dengan cara lebih nikmat dan enak dibaca sendirian, atau nonton Rendra, maka Dinasti-Emha atau Emha-Dinasti menelusup dan menguak cara hubungan dengan publik. Dengan sadar Emha memilih “bahasa jalanan” untuk puisi-puisi yang ditampilkan dengan iringan Dinasti dan tidak peduli dengan penilaian para “kritisi” (jika mereka ada dan hadir di belantara sastra nusantara). Yang penting, pesan bisa sampai dan orang-orang semoga mendapatkan “pencerahan” lewat dialog dalam peristiwa itu. Tapi ada juga publik yang mengeluh. Keluha itu disampaikan kepada saya, ketika Emha-Dinasti muncul di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat; setelah larangannya di Yogyakarta. Teman ngobrol yang etnomusikologis itu bilang, kupingnya nggak kuat dan lari setelah setengah pertunjukkan Emha-Dinasti. Barangkali dia terbiasa dengan gamelan yang mengalun, ritmis, punya tatanan yang nggenah dan bukan asal kemplang model Dinasti. Tapi, barangkali juga teman kita itu nggak kuat mendengarkan saratnya pesan dan pengucapan yang energik dari puisi dan musik yang menampilkan kembali realitas kemasyarakatan di atas panggung, seperti cermin yang retak-remuk dalam bingkai yang memantulkan wajah bagian dalam diri kita dan masyarakat. Pada periode itu, kumpulan puisi Sajak Kaum Gelandangan Emha mengisi khasanah kesenian kita.
Dinasti-Emha, Emha-Dinasti dan Yogya-Solo terjembatani oleh kehadirannya dan didukung oleh kejembaran sikap komodatif dari Taman Budaya Surakarta di bawah pimpinan Murtijono, sobat yang dikenal Emha ketika masih di PSK dan Murti di Fakultas Filsafat UGM. TBS menjadi penampung kesenian yang dianggap “limbah” oleh penguasa dan birokrat kesenian di tanah kelahirannya sendiri, hampir berjalan selama kurang lebih tujuh tahun.
Sekitar tahun 1987, kelompok Teater Dinasti “bubar jalan”/. “Bubar” lantaran intervensi NGO yang mencoba memproyekkan lewat salah seorang anggotanya tanpa musyawarah-mufakat. Malam itu juga, di rumah Sius—salah seorang desainer berbakat dan anggota Dinasti—disepakati untuk membubarkan diri dan mempertahankan komunitas tetap dilakukan lewat berbagai cara. Namun, tampaknya sejarah memang ingin berkata lain. Sementara itu berbagai kehendak serta kebutuhan darimasing-masing anggota tidak lagi dapat dibingkai oleh sebuah “nama” kelompok. Aktivitas tidak lagi berjalan lancar, sebagian memilih aktif di pedesaan dan menggunakan teater. Yang lain memilih profesi lain dan mengobrol sambil main gaple untuk melepaskan uneg-uneg pribadi maupun sosial.
Dan Emha—bukan lantaran dari desa—ia selalu diidentikkan guyub dan senantiasa barengan. Linus juga dari desa, tapi senang “sepi sendiri”, menikmati manuk perkututnya dan koleksi keris dan mempertajam “mata batinnya”, sambil terus menulis dan sesekali nyambi riset. Emha itu identik dengan jamaah, merupakan bagian tak terhindarkan dari kehidupan keyakinannya. Secara sosiologis maupun ideologis, Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk berkumpul, menyatukan diri bersama sesamanya dalam mencapai nilai tertinggi. Antara “ada bersama-sama” dan “ada bersama-Nya”, tak terpisahkan.
Emha-Jamaah dan Jamaah-Emha mempunyai implikasi sosial politik yang bukan main dahsyatnya. Larangan terhadap dirinya bukan sekadar karena kesenian yang diciptakannya,tapi keseniannya bersama Emha telah ikut membingkai sebuah kekuatan sosial yang kritis terhadap mekanisme sosial-politik dan segi-segi lain dalam kehidupan kemasyarakatan kita maupun kenegaraan. Bagi jamaahnya, Emha senantiasa diminta memberikan kesaksian dan keberpihakan kepada lapisan bawah atau mereka yang tersingkir. Pada posisi inilah Emha bukan tanpa masalah. Sebagai seorang yang senang berpikir kritis dan punya kapasitas “liberal”, dan tidak mudah dibingkai oleh sebuah organisasi, Emha sering mengalami keluhan, bahkan kejengkelan terhadap ulah seorang-dua jamaahnya, yang mempunyai ke-taqlid-an berlebihan, khususnya, yang suka menunggu dawuh “fatwa” dan ber”sendiko dawuh”.
Posisi yang paling unik Emha yang melebar dan mencair menelusup ke segala arah, seperti Romo Mangunwijaya, salah satunya tampak pada jamaahnya. Jamaah Emha bukan hanya dari selingkungan kesamaan keyakinan dalam beragama, tapi juga dari kalangan yang memiliki keyakinan berbeda, namun mempunyai satu tujuan yang sama: cita-cita meninggikan harkat kemanusiaan, melalui kegiatan kebudayaan.
Tahun 1993, 1414 Hijriyah, “Komunitas Pak Kanjeng” nampaknya secara resmi dikibarkan, sebagai suatu kelompok teater dan musik, setelah Sanggar Shalahuddin dan Kelompok Titian menyapih dirinya sendiri sesudah sekian tahun bersama Emha. “Komunitas” digunakan dan “Pak Kanjeng” disandang-pikulkan sebagai keyakinan sosial dan keberpihakan kepada lapisan tergusur secara ekonomis maupun politis. Saya sendiri nggak mengenal “Pak Kanjeng” dalam artian pribadi. Saya cuma melihat fotonya yang berjenggot dan pandangan matanya yang menatap ke depan penuh harap-harap cemas. Guratan wajahnya yang keras menahan beban kehidupan dan punya keberanian serta berani bilang “tidak” yang rasanya begitu monumental di antara makin mengakarnya sikap “menurut petunjuk Bapak…….”
Barangkali “Pak Kanjeng” memang diilhami oleh sesosok figur yang bisa diteladani, misalnya dari kasus Kedongombo, yang memang Emha pernah terlibat secara langsung, kayak Romo Mangunwijaya san sejumlah orang lain. Dan “Pak Kanjeng” memang bukan cuma ada di Kedungombo, ia juga bisa ada di Sampang-Madura, Aceh, Irian Jaya, Kalimantan serta pelosok nusantara lainnya. Itu cuma nama disandang-pikul dan nancep dengan dasar pendirian yagn sama seperti jaman Dinasti: guyup, barengan dalam mengerjakan suatu kegiatan dan keprihatinan menjadi dasar langkahnya.
“Komunitas” juga bukan sekadar nama. Esensi dari kesenian, tujuan akhirnya, salah satunya, rasa-rasanya sih memang membentuk komunitas, seperti juga kesenian tradisi kita di mana-mana, dari yang di desa sampai di dalam lingkungan tembok yang menjulang serta di tengah-tengah hutan belantara.
Yang rasanya bakalan tambah menarik, seingat dan sepengetahuan saya, membandingkan musik zaman “Karawitan Dinasti” dan “Musik Kiai Kanjeng”. Saya punya kesan yang terakhir ini lebih rapijali atau tidak terlalu norak dan sangat mungkin menjadi makin kaya oleh berbagai warna musik. Terkesan lebih profesional dan beberapa anggota baru bukan cuma berbekal semangat tapi juga keterampilan yang lebih memadai.
Zaman memang menuntut lebih dari yang dulu-dulu, secara teknis dan komitmen.
Solo, 5 Agustus 1994
*Tulisan ini diambil dari Pengantar Buku Terus Mencoba Budaya Tanding, Pustaka Pelajar, 1995.