Faktanya Evolusi Ke 4 Minus

Kenduri Cinta edisi Juli kali ini yang berlangsung tadi malam, 14 Juli 2017, mengangkat tema “Evolusi Ke 4-” (Abad 20-21). Seperti yang sudah-sudah, Kenduri Cinta selalu berusaha mengangkat tema-tema yang masih memiliki benang merah dengan edisi sebelumnya atau dengan pokok-pokok tematik utama yang dibahas Cak Nun pada Maiyahan di berbagai tempat.

“Evolusi Ke 4- (minus)” adalah satu terminologi yang diperkenalkan Cak Nun di Maiyah khususnya untuk Jamaah Maiyah dalam melihat tahap dan posisi manusia saat ini. Perjalanan evolusi kesadaran dan peradaban manusia itu lengkapnya ada 6 tahap. Pertama, tahap benda; kedua, tahap Tumbuhan; ketiga, tahap Binatang; keempat, tahap Manusia; kelima, tahap Abdullah; dan keenam, tahap Khalifatullah.
Titik berat yang dibahas pada malam hari tadi adalah tahap 4-5-6 (Manusia-Abdullah-Khalifatullah). Tiga tahap evolusi peradaban manusia yang harus selalu dialektis. Kenapa 4- (minus)? Karena memang pada faktanya manusia saat ini belum sepenuhnya beranjak dari tahap ke 4 menuju tahap ke 5. Karena ternyata yang paling dominan dalam diri manusia saat ini adalah sifat-sifat binatang yang hanya mengenal hawa nafsu.
Apa yang terjadi dengan manusia hari ini adalah, misalnya, dalam beribadah pun yang dipentingkan adalah laba, mencari pahala, mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari ibadah yang dilakukan itu. Apakah itu salah? Jawabannya bisa salah atau juga benar, karena niat dalam setiap hati manusia adalah informasi yang tidak bisa dipastikan secara kasat mata.
Dalam lingkup yang lebih luas, pengelolaan negara misalnya, titik berat pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam serta pembelanjaan APBN adalah nafsu untuk meraup keuntungan demi kepentingan segelintir pihak semata.

Suasana diskusi sejak awal berlangsung sangat hangat dan interaktif. Layaknya Maiyahan pada umumnya, bahwa yang berhak berbicara bukan hanya yang berada di atas panggung, tetapi siapapun saja dari audiens juga boleh terlibat dan memiliki hak untuk berbicara.
Pada diskusi sesi prolog misalnya, para jamaah bersama para pemberi alas diskusi membahas fenomena penggunaan Internet yang tidak pada tempatnya dan tidak sesuai porsinya. Kita mengetahui bahwa internet hanyalah sebuah alat, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Memang pada akhirnya dampak dari penggunaanya itulah yang kemudian berupa baik atau buruk.
Setelah jeda penampilan Balte Irama, sebuah kelompok musik dangdut dari Tanah Abang, diskusi berlangsung semakin mendalam. Penggiat KC Fahmi dan Ali Hasbullah bergantian memaparkan beberapa pointer yang menjadi landasan diangkatnya tema Kenduri Cinta kali ini. Dari terminologi As Silmi, Khilafah, hingga “Wa ilaa robbika Farghob” yang sekian kali telah diulas Cak Nun, Cak Fuad, dan Syeikh Nur Samad Kamba kembali disampaikan.
Menjelang tengah malam, Cak Nun bergabung di panggung. Setelah menyapa jama’ah Kenduri Cinta, secara perlahan Cak Nun kembali menajamkan pemahaman-pemahaman atas terminologi-terminologi di Maiyah.Penjelasan mengenai evolusi 6 tahap menjadi akarnya dan kemudian 4 istilah “jalan” (Sabil, Syari’, Thoriq dan Shiroth) dalam Islam juga dipaparkan secara relevansional dengan cara memahami dan menjalani agama.
Hidup itu manggon atau mlaku? Itulah salah satu lemparan pertanyaan mendasar dari Cak Nun. Dari pertanyaan ini kemudian berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana lainnya; ketika di perempatan jalan, lampu kuning menyala; itu masih kuning atau sudah kuning?
Cak Nun menunjukkan kepada para Jamaah bahwa lewat pertanyaan yang sekilas sangat sederhana itu justru akan terlihat bagaimana kita menentukan sikap terhadap fenomena-fenomena dalam proses perjalanan hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan yang barangkali tak sempat kita pikirkan, atau mungkin malah tak sempat terlintas sedikit pun. Kita tak kunjung beranjak ke tahap evolusi berikutnya. (Fahmi Agustian)