Fa Ashlihu Presiden
Junit sedang melamun-lamunkan Iqra`, tiba-tiba Brakodin bercerita bahwa Mbah Markesot akhir bulan kemarin dihubungi oleh salah seorang koordinator Menteri untuk bertemu bertiga dengan Presiden.
“Waduh”, kata Junit spontan.
“Kok waduh…. Kenapa?”, Brakodin bertanya.
“Ya jangan sampai lah, Pakde”, jawab Junit.
“Kenapa? Siapa tahu diajak fa ashlihu” [1] (Al-Hujurat: 9).
“Saya tidak tega nanti fitnahnya luar biasa banyak. Indonesia sedang gaduh dengan permusuhan. Sedang riuh rendah oleh kebencian. Dan Pemerintah merupakan salah satu di antara yang membenci dan bermusuhan. Kalau Mbah Sot ketemu Presiden, nanti memunculkan kesimpulan umum bahwa Mbah Sot mendukung salah satu pihak. Tidak terutama akan di-bully habis di media sosial sampai di warung-warung. Tapi itu menyakiti hati pihak lain yang berseberangan dengan Pemerintah. Juga jangan lupa, Pakde, saya bisa bertengkar dengan Jitul, Toling, atau Seger. Perpecahan akan tambah kepingan-kepingannya…”
“Diajak ketemu di Gedung Agung, atau mungkin di tempat lain di mana Presiden berkunjung”, Brakodin menambahkan.
“Lebih celaka lagi”, sahut Junit.
“Lha di mana supaya aman?”
“Di tempat netral pun belum tentu manfaat. Bahkan seandainya Presiden berkunjung ke Patangpuluhan pun harus seribu kali dipertimbangkan untuk diterima atau tidak. Pakde Brakodin jangan guyon ah…. Gimana sebenarnya ini?”
“Mbah Sot-mu sudah dijadwal oleh Tuhan hari itu dia harus berkunjung ke markas Mujahidin Fisabilillah”, jawab Brakodin.