Ewuh Pekewuh kepada-Nya
Rupanya suasana kehidupan dan nuansa kemanusiaan seperti itu yang Kanjeng Nabi tidak tega dan berat hati kepada ummatnya. “Niscaya telah dihadirkan Duta yang berasal dari kalangan kalian sendiri, yang berat hatinya atas derita kalian, yang amat sangat menginginkan kedalaman keimanan kalian, serta jiwanya penuh kasih sayang kepada orang-orang yang beriman”. [1] (At-Taubah: 128).
Mbah Sot pernah bercerita bahwa karena ketidak-tegaan itu Kanjeng Nabi sering merasa tidak tahan hatinya untuk mengungkapkan sejumlah rahasia yang dalam pikiran beliau sangat dibutuhkan oleh ummat. Baik rahasia yang menyangkut tentang sejatinya Muhammad, Rasul dan Nabi. Atau rahasia tentang asal usul atau sangkan-paran seluruh inisiatif penciptaan oleh Allah. Kanjeng Nabi sangat khawatir ummatnya akan melangkah ke jalan yang tidak seharusnya, alias tersesat, atau terpeleset.
Kanjeng Nabi merasa sangat perlu menguraikan kepada ummatnya melalui para Sahabatnya banyak hal mendasar dan hakiki. Misalnya pemetaan tentang Shirath, Thariq, Syari’, dan Sabil. Sebab di tengah perjuangannya kelak, ummat sangat berurusan, berkepentingan, bahkan sangat bergantung pada ketepatannya memahami As-Shirathal-Mustaqim, Thariqat, Syariat dalam perjalanan Fi Sabilillah.
Tetapi Kanjeng Nabi adalah Duta Allah. Otoritas untuk menyampaikan apa, tidak boleh mengemukakan apa, tidak terletak padanya, melainkan di genggaman kuasa Allah. Ada saat-saat beliau terlanjur menguakkan dan mencipratkan beberapa serpih rahasia, dan ternyata Allah memaklumi dan memaafkannya, karena saking cintanya Allah kepada beliau.
Tetapi Kanjeng Nabi tidak mengizinkan dirinya memanfaatkan permakluman dan permaafan itu untuk membukakan semakin banyak rahasia. Itu antara lain yang membuat beliau hampir tak pernah melewatkan malam tanpa bersujud dan menangis. Untuk menyampaikan rasa bersalah, serta mengeluhkan ketidak-tegaan hatinya kepada ummatnya yang sangat terancam oleh ketidaktahuan atas sejumlah rahasia kehidupan.