Dunia Melupakan Nasibnya
Mbah Sot merajuk, “Sudah kutuliskan berjuta kata, kuterbitkan berpuluh-puluh buku. Sudah kugali ilmu dari lubuk bumi hingga kupetik dari langit. Kemudian kusebar ke hamparan-hamparan tempat manusia berjuang. Ke padang-padang persaingan dan perebutan. Tetapi tak ada tanda-tanda bahwa itu semua ada manfaatnya untuk perbaikan kehidupan manusia.”
“Sudah kutemani jutaan manusia. Kubesarkan hatinya. Kudoakan kesembuhannya. Kumohonkan rezeki dan berkah. Kuupayakan penyelesaian masalah-masalahnya. Kuusap airmatanya. Kukipasi gerahnya. Kuwadahi kesedihan hatinya. Kutemani derita dari masalah-masalahnya. Kupersatukan dari pecahan-pecahannya. Kuhangatkan kesunyiannya. Kukuakkan jalan di depan kebuntuannya.”
“Tetapi mungkin aku salah Iqra` atas semua yang aku melayaninya. Sehingga tak ada gejala bahwa atas semua itu kehadiranku berguna.”
“Telah kupuasai hampir semua kenikmatan dunia yang hampir semua orang mempesta-porainya. Telah kuinfakkan waktu, tenaga, titipan ilmu dari Allah. Telah kusedekahkan sejauh usiaku dengan tidak mengejar kemewahan dunia yang hampir semua orang berebut untuk meraihnya. Telah kuikhlaskan karir, sukses, kedudukan, harta benda, dan berbagai hal yang kebanyakan orang memburunya melebihi cintanya kepada Tuhan. Tetapi siapa tahu sebenarnya aku salah Iqra`.”
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa kebahagiaan di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia”. [1] (Al-Qashsah: 77).
“Aku telah melanggar perintah atau rekomendasi-Nya. Sampai jauh melampaui setengah abad aku melupakan nasibku sendiri di dunia, sehingga dunia dan para penghuninya pun melupakanku”.