Dua Tembok Besi Setinggi Gunung
“Bangsa kita siap mengapresiasi dan mempersembahkan balasan baik bagi jasa beliau. Seharusnya bangsa kita mengajukan tawaran atau minta tolong. Seharusnya kita semua berpikir untuk mencari dan menemukan siapa dan apa saja yang bisa menyelamatkan kita dari keadaan yang kita tak bisa mengatasi. Tetapi yang kita lakukan justru sebaliknya…”
“Sebaliknya?”, Pakde Brakodin bertanya.
“Pendekar Dua Tanduk berkata: “Berilah aku potongan-potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: “Tiuplah api itu”. Hingga apabila besi itu sudah menjadi merah seperti api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga yang mendidih agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu”. [1] (Al-Kahfi: 96). Entah bagaimana asal usulnya, juga entah bagaimana penjelasannya, tapi apa yang kami simpulkan tentang bangsa kita tidaklah sama, bahkan mungkin bertentangan, dengan apa yang bangsa kami simpulkan tentang diri mereka. Bangsa kami tidak merasa sedang berada dalam cengkeraman Ya’juj Ma’juj. Bangsa kami…”
“Bangsa kami atau bangsa kita?”, Pakde Sundusin menyela. Anak-anak muda itu menjawab sambung bersambung.
“Ya. Bangsa kita… Bangsa kita merasa dirinya baik-baik saja. Kalaupun mereka kecewa, temanya sederhana: bahwa seharusnya mereka kaya tapi masih miskin. Bahwa seharusnya mereka makmur, tapi terlalu banyak yang mencuri harta mereka. Hampir tidak ada tema yang lebih mendalam, kualitatif atau yang bersifat nilai. Yang ada hanya merasa terjadi ketidakadilan materi”
“Jadi tidak perlu ada yang menolong mereka mendirikan benteng raksasa sejajar puncak dua gunung. Pelajaran atau pemaknaan tentang tembok besi, dua gunung, dan tembaga panas itu terlalu jauh dan dianggap mencari-cari…”.