Dosa dan Cinta
Siapapun yang mencintainya, tak kan pernah tahan untuk tak menyatakan cinta kepadanya. Apalagi Allah sendiri yang mempeloporinya. Allah dan para Malaikat, melakukan “shalat” kepadanya. [1] (Al-Ahzab: 56).
Cara cucu mencintai Kakeknya berbeda dengan cara Kakek mencintai cucunya. Bentuk laku penghormatan buruh kepada majikannya, berbeda dengan cara majikan menghormati buruhnya. Cara shalat hamba kepada Tuhannya berbeda dengan cara Tuhan melakukan shalat kepada hambanya. Cara mencintai suami kepada istrinya, melahirkan perilaku yang berbeda dengan perilaku istri dalam mencintai suaminya.
Maka diperlukan transformasi penerjemahan, agar melahirkan pemaknaan yang lebih aman, dengan “Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi”. Betapa Iqra` bisa sangat berbahaya di dunia.
Landasan para hamba ber-ittiba’ kepada Rasulullah Muhammad saw adalah cinta. Karena cinta, untuk cinta. Bermula dari cinta, berakhir pada cinta. Aku bersyahadat, melakukan shalat, puasa, zakat dan haji, sangkan-parannya adalah cinta. Aku beriman kepada Allah, para Malaikatnya, Kitab-Nya, Rasulnya, hari akhir, serta Qadla dan Qadar, sangat mengakar rasa dalam jiwa, sangat tegak pemahaman di pikiran, serta sangat nyaman dalam lelaku – karena berhulu dan berhilir cinta.
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [2] (Ali ‘Imran: 31).
Allah memastikan bahwa pengampunan dosa secara sangat mendasar berkaitan dengan “Segitiga Cinta”: mata air dan muara cinta, antara Ia dengan hamba-hambaNya, serta dengan Muhammad kekasih utamaNya. Sekali lagi: betapa Iqra` bisa sangat berbahaya di dunia.