Ditimpa dan Musibah
Ndusin yang sejak tadi seperti tertidur di pojok ruang, tiba-tiba bersuara. “Ini omong apa saja. Tema berpindah-pindah, berganti-ganti, kesana kemari tak ada remnya. Ayat lagi, Iqra` lagi.…”
Padahal ternyata kemudian Ndusin ber-Iqra` juga.
“Pantas kita tidak pernah mencapai apa-apa dalam kehidupan kita”, Ndusin meneruskan, “kalau membicarakan sesuatu tidak pernah tuntas. Satu soal belum selesai, pindah ke lainnya. Selalu setengah matang. Tidak pernah memuncak, karena tidak jelas pijakannya. Tidak pernah ke ujung, karena tidak jelas pangkalnya. Mbok kalau sudah ‘inna lillahi’ dituntaskan sampai ‘ilaihi roji’un’….”
Tarmihim tertawa cekakakan. “Ini gara-gara Junit sejak tadi mengutip-ngutip ayat Qur`an, terus kita semua terpengaruh dan terseret. Sekarang Pakde kalian Ndusin tidak mau kalah. Tapi dia tahunya yang Arab-Arab cuma inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. [1] (Al-Baqarah: 156).
Sundusin tak mau diremehkan. “Lho inna lillahi wa inna ilaihi roji’un kan merupakan pedoman utama kehidupan manusia. Route dan skema perjalanan hidup kan lillahi kemudian ilaihi. Prinsip itu ringkas padat dan jelas. Kalau satu kalimat pendek itu saja dipegang teguh dalam kesadaran, maka kaki pasti melangkah di jalan lurus dari Tuhan menuju Tuhan”
“Pakdemu Sundusin ini hidupnya penuh musibah. Maka ia sangat peka terhadap ayat itu. “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”.
“Anak-anak coba buka jendela lebih lebar”, Sundusin merespon, “musibah adalah sesuatu yang menimpa. Tidak harus sesuatu yang mencelakakan. Begitu kita lahir, kita ditimpa oleh kelahiran. Sepanjang hidup ini, setiap detik, kita ditimpa dan terus ditimpa….”.