Disembunyikan, Disamarkan, Di-Jahr-kan
Andaikan tak terjadi bencana pertama yang menghancurkan perekonomian Kerajaan Besar, tetap saja sangat nyata ancaman dari bencana kedua dan ketiga. Bencana kedua merupakan semacam wabah yang mungkin tak bisa disembuhkan oleh satu millenium berlangsungnya sejarah. Tetapi andaikan bencana ketiga bisa ditekan, mungkin tidak separah itu keadaan bangsa Nusantara.
Maka ia melakukan berbagai macam modus hijrah. Menutup informasi dua tahun penuh. Selama vacuum itu ia menata segala sesuatunya: ada yang harus disembunyikan, ada yang harus disamarkan, ada yang tetap di-jahr-kan namun dengan kamuflase kode-kode. Belum tujuh abad lagi para pekerja sejarah dan ahli-ahli masa silam bisa membaca rahasia-rahasia itu.
Tanah Jawa masih luas. Tanah Nusantara bisa dikatakan semacam janda yang masih subur, yang tetap bisa ditanami dan berbuah. Maka Pemuda Wali melakukan penyebaran Ksatria ke sangat banyak wilayah-wilayah. Kader-kader yang tersisa dari Kerajaan Besar ia sebar, dengan harapan akan menjadi perawat nilai, penjaga kemanusiaan, peramu kemasyarakatan. Agar lebih memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana ketiga.
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya sebelum sampai ke tempat yang dituju, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [1] (An-Nisa: 100).
Pemuda Wali Kubro mengerti bahwa ia punya tak cukup waktu dalam hidupnya, meskipun kelak orang tahu usianya jauh melebihi panjangnya hidup rata-rata manusia. Tetapi itu tetap tak cukup, meskipun tak henti ia menanam benih.