Di Negeri Ngamarta Petruk Palsu Dadi Ratu
Kocap kacarita….
Di negeri Projo Ngamarta, sang Prabu Puntadewa bertarung melawan para buto, berdaya upaya sekuat tenaga membersihkan negerinya dari segala bentuk kezaliman dan kemunkaran.
Namun kezaliman terus lahir, kejahatan terus berkembang bahkan makin merajalela. Hingga pada puncak kelelahan dan keputusasaan, Prabu Puntadewa ditemani oleh Janaka sowan kepada Kyai Semar dan curhat tentang kondisi Projo Ngamarta. Maka Semar pun membekali sang Prabu dengan berbagai macam wejangan, dari pengertian “Jowo” hingga pada pemahaman mengenai sedulur papat limo pancer, lengkap dengan simbolisasi warna, pralambang dewa-dewanya serta aktivasi energi malaikat yang menyertainya. Prabu Puntadewa berusaha menyerap sebanyak mungkin materi-materi dari Ki Lurah Semar Badranaya, namun saudaranya, Janaka, malah ketiduran selama sesi tersebut berlangsung.
Kesaktian dan kebijaksanaan Sang Prabu memang meningkat, digambarkan dengan adegan Sang Prabu mengalahkan seorang raja bangsa siluman. Tapi masalah tidak juga kunjung selesai.
Kemudian datanglah Batara Narada sang menteri penerangan para dewa membawa pesan bahwa menurut petunjuk Batara Guru yang juga diteruskan dari titah Sang Hyang Wenang, bahwa bilamana problematika kehidupan di dalam Projo Ngamarta telah begitu rupa sulit diselesaikan maka itulah saatnya kekuasaan dipegang oleh kaum wong cilik.
Tanpa diduga, di tengah dialog antara Batara Narada dengan Prabu Puntadewa muncullah Petruk yang datang atas dawuh Ki Lurah Semar. Hal ini lantas diartikan pertanda bahwa kekuasaan mesti diserahkan untuk sementara kepada Petruk sebagai representasi wong cilik, jelata. Sementara Prabu Puntadewa dan Janaka mesti menjalani laku topo broto selama empat puluh hari.
Petruk pun naik tahta, muncul dengan jubah kebesaran dan mahkotanya. Namun rupanya, permasalahan dalam negri Projo Ngamarta tidak juga selesai bahkan kondisi makin runyam, harga-harga bahan pokok melambung, rakyat makin kesusahan, para siluman dan demit makin merajalela.
Wrekudara, Nakula dan Sadewa pun menghadap Sang Prabu Petruk. Wrekudara yang memang tak terbiasa unggah-ungguh selain pada ibu dan gurunya langsung menyerang dengan kritik-kritik tajam, Nakula dan Sadewa pun mengamini. Tapi rupanya Prabu Petruk malah membela diri, dia merasa telah melakukan segala yang dia bisa dalam menjalankan pemerintahan. Membangun infrastruktur, membersihkan birokrasi adalah hal-hal yang selalu diungkit-ungkit oleh Sang Prabu Petruk.
Wrekudara ngotot, bahwa kehidupan rakyat kecil makin sulit. Naik pitamlah Sang Prabu Petruk, Wrekudara diusir dengan dalih tidak “sami’na wa atho’na” pada pemimpin, sedang Nakula dan Sadewa dikenai pasal percobaan makar terhadap pemerintahan yang sah.
Setelah terusirnya Wrekudara cs, menggugatlah Wisanggeni dan Antasena. Bahwa tuduhan-tuduhan terhadap para sesepuh mereka itu sangat tidak beralasan. Prabu Petruk tetap bebal. Darah muda Antasena mendidih, Sang Prabu Petruk pun dihajar.
Namun ternyata Prabu Petruk kemudian bisa tiwikrama menjadi raksasa yang sangat besar dan kuat. Antasena balik dihajar oleh Petruk dalam ujud raksasa.
Babak berganti….
Petruk Asli Ternyata Sedang Ngaji Bareng
Di tempat lain, sosok Petruk dan Bagong malah sedang berdiskusi dan menyimak wejangan dari sosok Emha Ainun Najib atau Cak Nun dalam bentuk wayang. Cak Nun menjabarkan soal tafsir “wong Jowo gari separo, Cino gari sakjodo, Arab gela-gelo”. Suasana diskusi ini penuh canda tawa, keriangan dan kemesraan. Majelisnya tidak hanya bermuatan ilmu namun juga ada nuansa. Singkat kata, Petruk (yang jelata, yang asli) dan Bagong ternyata lagi asyik Maiyahan.
Keberadaan Petruk yang asli baru diketahui oleh Wisanggeni dan Antasena ketika sowan ke Ki Lurah Semar dan rupanya di situ ada Petruk dan Bagong yang baru pulang Maiyahan.
Wisanggeni dan Antasena pun menyampaikan keheranan sebab yang mereka mengerti, Petruk sedang berada di Ngamarta.
Mendengar keberadaan Petruk palsu yang memegang tampuk pemerintahan Projo Ngamarta dan malah memperburuk keadaan, Petruk langsung menuju ke Projo Ngamarta dan menghajar Prabu Petruk. Sang Prabu, yang bisa bertiwikrama dan mengalahkan Antasena malah dihajar habis-habisan oleh Petruk asli.
Akhirnya Prabu Petruk dapat ditundukkan oleh Petruk jelata asli. Semar datang dan dengan kewibawaannya memerintahkan Sang Prabu Petruk untuk menunjukkan wujud aslinya.
Rupanya selama ini, Batara Kala yang menyamar jadi Prabu Petruk. Terbongkarlah penyamarannya.
Kejadian ini dijadikan pelajaran oleh Semar kepada Puntadewa, diberikannya wejangan bahwa sungguh mengurusi negara sebesar Ngamarta bukanlah hal mudah sehingga jangan sembarangan memberikan mandat kekuasaan. Selain itu, seorang pemimpin yang baik mestilah tidak pernah jauh dari tokoh intelektual yang diwakili oleh Prabu Kresna dan tokoh spiritual yang dilambangkan dengan Semar.
Tancep kayon….
Ikhtiar Penggalian
Ketika sebuah pentas pagelaran wayang telah rampung, ditandai dengan ditancapkannya kembali gunungan untuk mengakhiri babak cerita, maka menjadi tugas penontonlah untuk memaknai kisah tersebut. Mengambil hikmah dan mengaplikasikannya dalam laku kehidupan sehari-hari.
Pagelaran berjudul Petruk Kembar yang penulis coba kisahkan secara singkat di atas, dbawakan pada Mocopat Syafaat bulan Januari 2017 M, yakni adalah Mocopat Syafaat pertama untuk tahun 2017. Sebuah pambuko.
Tentu ini adalah lakon carangan, dan dibawakan oleh dalang Ki Sigit Ariyanto dari Rembang beserta rombongan grup Cakraningrat asal Rembang. Selain lakonnya yang bisa dikategorikan carangan, beberapa aspek dalam pementasan juga dimodifikasi sedemikian rupa; ukuran kelir terhitung minimalis, iringan gamelan pun begitu namun pada beberapa bagian dimasukkan unsur musik non-Jawa (penulis coba menghindari penyebutan modern) seperti bass electric, saxophone dlsb. Ki Dalang beserta rombongan gamelan mengenakan seragam baju koko hijau dan berblangkon, sementara dua sinden berkostum pink dan berjilbab. Pilihan bebunyian dalam pakeliran selain tetap memakai tembang-tembang khas Jowo juga menggunakan beberapa gubahan sholawatan.
Untuk ukuran pagelaran wayang kulit, durasi pementasan lakon Petruk Kembar ini terhitung cukup singkat, hanya berjalan sekitar satu setengah jam. Singkat namun padat.
Baiklah, cukup sampai di sini kita bicara soal teknis pementasan. Karena penulis sendiri tidak punya cukup bekal pemahaman mendalam soal seni pedalangan.
Wayang memang sarat dengan sanepa dan kemelekatan manusia Jawa pada kesenian satu ini bisa jadi karena wayang, walau berkisah tentang dunia dan tokoh-tokohnya sendiri namun justru seringkali terasa dekat dengan permasalahan sehari-hari.
Atsmosfer di TKIT Alhamdulillah tampak sekali sejak awal mula pagelaran, bahwa para sedulur JM sangat merasakan koneksi dengan kisah yang dibawakan. Sebelum dimulai, Ki Dalang memang sempat menyampaikan bahwa kerangka cerita lakon ini banyak beliau serap dari Mbah Nun.
Tentang negeri Ngamarta yang dikuasai oleh berbagai kezaliman, tidak berdayanya kaum berhati suci semacam Puntadewa sementara di sisinya, Janaka sang panengah Pandawa malah mencerminkan kelas menengah yang malas-malasan bila diajak berpikir dan berolah rasa (tertidur saat diwejangi oleh Ki Lurah Semar)
Puntadewa yang berhati suci dan kadang naif itu tetap berusaha, namun rupanya kondisi di Ngamarta tak jauh berbeda dengan sebuah negri dalam jagad wayang pada dimensi yang berbeda bernama Indonesia. Hati suci belum cukup untuk membereskan permasalahan, perlu ketajaman pikir, bangunan logika yang kokoh, ilmu yang mumpuni serta kepekaan pada nuansa.
Mereka yang berhati bersih memang sering akan dapat juga cahaya petunjuk, Nur huda (Narodo, Narada) namun turunnya petunjuk tanpa dinalar kembali dengan panjang dan mendalam sering juga menghasilkan keputusan yang tergesa-gesa. Sehingga ketika Petruk palsu muncul dalam pertemuan Puntadewa dengan Batara Narada, lalu dianggapnya sebagai instruksi bahwa menaikkan wong cilik ke tampuk kekuasaan berarti mengangkat Petruk sebagai Ratu.
Keputusan ini mengandung ketidaktepatan, kurangnya presisi pikir. Niat baik yang terlalu buru-buru demi mengubah keadaan Ngamarta menjadi lebih baik. Apakah mengangkat Petruk jadi ratu memang adalah aplikasi dari amanat mengangkat wong cilik jadi penguasa? Apakah wong cilik hanya Petruk? Itu kalau Petruknya asli, dan pada akhir kisah akhirnya kita tahu juga bahwa ternyata itu bukan Petruk yang orisinil, wujudnya wong cilik namun menyimpan ambisi Batara Kala. Bisa pula kita teruskan bertanya, mengubah Ngamarta menjadi lebih baik itu lebih baik veri siapa? Versi Bank Dunia? Versi bangsa Eropa? Apakah menjadikan Ngamarta yang manusia-manusianya sangat otentik itu seperti negara-negara macam Singapura, Abu Dhabi dlsb itu adalah perbaikan?
Karena kalau hanya soal pemberadaban dengan sudut pandang tertentu, Daendels datang ke Jawa juga untuk membangun, memberadabkan yang tidak beradab atas titah Napoleon saat itu dengan kalimatnya yang terkenal “Pulau Jawa harus diselamatkan”.
Tidak semua penjajah merasa dirinya menjajah. In fact, kebanyakan penjajah merasa dirinya sedang melakukan proses kemajuan, dalam bahasa Bernard Shaw “jalan menuju neraka tidak disusun atas niat buruk, dia disusun oleh niat baik yang salah. Semua manusia berniat baik” kalau pakai bahasa puitis WS Rendra “MAKSUD BAIK SAUDARA UNTUK SIAPA?”
Maka dalam pemerintahan Petruk palsu, wong cilik jadi-jadian itu. Hal-hal lumrah yang memang sudah semestinya dilakukan oleh pemegang tampuk kekuasaan digembar-gemborkan sebagai suatu prestasi luar biasa; Pembangunan infrastruktur, birokrasi yang rapi. Hal-hal yang wajar dilakukan oleh sebuah pemerintahan, Firaun sekalipun. Toh birokrasi yang praktis dan infrastruktur juga sangat menyenangkan kaum demit penguasa modal, siluman–siluman kartel dan buto-buto kapitalisme global. Kita semua tahu, kapitalisme global juga memang sangat tidak suka birokrasi rumit dan pungli.
Sehingga ketika Wrekudara yang pada dasarnya suka ngomong ceplas-ceplos mengkritik, dianggap oleh penguasa wong cilik tapi gede (cilik mental, gede ambisi) itu sebagai ketidakpatuhan terhadap penguasa. Nakula dan Sadewa dengan serampangan dituduh akan berbuat makar.
Penulis coba meresapi suasana saat adegan berlangsung, tampak wajah-wajah yang merasa terwakilkan oleh pagelaran wayang malam itu. Mungkin mereka pernah merasa menjadi Wrekudara-Wrekudara yang dianggap haters, atau Nakula-Sadewa yang dikira tidak nasionalis. Karena mental kerdil tidak bisa membedakan apa itu loyalis dan apa itu nasionalis.
Wrekudara, Nakula dan Sadewa terusir. Antasena dan Wisanggeni menggugat. Dua tokoh muda sakti mandraguna. Sempat sekali Prabu Petruk jadi-jadian kena hantam dan dihajar oleh Antasena.
Namun ujud wadag sebagai Petruk wong cilik itu memang efektif bagi penguasa untuk berjualan mental victim. Tiwikrama dia, dengan dukungan instrumen politik dia menjadi rakasasa kekuasaan yang bisa dengan mudah menghajar Antasena dan melibas Wisanggeni. Dua gerakan massa yang walau berpotensi besar namun memang masih kurang solid dan masih agak dangkal dalam penggalian wacana. Masih terlalu reaktif.
Kemana wong cilik, Petruk yang sebenarnya? Ternyata itu digambarkan, sedang Maiyahan meresapi pitutur-pitutur dari Mbah Nun, diiringi lamat-lamat tembang ilir-ilir. Mencoba membangun kembali konstruksi pikir yang kokoh. Memaknai kembali apa-apa yang masih terbuka untuk dimaknai namun seringkali sudah terlalu baku dan beku dalam pemahaman umumnya masyarakat. Radikal, fundamental dalam konotasi yang sangat positif.
Pada akhirnya ternyata bukan Wrekudara, bukan Wisanggeni atau Antasena yang mampu menaklukkan pemerintahan Petruk palsu, wong cilik jadi-jadian itu, namun justru Petruk asli yang jarang sekali dalam lakon-lakon pewayangan digambarkan kesaktiannya dan dengan bimbingan dari Ki Lurah Semar Badranaya tampaklah ujud asli Petruk palsu itu, rupanya Batara Kala dia.
Apa yang penulis coba sampaikan di atas adalah semampu-mampu penulis menggatukkan kisah lakon Petruk Kembar dengan apa yang penulis pahami tentu dengan berbagai keterbatasan. Ki Dalang setelah pagelaran sempat berpesan, bahwa nasihat-nasihat dalam kisah pewayangan bukanlah nasihat instan yang langsung dipahami begitu kita melihatnya. Terkadang dia butuh diendapkan, mungkin sampai difermentasikan dulu, hingga dia mencapai tahap fungsi yang paling optimal.
Dan beberapa pertanyaan memang masih belum terjawab oleh penulis sendiri. Seperti, kemanakah Nala Gareng dalam lakon ini? Juga ada pertanyaan menarik dari sedulur JM ketika dibuka sesi diskusi “Kenapa harus empat puluh hari? Kenapa tidak tujuh hari saja? Empat puluh hari koq rasanya kelamaan”.
Sebenarnya, pada awal datang ke lokasi Mocopat Syafaat malam itu ada dibagikan selebaran berisi wirid yang mungkin rencananya akan diwiridkan bersama-sama dengan tuntunan dari Mbah Nun. Tapi wirid ini belum jadi terlaksana, karena ternyata waktu yang ada malam itu masih terlalu sempit, tidak seperti yang diperkirakan dalam urutan rundown Mocopat Syafaat. Harus berbagi rahmat waktu bersama KiaiKanjeng yang malam itu menghadirkan sejumlah nomor baru, sesi Redaktur Maiyah dan Kiai Muzammil, dan Mbah Nun sendiri yang justru lebih banyak mengawal, memberikan pengantar, dan menyampaikan beberapa poin penting yang krusial buat memahami apa yang akan terjadi pada waktu mendatang yang merupakan puncak eskalasi dari apa yang tengah berlangsung di Indonesia, serta mengajak Jamaah buat mengapresiasi Lakon Petruk Kembar oleh Ki Dalang Sigit.
Wirid yang rencananya akan dibaca itu kalau tidak salah diambil dari surah Ali Imron ayat 26. Isinya adalah permohonan agar Gusti Allah langsung turun tangan memberi kuasa pada yang berhak berkuasa dan mencabut kuasa dari yang tidak berhak, serta memuliakan yang memang mulia dan memperhinakan yang memang sejatinya hina.
Bila coba kita hubungkan dengan lakon Petuk Kembar yang dibawakan Ki Dalang Sigit Ariyanto, saya pribadi membayangkan di akhir cerita ketika Petruk jadi-jadian sudah kalah oleh Petruk asli, Semar datang membaca wirid ini hingga tampaklah wujud aslinya yang rupanya adalah Batara Kala itu.