CakNun.com
Wédang Uwuh (55)

Dewan Sesepuh Desa

Kedaulatan Rakyat, 28 November 2017
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Terdapat dua destruksi sosial yang sangat menggelisahkan di kampung tempat tinggal Simbah. Pertama, ternyata belum reda perilaku Klithih anak-anak remaja. Korban-korban kekerasan yang tak berdosa terus bertambah. Kedua, peningkatan peredaran dan konsumsi narkoba.

Berbagai pihak termasuk para ahli kemasyarakatan belum bisa menyimpulkan secara akurat kenapa budaya Klithih muncul di wilayah kota budaya Yogya yang merupakan kota pelajar, kota budaya, dan kota pluralisme yang selama ini terkenal sangat tenang dan damai.

“Ini bukan hanya ironis, tapi juga sangat memalukan”, kata Beruk dan Gendhon yang kelihatannya agak sibuk kesana kemari soal Klithih itu, meskipun tidak jelas dalam posisi sebagai apa.

“Menurut cerita Simbah”, kata Gendhon, “dulu Simbah punya teman dari London yang hampir 20 tahun hidup di Jakarta bersama keluarganya dengan riang dan krasan. Simbah heran apanya yang istimewa di Indonesia ini sehingga mereka betah. Kehidupan tidak menentu, lalulintas macet, banyak ketidakpastian situasi, perlindungan Negara atas rakyatnya belum memadai. Kenapa mereka betah di sini”

Jawaban si London mengejutkan, “Di Jakarta dan seluruh Indonesia keadaannya jauh lebih aman dibanding di London Selatan di mana keluarga saya bertempat tinggal. Saya bisa pulang ke perumahan lewat tengah malam, tanpa gangguan apa-apa. Di Indonesia ini pembegal atau perampok masih rasional. Ada sebab kenapa mereka merampok. Misalnya karena keterpepetan ekonomi, dendam kelas atau antar kelompok. Juga kepada orang Bulé seperti saya mereka seperti lebih toleran. Lebih sopan dan mungkin semacam pekéwuh. Kalau di London kita bisa ditikam orang mendadak di mana saja tidak karena kita punya musuh, tidak karena ada dendam atau apa. Orang bisa membunuh orang tanpa sebab apapun. Tiba-tiba kalap dan siapa saja di dekatnya dibunuh, ditembak atau ditikam dengan senjata tajam. Itu semacam “temporary insanity“, kegilaan sesaat dan mendadak”

Dat nyeng, atau bahasa Jawa Timur-nya ndeng-ndeng-nak“, sahut Beruk, “ternyata hal seperti itu juga malah terjadi di kota terhormat yang bernama Yogya. Kita sangat merasa malu dan terpukul. Apalagi Klithih ini bukan dilakukan oleh orang-orang dewasa yang mabuk atau stress, melainkan oleh anak-anak remaja usia belasan tahun yang keadaannya normal, berasal dari keluarga baik-baik dan mungkin religius serta taat beragama”.

Kabarnya latar belakang Klithih antara lain adalah budaya persaingan anarkis antar geng anak-anak remaja. Mereka bersaing kebanggaan satu sama lain dalam hal “prestasi” berupa melukai atau membunuh orang. Dan siapapun yang diklithih itu bukan pihak yang punya persoalan apapun dengan mereka.

Jelas yang mereka alami adalah krisis eksistensi. Anak-anak remaja mengalami dislokasi dan disiorientasi sosial. Mereka tidak diantarkan oleh keluarganya, pendidikan Sekolah dan masyarakat serta Negaranya untuk memahami siapa dirinya, di mana mereka berada dalam nilai kehidupan, hendak pergi ke mana dan apa tujuan hidup mereka.

Segala sesuatu yang berlangsung dalam sejarah selalu berada dalam rute dan dialektika sebab dan akibat. Klithih adalah akibat dari suatu situasi krisis yang mungkin mikro atau juga makro. Mereka tidak berada di dalam alur akulturasi dan inkulturasi nilai, tidak dilibatkan di dalam proses akselerasi dan transformasi nilai-nilai mendasar kehidupan.

Nilai-nilai kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan kebangsaan, termasuk nilai-nilai keagamaan, tidak benar-benar menyentuh mereka, apalagi tertanam di dalam jiwa dan akal mereka. Akselerasi nilai Jawa misalnya tentang mo-limo, nilai-nilai agama tentang akidah dan akhlaq, tidak berhasil menuntun perilaku mereka. Secara keseluruhan ini membuktikan gagalnya Negara dan masyarakat mengaplikasikan nilai-nilai budaya, kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan keagamaan.

“Kita semua juga belum menghitung”, kata Beruk lagi, “kalau ini adalah sebab akibat, maka seberapa jauh sebab-sebabnya sudah berlangsung, sejak kapan, kenapa ada degradasi moral dan kemanusiaan sampai separah ini. Juga seberapa jauh akibatnya akan harus dialami ke hari-hari di depan. Semua kalangan di masyarakat maupun pemerintahan mungkin sudah lelah dengan kerepotan hidup sehari-hari mereka. Sudah “kesel” oleh kesulitan hidup dari hari ke hari di tengah komplikasi ketidakmenentuan dan ketidakseimbangan keadaan makro maupun mikro…”

“Belum lagi ditambah semakin maraknya budaya penyalahgunaan narkoba yang menurut saya sangat aneh”, Gendhon menambahkan, “Kenapa Negara sekuat ini dan Pemerintah sahebat ini semakin tidak mampu melindungi rakyatnya dari narkoba. Titik berat kecemasan soal narkoba selalu adalah wanti-wanti agar masyarakat berhati-hati jangan mengkonsumsi narkoba. Bukan bagaimana sistem besar Negara dan Pemerintah dengan kekuatan hukumnya membendung sumber-sumber narkoba. Bahkan terkadang ada rekayasa yang menjebak anak-anak remaja untuk dipancing mengkonsumsi narkoba, sehingga orangtua mereka bisa disandera untuk diperas…”

Ternyata Beruk dan Gendhon hari itu datang lagi ke rumah Simbah untuk menyampaikan pesan Pak Lurah, meminta Simbah datang ke Balai Kelurahan bersama sejumlah undangan lainnya. Ternyata juga pertemuan itu diinisiatifi oleh saran Simbah sendiri beberapa waktu sebelumnya.

Saran Simbah kepada Pak Lurah, juga kalau perlu Pak Camat dan Pak Bupati, agar di wilayah mereka disusun semacam Dewan Sesepuh di tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat Lokal. Jajaran Pemerintahan yang ada hendaknya dikawal oleh tokoh-tokoh masyarakat yang terkumpul di Dewan Sesepuh itu. Baik tokoh keagamaan, budaya maupun berbagai segmen lain. Jika ada suatu persoalan di masyarakat, terkadang tidak cukup diselesaikan secara formal oleh Pemerintah.

Perlu ada pendekatan yang lebih luas dan luwes, untuk menciptakan kemashlahatan dalam kehidupan masyarakat. Apalagi masalah seperti Klithih dan narkoba, yang tidak perlu diatasi hanya dengan pendekatan hukum dan birokrasi. Kedua persoalan itu sedang meningkat urgensinya, sehingga Dewan Sesepuh diperlukan untuk rembug dengan para aparat pemerintahan desa. Dan Simbah diminta oleh Pak Lurah untuk menjadi salah satu bagian dari Dewan Sesepuh itu. Apalagi ide itu datangnya dari Simbah sendiri.

Untuk keperluan itu, Pak Lurah meminta Beruk dan Gendhon untuk menyampaikan undangan kepada Simbah untuk hadir. Meskipun baru beberapa hari yang lalu Simbah menyuruh Beruk dan Gendhon untuk lebih banyak kembali berbaur dengan masyarakat “normal” — tiba-tiba mereka datang lagi ke rumah Simbah menyampaikan undangan Pak Lurah.

Beberapa kali Beruk dan Gendhon mengetuk pintu rumah Simbah, tapi tidak ada jawaban. Setelah sekian lama tiba-tiba terdengar suara Simbah dari balik pintu, “Ada apa Ruk? Ndon?”

Beruk mencoba menyampaikan undangan Pak Lurah dan menjelaskan latar belakangnya. Tapi Simbah menjawab bahwa ia tidak percaya ada Klithih dan narkoba merajalela. “Keadaan désa dan masyarakat kita sudah toto tentrem karto raharjo gemah ripah loh jinawi“, jawab Simbah, “keadaan Negara kita tidak kurang suatu apa. Sekarang adalah era terbaik selama ada Indonesia”

Beruk dan Gendhon terus mencoba menjelaskan semaksimal mungkin, tapi gagal. Terakhir Simbah mengatakan, “Kedatangan saya tidak akan menambah apapun”

“Pak Lurah bilang kalau perlu pertemuan diselenggarakan di rumah Simbah sini…”, kejar Beruk.

Simbah menjawab, “Tidak. Saya lelah…”.

Lainnya

Topik