Delta Sejarah
Pemuda yang masih sangat muda namun akan menjadi tokoh besar itu berhitung-hitung segala sesuatu yang dilihatnya dan dialaminya. Pertama semburan lumpur itu terjadi di desa-desa sekitar sebuah Delta di mana sebuah sungai besar membelah bercabang dua.
Di zaman itu manusia dengan alam masih bersatu seperti tubuh dengan darahnya sendiri. Terkadang manusia merasa ia bagian dari alam yang luas, di saat lain ia menemukan alam ada bagian dari jagat dirinya. Terhadap sungai bercabang dua itu naluri pemuda itu langsung merangkai semacam mistifikasi. Tentu ia bukan kelas manusia klenik yang mengarang-ngarang, mengkhayal-khayalkan untuk mempertemukan sesuatu yang sebenarnya tidak ketemu.
Pemuda itu punya potensi sebagai Ulul Abshar dan Ulul Albab. Seorang intelektual yang berdiri di atas kesadaran bumi, berteduh di bawah kesadaran langit, bersandar di kesadaran pohon, serta berbaring di kesadaran rumput. Ia tidak menduga-duga sesuatu, meskipun sangat mencarinya. Ia hanya mencatat ada sesuatu yang akan terbelah menjadi dua. Ada satu arus ke suatu arah yang kemudian mengalami sesuatu sehingga berikutnya memunculkan dua arah.
Semacam Delta Sejarah. Ia mengingat-ingatnya saja. Belum memaknainya. Ia berpikir: ketika menggambarkan sorga, Allah selalu menyebut sungai. Maka begitu pentingnya sungai sebagai informasi dan ilmu. “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; senantiasa berbuah dan teduh”. [1] (Ar-Ra’d: 35)
Apakah Kerajaan besar ini akan terbelah menjadi dua? Apakah akan ada peristiwa sejarah yang besar yang akan membuat ratusan ribu manusia mengalami perpindahan ke dua arah? Di tepian lebaran lumpur, ia menatap kejauhan di mana Kerajaan besar itu berdiri. Dadanya bergelora. Ternyata hatinya sangat dekat dan sudah tertanam rasa cinta kepada mereka yang menghuni Kerajaan itu.