Dakwah Pelit
Markesot jadi merasakan betapa Kanjeng Nabi dulu berdakwah bukan mengutamakan pengetahuan tentang Surga dan Neraka yang titik beratnya adalah ancaman. Muhammad memudahkan proses Islamisasi ummatnya, meskipun dengan simulasi pagar “jangan dimudah-mudahkan”. Ada sejumlah kesulitan dalam memperjuangan Islam di dalam diri dan masyarakat, tapi “jangan dipersulit”.
Kanjeng Muhammad adalah Nabi yang sempurna ilmunya sejauh ukuran perkenan Allah, tapi ia adalah manusia yang sangat murah hati. Sementara kita adalah penyampai Islam yang sok pinter, dan sangat pelit. Kita menyampaikan Islam dengan sikap mental yang sangat bakhil.
Betapa waskita-nya nenek moyang dulu, yang mewariskan rumus dinamika sikap hidup “ngono yo ngono ning ojo ngono”. Itu sangat dinamis, sangat bersifat “hijrah” dalam berpikir, merenung, memuhasabahi dan mensimulasi setiap zarrah pengetahuan, yang tidak hanya dipikirkan, tapi juga dirasakan.
Hari ini Kaum Muslimin dikejar hantu dari dalam tubuh Kaum Muslimin sendiri: “Awas, jangan sembarangan mengutup ayat-ayat Qur`an. Awas jangan menyerupai perilaku kaum Kafirin. Awas itu bid’ah. Awas kafir. Awas sesat. Awas musyrik. Awas awas awas. Menjadi Muslim bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Menjalani Islam seperti mencari akik yang sudah digosok di tengan padang pasir”.
Sementara Kanjeng Nabi Muhammad meneteskan air: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat”. Coba kita buka: mutiara itu didengar, diingat dan disampaikan oleh salah seorang dari Al-’Abadillah, para sahabat Nabi Muhammad yang bernama Abdullah, yakni Abdullah bin Amar (bin Al-Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy) bahwa beliau manusia hampir sempurna itu berpesan kepada semua ummatnya: “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat”. [1] (HR. Bukhari)