Catur Sila
Anak-anak saya yang di SMP dan SMU mulai banyak rewel bertanya tentang Pancasila. Bisa dipastikan saya menjadi gelagapan. Di zaman saya bersekolah dulu tidak pernah memperoleh muatan penjelasan yang matang sehingga nyantol di memori otak saya. Di masa dewasa saya juga tidak punya peluang untuk mengikuti P-4.
Maka wajib saya mencari bahan-bahan dari berbagai sumber untuk menanggapi anak-anak. Saya tidak mau mereka anti-Pancasila, tapi saya juga keberatan kalau dalam kehidupan anak-anak saya Pancasila hanya jargon, lipstik, proforma pergaulan bernegara. Saya takut anak-anak saya terlanjur mengenal nilai tanpa mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Lebih mengerikan lagi kalau besok-besok anak saya tersangkut dalam arena persabungan kekuasaan politik. Yang karena goal urusannya adalah kalah menang, bukan benar salah atau baik buruk — maka mereka memegang Pancasila di tangannya tidak untuk keindahan nilai dan kebijaksanaan laku kehidupan. Saya akan masuk neraka kalau anak-anak saya memperlakukan Pancasila untuk kapital kekuasaan, komoditas transaksi pilih memilih, manipulasi identitas, atau mengeksploitasinya untuk menindas lawan-lawan politiknya.
Pancasila adalah jalan tol menuju gerbang sorga, karena Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang merentangkan jalan itu sejak awal di Sila Pertama. Kalau sampai gara-gara Pancasila saya malah masuk neraka, saya akan mati nelangsa, dihabisi di neraka dengan hati diaduk duka derita, serta dengan memekik-mekik oleh rasa sakit dan penyesalan sepanjang masa.
Mudah-mudahan neraka menerapkan satuan waktu, sehingga ada batas tertentu untuk berada di sana. Dengan demikian ada harapan untuk pada akhirnya bergabung dengan bangsa Indonesia di sorga yang tak ada batas waktunya. Kholidina fiha abada. Kekal plus abadi. Menurut almarhum legenda tinju Muhammad Ali kekekalan itu setara dengan jumlah debu di padang pasir dikalikan seribu tahun. Keabadian mungkin lebih panjang: per-debu bernilai sejuta tahun. Entahlah, besok-besok kita bawa kalkulator untuk menghitung bersama.
Celakanya, sebelum saya menggali bahan-bahan, ketika pertama anak-anak menabrak saya soal Pancasila, entah karena pengaruh Setan atau Iblis atau Dajjal, yang keluar dari mulut saya adalah: “Catur Sila saja, nggak usah Panca Sila dulu…”
Mampus. Mereka mengejar. Sehingga saya terpaksa memeras pikiran dan menyibak-nyibak akal untuk menjawabnya, seperti mencari sebatang jarum di tengah tumpukan rumput kering, damèn dan alang-alang. “Jangan libatkan Tuhan dulu. Sila pertama simpan dulu”, saya menjawab terbata-bata, “untuk tahap awal cukup belajar jadi manusia saja, dengan pedoman kemanusiaan dan tata nilai kebudayaan”
Wajah anak-anak saya campuran antara kaget, sedikit paham dan banyak belum paham yang Bapaknya maksudkan. “Belajar dan berlatih jadi manusia. Menghormati kakak kemakhlukannya, yaitu alam. Kemudian menyayangi adiknya bumi langit, yaitu hewan. Lantas berlatih menghormati sesama manusia, mencintai kemanusiaan, menjaga nyawa sesama, merawat martabat, tidak menyakiti hati mereka, tidak mengambil harta mereka, tidak korupsi, tidak menganiaya, tidak menindas, tidak menang dengan harus mengalahkan lainnya. Belajar menjadi manusia, dengan cara memanusiakan sesama manusia…”