CakNun.com

Cak Nun dan Kelahiran Tunas Baru Sepakbola Indonesia

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 5 menit

Jika anda seorang pemilik Klub Sepakbola, maka sudut pandang anda bukan hanya soal kemenangan demi kemenangan yang diraih klub sepakbola yang anda miliki. Tetapi lebih dari itu, klub sepakbola milik anda harus memiliki nilai jual secara ekonomi yang kemudian menghasilkan uang lebih besar.

Sepakbola hari ini bukan hanya sekadar pertandingan antar dua kesebelasan di lapangan hijau selama 90 menit. Sepakbola hari ini begitu pesat perkembangan industrinya. Tidak ada yang mengira sebelumnya jika seorang pemain sepakbola akan dihargai hingga 3 triliun rupiah dalam klausul penjualannya. Nyatanya, hari ini kita melihat bahwa hal itu benar-benar terjadi.

Ada banyak peluang yang akhirnya bisa dijual dari sepakbola hari ini. Selain tiket pertandingan dan merchandise sepakbola, kini data statistik pemain sepakbola bahkan menjadi sebuah data yang bernilai materi. Belum lagi iklan dan hak siar sebuah pertandingan yang juga nilainya sangat fantastis hari ini. Dan masih banyak lagi sisi kapitalisme dalam industri sepakbola hari ini yang dulu tidak pernah terbayangkan sama sekali.

Sepakbola, dengan cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, hingga resolusi pandang yang berbeda akan menghasilkan nilai-nilai yang berbeda pula. Jika anda adalah seorang Brajamusti sejati, maka ke manapun PSIM bertanding akan anda dukung di stadion. Begitu juga jika anda seorang Aremania, Bobotoh, Bonek, Slemania, Jakmania, dan yang lainnya. Sebisa mungkin seorang suporter akan mendukung tim kesayangan secara langsung ketika bertanding di lapangan. Bukan hanya di stadion kandang, melainkan juga tandang. Bukan hanya dalam negeri, kalau bisa luar negeri juga akan ditonton langsung.

Atau mungkin anda adalah seorang fan sepakbola yang hanya mampu menonton tim favorit anda melalui televisi di setiap akhir pekan di rumah, café, atau bahkan hanya melalui streaming di komputer, laptop atau handphone di tangan anda. Atau anda bukan seorang die hard suporter sepakbola, yang hanya melihat hasil akhir sebuah pertandingan melalui cuplikan video atau melalui laman livescore di gadget anda. Apapun itu bentuknya, sepakbola memiliki tempat di hati setiap penikmatnya.

***

Sepakbola bukanlah hal yang asing bagi Cak Nun. Sejak kecil, beliau bemain sepakbola. Konon, beliau sangat piawai dalam bermain sepakbola dan Kiri Luar adalah posisi favorit beliau ketika bermain sepakbola dulu. Pada saat di Gontor, Cak Nun tergabung dalam tim sepakbola Tunas Harapan. Sebuah tim yang sangat legendaris di Gontor. Hanya pemain-pemain terbaik yang bisa lolos seleksi untuk masuk ke dalam tim sepakbola ini.

Ada satu cerita menarik yang beberapa kali dikisahkan Cak Nun. Di Gontor, satu-satunya wilayah yang tidak ada sekat antara santri dan guru adalah olahraga. Ada satu pertandingan di mana Cak Nun bersama Tunas Harapan bertanding melawan kesebelasan Tim Dewan Guru Gontor di mana dalam tim Dewan Guru tersebut ada Kiai Hasan Abdullah Sahal yang kini menjadi Pimpinan Pondok Modern Gontor. Adu skill hingga adu sikil pun terjadi dalam pertandingan itu. Romantisme adu slengkat antara Cak Nun dan Kiai Hasan menjadi salah satu kisah menarik yang sering diceritakan Cak Nun pada setiap bertemu dengan Kiai Hasan dalam panggung Maiyahan. Dan ketika hijrah ke Yogyakarta, Cak Nun tetap bermain sepakbola. Secara de facto, Cak Nun adalah pelaku sepakbola bahkan beliau adalah pemain “profesional” di zamannya.

Di awal 90-an, Cak Nun sangat produktif menulis kolom-kolom Sepakbola. Kumpulan tulisan-tulisan Cak Nun saat itu kemudian dibukukan dalam “Bola-bola Kultural”. Cak Nun mengupas sepakbola dari berbagai  sudut pandang, cara pandang, jarak pandang dan resolusi pandang yang melampaui zamannya. Industri sepakbola yang kita lihat hari ini, sudah jauh-jauh hari dikupas oleh Cak Nun saat itu. Kondisi sepakbola nasional Indonesia pun tak luput dari perhatiannya, bahkan hingga hari ini. Tentu jika kita menggunakan sudut pandang sepakbola modern, kita tidak akan melihat Cak Nun dalam dunia sepakbola Indonesia hari ini. Pelatih sepakbola bukan, pengurus federasi sepakbola juga bukan, menjadi seorang pundit yang menganalisis pertandingan dan strategi sebuah tim sepakbola juga bukan.

Entah dari mana awalnya hingga akhirnya Coach Indra Sjafri memiliki kedekatan personal dengan Cak Nun. Seingat saya, saat itu masyarkat sepakbola Indonesia dikejutkan oleh prestasi Tim Nasional U-19 asuhan Coach Indra Sjafri yang berhasil menjuarai Turnamen Piala AFF U-19 tahun 2013. Kemudian, prestasi Evan Dimas dkk kembali menuai pujian ketika memastikan diri lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Yangon, Myanmar. Salah satu pertandingan heroik yang selalu diingat adalah ketika anak-anak muda itu mengalahkan Korea Selatan di Stadion Gelora Bung Karno.

Para punggawa Tim Nasional U-19 saat itu pun kemudian menjadi sangat dekat dengan Maiyah. Letto bahkan secara khusus menciptakan lagu “Hati Garuda” untuk Tim Nasional U-19 ini. Coach Indra Sjafri pun pernah mengajak para punggawa Tim Nasional U-19 beserta para staf pelatih ke Kadipiro. Hubungan emosional antara Cak Nun dan Coach Indra Sjafri semakin dekat. Cak Nun dan Ibu Via bahkan secara khusus mengagendakan “Away days” ketika Tim Nasional U-19 itu bertanding di putaran final Piala Asia U-19 di Myanmar tahun 2014.

Seperti sudah kita ketahui bersama, Evan Dimas dkk belum berhasil dalam turnamen itu. Masyarakat sepakbola Indonesia kembali gigit jari. Dan hingga hari ini, Piala AFF U-19 tahun 2013 itu adalah prestasi tertinggi dan bergengsi yang terakhir kali diraih oleh Tim Nasional Indonesia. Setelah kegagalan itu, Coach Indra Sjafri pun harus merelakan posisinya sebagai pelatih Tim Nasional U-19.

***

Sepakbola Indonesia sebenarnya tidak luput dari persambungan Cak Nun dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Beberapa petinggi PSSI juga beberapa orang-orang di belakang layar Sepakbola Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan Cak Nun. Beberapa kali Cak Nun dimintai pertimbangan dan pendapat tentang Sepakbola di Indonesia oleh mereka. Di level akar rumput pun, Cak Nun sangat dekat dengan masyarakat sepakbola. Arema misalnya, beberapa hari yang lalu bahkan menghadirkan Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam satu rentetan perayaan 30 tahun mereka.

Sehari setelah Maiyahan bersama Arema di Stadion Tumpang awal pekan ini, Cak Nun kembali ke Yogyakarta dan sore harinya menyempatkan diri untuk menyambangi tempat latihan Tim Nasional U-19 di Lapangan Sepakbola Kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Coach Indra Sjafri beberapa bulan lalu kembali ditunjuk oleh PSSI untuk menangani Tim Nas U-19. Maka, pertemuan antara Cak Nun dengan Coach Indra Sjafri pun menjadi momentum yang berkelanjutan dalam dunia sepakbola Indonesia.

Masyarakat sepakbola Indonesia sudah sangat lama merindukan puncak prestasi Tim Nasional Indonesia. Dan Coach Indra Sjafri sudah membuktikan bahwa harapan itu sangat mungkin diwujudkan. Persoalannya adalah apakah para pemangku Organisasi Sepakbola di Indonesia ini benar-benar serius memperjuangkan hal tersebut atau tidak. Prestasi Jerman pada 2014 bukanlah prestasi instan. Meskipun memang sejak dulu Jerman sudah dikenal sebagai Negara sepakbola yang unggul, mereka pernah mengalami masa penurunan prestasi setelah menjuarai Piala Eropa tahun 1996.

Tetapi, federasi Sepakbola Jerman sangat serius membangkitkan kembali prestasi sepakbola nasional mereka. Pembibitan pemain usia dini mereka rintis dengan sistem baru. Setiap tim sepakbola yang berlaga di Liga Utama Jerman diwajibkan memiliki akademi sepakbola sehingga pembibitan pemain sepakbola usia dini terus berlangsung. Belum lagi banyak tersebar sekolah-sekolah sepakbola di luar akademi tim sepakbola itu.

Indonesia, mungkin masih jauh menuju ke arah tersebut, membangun akademi sepakbola di Indonesia tidak semudah seperti membangunnya di Jerman atau Negara Eropa lainnya yang memang secara kultur sepakbola mereka sudah terbangun. Di Indonesia, pembibitan harus disesuaikan terlebih dahulu kultur dan budaya yang ada. Dan Coach Indra Sjafri memilih untuk berkeliling Indonesia mencari bibit-bibit muda pemain Sepakbola Indonesia untuk kemudian disatukan dalam sebuah tim. Mungkin belum menghasilkan prestasi maksimal, tetapi setidaknya Piala AFF U-19 2013 lalu adalah bukti nyata bahwa sepakbola Indonesia mampu meraih prestasi.

Cak Nun bukanlah seorang pelatih sepakbola dengan lisensi kepelatihan AFC apalagi FIFA, sehingga saya melihat Cak Nun melakukan pendekatan secara budaya dan kultural kepada Coach Indra Sjafri dan Tim Nasional U-19. Ada nilai-nilai yang harus tetap ditanamkan dalam hati setiap individu pemain sepakbola agar kesucian sepakbola tetap terjaga. Bagi sebagian orang pasti akan nyinyir terhadap persentuhan Cak Nun dengan Tim Nasional U-19 ini. Beberapa dari mereka akan beranggapan, siapa itu Cak Nun kok berani-beraninya melibatkan diri dalam Sepakbola Indonesia? Tahu apa itu Cak Nun tentang Sepakbola Indonesia? Dan segelintir kalimat-kalimat bernada miring lainnya sudah pasti akan ditujukan kepada Cak Nun.

Seperti sudah dituliskan oleh Cak Nun dalam “U-19, Senja dan Fajar”, bahwa optimisme untuk meraih prestasi puncak harus kita jaga agar tetap tumbuh. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita menjaga keberlangsungan proses tumbuhnya tunas-tunas baru di tengah membusuknya buah-buah yang ada. Dan melalui Maiyahan di berbagai daerah, Cak Nun setia menemani lahirnya tunas-tunas baru Indonesia ini. Persis dalam hal ini, Support Cak Nun kepada Coach Indra Sjafri dan skuadnya adalah satu bukti juga akan perhatian Cak Nun kepada lahirnya tunas-tunas baru Indonesia itu.

Lainnya

Exit mobile version