Bukan Ilmu, Tapi Rindu
“Kita ini seperti rombongan semut yang berenang mengarungi tujuh samudera. Dan andaikan tuntas akhirnya kita arungi tujuh samudera itu, yang kita peroleh bukanlah terutama ilmu dan pengetahuan, melainkan ketakjuban kepada Allah, yang membuat kita ndlosor di hadapan-Nya. Islam tak lagi bermakna pasrah, melainkan menyerah. Di ujung pengalaman tujuh samudera itu kita temukan awal pemahaman kenapa kedua orangtua kita sejak bayi mempopulerkan kata ‘Lillahi Ta’ala’…” , Markesot melanjutkan.
“Jangan bicara tentang tujuh langit. Pun sesungguhnya tak ada pengalaman tujuh samudera. Sedangkan atas setetes air yang menempel di bibir tatkala kita merenangi laut, tak kan pernah benar-benar bisa kita ilmu-i. Pengetahuan manusia tentang air dan udara, yang disimpulkan merupakan nyawa utama kehidupan manusia, sesungguhnya sangat menggelikan di mata para penduduk langit. Sedahsyat-dahsyat ilmu dan pengetahuan manusia, macet di tengah perjalanan jauh sebelum cakrawala. Yang bergerak mendekat kepada Allah dalam perjalanan kita bukan ilmu dan kehebatan lain yang dibangga-banggakan oleh manusia. Yang membuat kita mendekat kepada-Nya adalah ketakjuban dan rasa syukur. Yang membuat Allah mendekat kepada kita adalah cinta dan kerinduan. Itulah asal-usul inisiatif-Nya menyelenggarakan kehidupan, memancarkan Nur Muhammad, dan menciptakan alam semesta dan ummat manusia”
Tapi peradaban manusia mandeg. Menghentikan langkahnya di area kabanggaan kosong. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. [1] (Al-Baqarah: 91). Tuhan manusia sebatas warisan instan Bapak Ibunya.