Brussel, Tidak Ada Cinta yang (Tidak) Aku Bawa
Tepat setelah sholat jumat di KBRI Brussel, Cak Nun bersama Mbak Via dan rombongan beranjak ke kediaman Pak Bachtiar Hasan, anggota KPMI (Keluarga Pengajian Muslim Indonesia) Belgia. Perjalanan antara Brussel ke Bambrugge sore itu ditemani matahari yang malu dan semilir angin dingin di penghujung Desember. Teh panas dan cake pisang di musim dingin menjadi gabungan nuansa yang syahdu untuk menunggu waktu Ngaji Bareng Cak Nun malam nanti.
Dalam suasana hangat tersebut, Mas Arief, seorang dokter spesialis penyakit jantung yang mengambil program doktoral di Leuven, mendadak mendapat kabar gembira dengan diterimanya beliau untuk fellowship program di Belgia. Sembari mencium tangan Cak Nun beliau mengatakan bahwa Cak Nun adalah salah satu wasilah dari pencapaian beliau. Kejadian ini memantik sebuah diskusi hangat setelah Cak Nun memberi suatu pertanyaan, siapa subjek dari setiap kejadian di hidup dan semesta kita?
Kesadaran tentang subjek menjadi penting untuk mengetahui metabolisme dan struktur hidup manusia. Seperti Nabiyullah Musa ‘alaihissalam yang sempat GR untuk menganggap obat sakit perutnya adalah daun di ujung bukit dan bukan hak prerogatif Allah sebagai penentu, pemilik legitimasi kun fayakun. Manusia hidup harus menemukan formulasi kehadiran Allah dalam hidupnya sebagai seutuh dan setunggal-tunggal subjek.
Rasulullah, kekasih kesayangan Allah, adalah wasilah dari hidup. Formulasi cinta segitiga Allah, Rasulullah, dan kita sebagai hamba Allah. Semakin kita paham formulasi-Nya, kita lebih mempunyai kesempatan untuk tidak GR untuk men-subjek-i perubahan. Baik perubahan yang membikin hati gembira atau sedih. Karena toh kalau seolah-olah perubahan itu baik juga bukan kita sendirian yang menjadi sutradara, dan kalau pas hati sedih akan ditenggelamkan oleh prasangka baik terhadap sang penulis naskah. Karena kita dilatih untuk tidak GR, tidak merasa paling baik sendiri, muslim sendiri, atau mukmin sendiri, dan diajarkan para nabi untuk selalu subhanaka inni kuntu minadz-dzolimin, merasa dzalim dan kotor, kita membutuhkan Rasulullah, sang kekasih untuk bisa membangun koalisi cinta agar bisa dekat-dekat dengan Allah. Minimal, dalam kuasa Maha Melihat-Nya bisa melirik kita.
Maka Cak Nun dan rombongan datang ke Brussel tanpa membawa cinta. Karena cinta sudah dipasrahkan habis kepada Sang Maha Cinta dan kekasih-Nya. Tapi ya karena mungkin rasa memanusiakan manusia, beliau memberi cinta kepada Brussel untuk bersama-sama memutarkan kembali energi cinta yang lebih besar dari warga Indonesia Brussel dalam kemesraan Segitiga Cinta: Allah, Rosulullah, dan kita sebagai hamba. Sehingga untuk esok hari di Amsterdam, Cak Nun dan rombongan tidak membawa apa-apa kecuali semangat percintaan segitiga.