Bijaksana Dulu, Baru Pandai
“Jadi kami ini dilahirkan, dibesarkan, dan dididik oleh tradisi budaya dan bangunan peradaban di mana anugerah besi yang menyimpan kekuatan yang hebat dari Allah itu terang benderang dipakai manusia untuk menyombongkan diri dan menyombongi sesama manusia. Demikianlah tema tradisional dan konvensional hampir di semua kurun sejarah ummat manusia. Terutama era modernisme beberapa abad terakhir ini”, Seger mencatat.
“Sebentar”, Pakde Tarmihim memotong, “Setelah aransemen Perkasa dan Bijaksana, ada rakaat akhlaq berikutnya: “Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. [1] (Al-An’am: 73).
Pakde Tarmihim mengulangi penjelasan Mbah Markesot dulu bahwa manusia dipandu oleh Allah untuk berjalan melalui jalur keselamatan. Yakni perkasa, kemudian bijaksana, kemudian ‘alim, atau pandai atau mengerti. Keperkasaan bukan untuk diterapkan. Keperkasaan bukan bangunan sosial. Keperkasaan adalah modal untuk penerapan kebijaksanaan. Perjuangan untuk mencapai keperkasaan ilmu, teknologi, militer, politik dan teknokrasi sosial, hanyalah modal untuk supaya kokoh dalam menerapkan kebijaksanaan kemanusiaan.
Kalau sudah dicapai kematangan di mana produk keperkasaan adalah kebijaksanaan, barulah manusia punya kemungkinan untuk pandai. Sementara rute manusia terbalik dan penuh tikungan yang silang sengkarut. Manusia membangun kepandaian demi memperoleh keperkasaan. Tidak ada kepandaian yang menghasilkan keperkasaan. Yang menghasilkan keperkasaan pasti kebodohan. Kepandaian baru tercapai sesudah keperkasaan mengakses ke kebijaksanaan.