CakNun.com

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Suluk Berbangsa

Umar Satrio Hadi
Waktu baca ± 4 menit

Kalau pertengkaran nasional ini memang tak akan kita akhiri. Kalau saling curiga, benci, dan memusuhi ini tak kita upayakan bersama untuk selesai. Kalau tak henti-henti saling memunafiki, menikam dari belakang, lain mulut lain hati, saling hipokrit dan melamisi. Kalau kebiasaan tidak dewasa, mudah mengutuk, dan tradisi saling menghancurkan ini terus kita nikmati. Maka mungkin yang perlu kita siapkan adalah ucapan “Selamat Tinggal Ibu Pertiwi”. — Cak Nun, dalam “Selamat Tinggal”, Kata Ibu Pertiwi

Pancasila adalah ajaran untuk bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Bung Karno sendiri yang bilang, intisari Pancasila jika diperas adalah gotong-royong.

Di kaki Garuda Pancasila, ada pita bertuliskan kata-kata kutipan Mpu Tantular, “Bhinneka Tunggal Ika“. Kata-kata yang dalam pemahaman awamku kurang lengkap. Seharusnya mengikutsertakan juga kata-kata berikutnya, “Tan Hana Dharma Mangrwa“. Bhinneka Tunggal Ika adalah jalan, Tan Hana Dharma Mangrwa adalah ‘apa kita’ setelahnya.

Penggambaran Sang Garuda juga punya banyak arti, ia merentangkan sayap. Entah sedang terbang ke langit membawa pita itu atau sedang bertengger di atasnya. Gambaran yang bagiku — jika melihat kondisi akhir-akhir ini — malah serasa seperti unggas yang seakan kepanasan, sehingga harus mengepakkan sayap, membuang panas tubuhnya.

Mpu Tantular, dari apa yang aku dengar dalam diskusi-diskusi adalah seorang agamawan yang radikal. Kondisi saat itu, di mana Majapahit sedang dilanda perpecahan karena perang saudara yang beraroma perseteruan agama di kalangan bangsawan. Ya, perebutan kekuasaan dengan bersenjatakan agama dan mazhab adalah lagu lama sejak bahkan sebelum Majapahit. Diriwayatkan dalam beberapa versi sejarah sebagai perseteruan antar agama, padahal intinya adalah perebutan kekuasaan.

Mpu Tantular kemudian menemukan kenyataan bahwa akar radikalisme adalah ketidakadilan. Beliau mengambil jalan kompromi, Majapahit harus bersatu. Maka, dituangkanlah dalam Kitab Sutasoma:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
(pupuh 139)

Kitab Sutasoma adalah upaya penyatuan Majapahit dari potensi perpecahan yang ada. Menyatukan potensi Hindhu dan Buddha dari potensi memecah-belah, menjadi potensi untuk bersatu. Hal yang kemudian kita tahu bersama, Majapahit dikenal sebagai Kerajaan Maritim terbesar yang pernah ada sepanjang sejarah. Meskipun, pecah Perang Paregreg puluhan tahun berikutnya dan menghancurkannya dari dalam sampai Walisongo datang dan merehabilitasinya.

Beberapa generasi berselang, Bhinneka Tunggal Ika menemukan pemaknaan baru yang dikenalkan oleh Sunan Kalijaga. Kayu Tatal sebagai penyangga tiang utama Masjid Demak diriwayatkan mengambil filosofi dari sana. Potongan-potongan kecil kayu yang ada dibentuk menjadi satu tiang kayu tunggal yang mampu menopang bangunan Masjid Demak. Sisa potongan kayu itu, masih disimpan di Museum Demak, sebelah Masjid Agung Demak.

“Berbeda-beda, manunggal menjadi satu. Tidak ada kebenaran yang mendua”, ungkap Cak Nun dalam video rekaman untuk ILC TVOne, memberikan pemahaman lain. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya untuk kelas sosial atau keberagaman sosial kemasyarakatan.

Bhinneka Tunggal Ika ada banyak tingkatan dan lipatan-lipatan. Antar istri, suami dan anak, manunggal sebagai keluarga. Keluarga ini, keluarga sana, manunggal sebagai masyarakat. Masyarakat sini dengan sana, manunggal sebagai desa, berlanjut menjadi daerah dan akhirnya negara.

Dalam politik, fraksi ini, fraksi sana, oposisi, oportunis hingga beo paling beo sekalipun, manunggal sebagai lembaga politis (entah partai, DPR, MPR atau lainnya). Pendukung ini, pendukung sana, perusak, pemersatu, penjual, provokator, hingga pelacur politik, manunggal sebagai satu kesatuan sistem politik. Hanya saja, entah mereka paham atau tidak, bahwa mereka ini sejatinya adalah unsur-unsur dari sebuah ‘Bhinneka’ juga, ‘Tunggal Ika’nya adalah negara.

Unsur-unsur itu, toh masih ‘Bhinneka’ juga dalam tingkatannya. Mereka -dan juga kita- adalah satu kesatuan utama, yaitu manusia. Manusia, toh ‘Bhinneka’ juga sebagai makhluk Tuhan. ‘Tunggal Ika’nya adalah semesta. Dikatakan dalam rekaman itu, manusia juga adalah salah satu unsur Bhinneka. Bersama dengan makhluk-makhluk Tuhan lainnya seperti pepohonan, dedemit, udara, bebatuan dan semuanya.

“Bhinneka Tunggal Ika tidak boleh dipakai untuk satu kelompok tertentu sebab berkemungkinan menimbulkan kesimpulan bahwa yang di luar kelompok itu bukan Bhinneka Tunggal Ika”, kata Cak Nun di Universitas Brawijaya, Malang, Mei 2016.

Lalu, siapa yang anti-Kebhinekaan itu? Pikiran apa yang anti-Kebhinnekaan itu?

Pertanyaan yang saya sendiri ndak paham pertanyaan dan cara menjawabnya. Dikotomi-dikotomi yang ada adalah bagian Kebhinekaan itu sendiri. Biarlah saya menjawab sederhana saja, anti-Kebhinekaan bisa jadi adalah potensi dalam pikiran saya sendiri. Yaitu, pikiran yang gagal memaknai apa itu Bhinneka, apa itu Tunggal Ika dan apa itu kata-kata. Setiap varian pun adalah sebuah Bhinneka dalam Tunggal Ika-nya.

Tidak bisa kemudian sebuah lembaga pengelola negara mengambil posisi sebagai legitimasi Bhinneka Tunggal Ika, karena dia sendiri adalah sebuah Kebhinnekaan itu. Berbaur bersama pengelola negara lain dan rakyat. Sebagai sebuah ‘Bhinneka Tunggal Ika’ nasional, yaitu negara.

Kesimpulanku sama dengan apa yang tertulis dalam Daur:

Bangsa yang begini bukanlah bangsa Indonesia. Manusia yang begini, bukanlah manusia Indonesia. Tata kelola alam dan kehidupan yang begini, bukanlah tata kelola Indonesia. Kebudayaan dan peradaban yang begini, bukanlah kebudayaan dan peradaban Indonesia”

“Mosok begini ini Negara?” — Daur 53 – “Begini Ini Indonesia? Begini Ini Negara?”

Dituliskan pula oleh Cak Nun dalam Bangsa Yatim Piatu, “Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka.”

Dalam setiap Maiyah, saya mengalaminya sendiri. Bagaimana kita sebenarnya hanyalah salah satu unsur kecil dalam sebuah Bhinneka. Ada ‘Bhinneka Tunggal Ika’ kecil di sana. Beragam kelas masyarakat berbaur duduk bersama, beragam agama menyimak panggung yang sama sebagai sesama penggiat, beragam komponen alat musik yang berbaur menjadi sebuah nada harmonis, beragam manusia dalam bentuk jasadiyahnya berbaur bersama dalam satu lapangan dengan makhluk Tuhan lainnya. Mensyukuri Kebhinnekaan dengan meraguk ilmu darinya adalah kenikmatan tersendiri. Betapa Tuhan memberikan sebuah rahmat luar biasa berupa Kebhinnekaan. Tinggal apakah rahmat itu bisa kita persembahkan kepada bangsa, kepada dunia dan manusia sebagai satu Ke-tunggal ika-an atau tidak? Menuju sebuah konsep luar biasa Mpu Tantular lain dalam penutup bait itu, Tan Hana Dharma Mangrwa.

Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus Tan Hana Dharma Mangrwa saya pandang sendiri sebagai sebuah perjalanan suluk. Kita, terlepas apa pun kepentingan dan di mana kita berpihak, masihlah sebagai sebuah unsur kecil dalam konsep itu. Bhinneka dalam Tunggal Ika.

Mengambil pemahaman bahwa kita ini hanyalah sebuah unsur Bhinneka yang membentuk Tunggal Ika, untuk kemudian menjadi Bhinneka sendiri dalam Tunggal Ika dalam tingkatan dan lipatan lainnya, saya sangat mensyukuri pemahaman sederhana seperti itu. Toh, kita ini sama-sama makhluk Tuhan.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil