Betapa Sopannya Allah
Junit belum puas mengalir di sungai pikirannya. “Besi. Benda. Materi. Hardware. Perangkat keras. Padat. Tampak mata. Bisa disentuh dengan jari-jari. Bisa digenggam di tangan. Ternyata di balik benda itu ghaib tiada tara. Kok Allah seolah-olah butuh pertolongan manusia ini sebenarnya peristiwa apa…”
Menurut Jitul, “Menolong itu ya peristiwa akhlaq”
“Peristiwa cinta”, ternyata Toling tajam.
Seger berpendapat, “Ya. Itu dialektika kasih sayang. Kemesraan hubungan batin. Keindahan dialog antara pihak yang saling mencintai. Sesungguhnya Allah dengan semacam bahasa susastra sedang menawarkan pertolongan kepada manusia, dengan sikap yang penuh sopan santun. “Niscaya Allah menolong siapapun yang menolong-Nya”. [1] (Al-Hajj: 40).
“Ada semacam tawaran untuk saling mengikatkan diri pada perjanjian cinta”, kata Toling lagi.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” [2] (Muhammad: 7), Pakde Brakodin mengingatkan firman Allah tentang itu.
“Kenapa hai orang-orang Mukmin, Pakde, kenapa bukan hai orang-orang Muslim?”, Seger bertanya.
“Yang saya tahu, pasti berbeda antara Mukmin dengan Muslim”, jawab Pakde Brakodin, “dan mungkin perbedaan antara keduanya bisa lebih mendasar dan lebih serius dibanding yang kita sangka selama ini”
Pakde Tarmihim menjelaskan, “Menurut Mbah Sot dulu Mukmin lebih pro-aktif dibanding Muslim. Kaum Muslimin itu keputusan berpasrah diri kepada kehendak Allah. Mukminin itu berjuang untuk mengamankan secara horisontal, di bidang apapun dalam kehidupan, dengan parameter vertikal”.