CakNun.com

Betapa Indahnya Maaf

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Pertumbuhan ke Karamah

Sudah menjadi pengetahuan dan tradisi pengalaman kolektif kita semua: bahwa salah satu muatan nilai yang dikonsepsikan oleh Allah di dalam Idul Fitri adalah maaf-memaafkan antar manusia. Di dalam geokultur masyarakat agraris di dusun-dusun — dan yang masih banyak tersisa sekarang ini — peristiwa maaf memaafkan itu berlangsung dengan sendirinya secara alamiah. Kita menghambur ber-’tawaf’ keliling desa, menemui sanak famili, sesepuh, dan para tetangga. Tetapi di kota-kota modern, kita memerlukan acara Halal Bihalal yang kita selenggarakan secara khusus, di tempat, waktu dan biaya yang khusus pula, untuk melaksanakan peristiwa maaf memaafkan.

Maaf memaafkan sudah menjadi peristiwa religi dan sekaligus peristiwa budaya yang sedemikian kuatnya di dalam kehidupan masyarakat kita.

Maaf memaafkan adalah juga peristiwa logika: manusia hidup ‘untuk’ menciptakan plus dan minus, baik dan buruk, konstruktif dan destruktif, pahala dan dosa. Tidak logis jika kehidupan kita tidak berorientasi pada pertumbuhan: setiap pohon pun berkembang setinggi mungkin, sejauh titik optimum takdir kemakhlukannya. Pohon tidak bertumbuh ke dalam bumi: artinya, manusia senantiasa berupaya tidak menciptakan minus-minus nilai. Ia menginginkan plus tidak sekadar nol atau titik impas.

Logika Idul Fitri menganjurkan manusia agar bergerak naik dari titik impas, dari ‘dataran bumi’, karena karamah kemakhlukannya lebih tinggi dari bumi. Apalagi Tuhan selalu memperingatkan agar hamba-hamba-Nya yang berkualitas ‘master piece’ itu tidak melorot ke dataran asfala safilin, yang terendah dari yang rendah. Jadi, bagaimana seorang mendaki terus menerus ke dataran-dataran plus dari nilai-rulai keluhuran: pendakian spiritual, maksimalisasi intelektual dan kemuliaan moral — sampai ke puncak liga’u rabb. Pertemuan agung dengan asal usul kita sendiri, yakni Allah Swt.

Peristiwa Estetik dan ‘Gumpalan’

Betapa tergetar hati kita oleh suara takbir. Betapa terharu dan lega sesudah kita lakukan maaf memaafkan. Kerinduan kita konangi bahwa Idul Fitri, bagi Tuhan sendiri, ternyata adalah suatu peristiwa estetik. Sebagaimana seringkali kita bahwa lapisan tertinggi dari gagasan kehendak dan penciptaan oleh-Nya, adalah estetika. Allah begitu mengutamakan indahnya yang namanya dimaafkan dan memaafkan itu, sehingga sifat pemaaf dan pengampun Allah tidak hanya satu, melainkan lima — sesuai dengan konteks-konteks yang Ia tentukan bagi tata hidup hamba-hambaNya.

Dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rizqi, tapi memaafkan adalah perjuangan yang sering tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri sendiri.

Tidak memaafkan adalah suatu situasi psikologis di mana hati kita menggumpal, alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-Nya. Gumpalan itu benda padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut hati di antara dada dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik dari suatu pengertian ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalah gumpalan daging; ia tak bisa dimuati oleh iman atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekadar tanda syari’at hati, sedangkan hakikatnya adalah watak ruhani.

Di dalam kehidupan manusia, yang biasanya berupa gumpalan dalam hati, misalnya, adalah watak dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga diri dan kelemahan jiwa. Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu percaya bahwa ia ‘faqir indallah’: ‘musnah dan menguap’ di hadapan Allah.

Kemudian cemburu. Ini watak yang juga menjadi ‘suku cadang’ dari hakikat cinta dan keindahan. Namun syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat. Hanya karena punya sepeda, saya tidak lantas mangkel dan cemburu kepada setiap orang yang memiliki mobil. Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita hardik mereka yang duduk di kursi mengkilap sebuah restoran.

“Diri Kita Hanya Berisi Diri Kita” juga barangkali egoisme atau egosentrisme. Isi dada kita tidak ada lain kecuali kemauan kita sendiri, pamrih, kesukaan, selera dan kepentingan kita sendiri — sehingga kalau kita berkedudukan sosial yang penting dan berskala luas, setiap tindakan kita akan bermakna membangkrutkan banyak orang. Muatan kepala kita adalah diri kita sendiri. Semacam ananiyah; yang ada dalam diri Polan hanyalah Polan, yang ada dalam diri Emha hanyalah Emha, yang ada di kepala Habibie hanyalah Habibie, yang ada di benak Rendra hanyalah Rendra, sehingga Rendra dipenuhi oleh Rendra, Emha dipenuhi oleh Emha, Habibie dipenuhi oleh Habibie. Sementara dunia ini dan isinya, negara dan rakyatnya, tanah air dan kekayaannya, di posisikan sebagai instrumen dan makanan bagi Polan, Emha, Habibie, dan Rendra.

Padahal cinta kepada Allah adalah memenuhi diri ini dengan cinta kepada Allah, sedemikian rupa sehingga diri ini hilang — dan itulah tauhid: proses peniadaan diri.

Bahkan tatkala melakukan salat pun bisa kita plesetkan untuk memuati salat itu dengan pamrih-pamrih duniawi dan ukhrawi kenikmatan subjektif kita-kita sendiri. Bahkan tilawah al-Qur`an kita sangat mungkin dijejali oleh kenikmatan subjektif kita dalam menikmati indahnya suara kita dan panjangnya nafas kita. Bahkan takbir kolosal kita — semoga kita waspada dan jujur, siapa tahu dipenuhi oleh keasyikan estetika kita sendiri lebih dari kemesraan yang sungguh-sungguh dengan-Nya.

Sementara itu otak manusia juga ‘menyumbang­kan’ sejumlah gumpalan, umpamanya kebodohan, subjektivisme, ketidakjernihan, kesalahpahaman dan lain sebagainya. Orang yang hatinya penuh gumpalan, metabolisme ruhaninya — bahkan mungkin fisiknya — tidak lancar. Orang yang suka menyimpan gumpalan-gumpalan di dadanya, selalu mengalami berbagai jenis keraguan. Orang yang memelihara gumpalan di dalam ruang ruhani hatinya, akan dihadang oleh berbagai kegelapan hidup, karena hatinya sendiri digelapi oleh gumpalan-gumpalan benda hitam. Otaknya tidak berfungsi wajar atau maksimal. Nalurinya kurang dekat dengan bimbingan Tuhan. Ilham yang datang kepadanya terpeleset dan berpindah ke tempat lain. Kreativitasnya mendeg. Fungsi akalnya tidak maksimal. Daya intelektual­nya tidak memiliki akurasi menuju arah kebenaran. Dengan demikian ia juga tidak berada dalam situasi saling menjamin dengan nilai kebaikan. Di samping itu, tingkat-tingkat nilai keindahan yang tuning in terhadap kejiwaannya, adalah keindahan-keindahan yang rendah, bahkan dekat dengan kehinaan.

“Cambuklah Aku!” kata Muhammad. Mungkin karena itu maka surah al-Qur’an yang berbunyi “Qul huwa-llahu ahad…” disebut surah ikhlas. Itu adalah surah tauhid, dan ternyata jalan mendaki tauhid adalah jalan keikhlasan. Jalan di mana kita melakukan peraihan ruhani, atau peruharuan hati sampai total. Jalan di mana kita melakukan perjuangan utama kehidupan adalah melebur gumpalan-gumpalan di dalam hati sampai menjadi cairan, atau menjadi serbuk, menjadi kristal, dan kemudian menjadi ruh.

Ketika Muhammad dilempari batu di tengah dakwahnya di Etiopia, ia mengeluhkan rasa sakitnya kepada Allah, namun dengan cara memohonkan ampun dari-Nya kepada para pelempar batu itu. “Innahum la-ya’lamuna mayaf alun….”, sesungguh­nya mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Batu yang dilemparkan dan menimpa jidat Muhammad, potensial untuk menjadi bebatuan panas yang mendekam di dalam hati Muhammad. Namun nabi yang berjiwa sangat lembut ini melumat dan melembutkan batu itu sehingga menjadi cahaya ruh yang menaburi jiwanya. Betapa indahnya peristiwa memaafkan.

Muhammad, karena itu, senantiasa sangat takut apabila dirinya menjadi batu panas di hati sahabat-sahabatnya. Beberapa hari menjelang wafatnya, ia bersarasehan dengan para sahabat itu dan menyata­kan: “Barang siapa yang merasa pernah aku aniaya, sekarang cambuklah aku!” Dan seseorang tampil, membawa cambuk, menyuruh Muhammad melepas­kan baju dan menyiapkan punggung­nya. Namun ketika Nabi Allah pamungkas itu melakukan apa yang dimintanya: sahabat itu ambruk, silau oleh cahaya kebesaran jiwa junjungannya, kemudian memeluk kakinya erat-erat. Bisakah Anda bayang­kan seorang kepala desa saja yang pernah pada hari Idul Fitri membuka baju dan menyodorkan punggungnya. kepada rakyat yang barangkali pernah ia aniaya? Apalagi pejabat-pejabat yang lebih tinggi dari itu.

Namun Muhammad tidak berani memaafkan jenis kedurhakaan seseorang yang Allah sendiri tidak memaafkan. Sahabat yang minta doa kepada­nya agar diberi Allah rizqi melimpah, Lantas Muhammad mendoakannya dan Allah mengabul­kannya, namun kemudian sahabat itu ingkar terhadap janji bahwa ia akan menyisihkan sebagian harta itu untuk mereka yang memerlukan Muhammad membiarkannya dalam kesengsaraan. Kesengsaraan oleh hati menggumpal. Sungguh, subjektivitas pemilik dan akumulasi harta, popularitas dan eksistensi — yang dijadikan tujuan hidup — adalah jenis syirik yang Allah bersikap sangat keras terhadapnya. Dan betapa mungkin Muhammad nglancangi sikap itu.


Dari buku Tuhan pun “Berpuasa”, 1997, diterbitkan oleh Penerbit Zaituna.

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version