CakNun.com

Bertransformasi Menjadi Kebijaksanaan

Dhobby Saputra
Waktu baca ± 4 menit

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari alam semesta dan seisinya. Karena pada hakikatnya setiap ciptaan Allah selalu mengandung hikmah, baik untuk kebermanfaatan diri sendiri maupun orang lain. Wa maa kholaqnas-samaaa`a wal-ardho wa maa bainahumaa baathilaa.

Dalam khazanah Ilmu Maiyah, terdapat hikmah pembelajaran tentang pohon. Taddabur adalah pohon cinta, akarnya adalah keikhlasan bertauhid, buahnya adalah kemaslahatan bersama. Belum lagi kalau mempelajari hewan dengan keberagaman jenisnya pasti juga tidak sedikit unsur nilainya. Misalkan dengan mempelajari salah satu jenis serangga yang awam disebut dengan lembing atau kepik. Bentuknya kecil, jika disentuh agak keras, warnanya hitam, bersayap, hidupnya berkelompok, jika malam hari sering mengerubungi tempat adanya pantulan sinar cahaya dari lampu. Dari beberapa informasi yang saya dapat, hewan ini keluar dari sarangnya setiap bulan purnama. Beberapa bulan yang lalu saat malam hari, saya dikejutkan dengan datanganya hewan ini di bawah sinar lampu teras rumah. Berkerumun di lantai, hinggap di tembok yang banyak sekali jumlahnya.

Hal yang pertama saya lakukan adalah menyapunya. Namun jelang beberapa menit kemudian, lembing-lembing ini kembali berkerumun di area teras hingga mulai masuk ke rumah melalui sela-sela antara lantai dan bawah dasar pintu.  Sebelum pada akhirnya saya mematikan saklar lampu, dengan perasaan sedikit jengkel, saya menyapunya kembali. Tak lama kemudian lembing-lembing itu pun kembali lagi di tempat yang sama.

Dibalik rasa jengkel itu, aku yang lain berkata, “Lho….. kenapa kamu kok jengkel? Kan lembing juga ciptaan Tuhan?”

Belum sampai menjawab, aku yang satunya lagi menginterupsi, ”Emang ada yang bukan ciptaan Tuhan?”

“Iya, semua yang ada di Alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Begitu juga dengan lembing ini. Yang membuat saya jengkel, lantai ini dikerumuni oleh lembing-lembing sehingga terlihat kotor.

Usai menjawab, tiba-tiba aku yang lain membredel beberapa ungkapan, ”Lho… kotor itu kan hanya menurutmu. Memang lembing mempunyai kesadaran bahwa ia mengotori lantai itu? Seperti halnya kera kalau ia mengambil dan memakan pisang di salah satu perkebunan milik petani apa lantas kera itu jahat? Apa pantas kera itu disebut bahkan digelari sebagai tersangka pencurian?

Begitu juga lembing, ia hanya melakukan apa yang menjadi kodratnya. Lembing hanya mencari dan berusaha menemukan cahaya. Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran dari hal itu? Dan begitu juga seharusnya manusia, mencari dan berusaha menemukan cahaya. Cahaya adalah hidayah, petunjuk, kedamaian, ilmu dan masih banyak lagi unsur nilainya.”

Sejenak saya sedikit termenung, merasakan, menyerap pernyataan itu di pikiran saya. Hingga saya ingat beberapa hal yang pernah diutarakan Mbah Nun di forum Kenduri Cinta ketika menceritakan kisah Syaidina Ali berduel, yang ujung pedangnya sudah berada di leher lawannya. Namun Syaidina Ali menarik pedangnya karena beliau khawatir membunuh lawannya karena amarah dan kebencian, yang pada saat itu wajahnya diludahi oleh lawannya.

Tentu yang saya alami dengan lembing-lembing itu bukanlah sebuah pertarungan. Saya hanya menangkap hikmah yang disampaikan Mbah Nun dan mencoba menyambungkan dengan hal yang saya alami. Syaidina Ali saja mengurungkan niatnya untuk membunuh lawannya karena jangan sampai dilandasi amarah dan kebencian. Innamal a’malu binniyat. Masak saya menyapu lembing-lembing itu dengan kejengkelan apalagi kebencian.

Ketepatan sikap sangatlah penting, mencakup hubungan antar manusia, maupun dengan Alam seisinya untuk memperkuat keseimbangan serta menjaga keselarasan.

Sangat menarik makna tulisan Mas Agus Sukoco beberapa minggu yang lalu yang dimuat di caknun.com dengan meletakan hubungan Manusia dan Alam, Bagaikan Anak dan Ibu.

Memayu Hayuning Bawono

Saya lahir di desa Baturetno, kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Merantau ke Cikarang – Bekasi sejak tahun 2010. Dua hingga tiga kali dalam setahun biasa menyempatkan dan diperjalankan mudik ke kampung halaman. Jarak tempuh yang cukup jauh tidak memutuskan hubungan komunikasi dengan keluarga, saudara dan teman. Allhamdulillah komunikasi terjalin dengan baik walau pun hanya melalui jaringan media sosial.

Saya melihat, banyak pelajaran menarik yang dilakukan warga Baturetno. Tepat satu tahun yang lalu, waktu malam hari, sekitar 10 hingga 20 pemuda Baturetno melakuan pendakian di Gunung Payung yang merupakan bagian dari wilayah kecamatan Baturetno dan Giriwoyo, bagian dari kabupaten Wonogiri. Dari pendakian tersebut mereka mendapati sejumlah informasi mengenai keresahan warga yang bermukim di sekitaran lereng Gunung Payung. Hal itu terkait beberapa kera yang merusak tanaman dan area perkebunan warga. Tidak hanya itu, bahkan kera-kera masuk ke rumah-rumah warga, hingga “membuka” rice cooker milik warga.

Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Inni ja’ilun fil ardi khalifah. “Aku menjadikan khalifah di bumi”.

Dalam kosmologi Jawa sendiri terdapat istilah Memayu Hayuning Bawono yang berarti memperindah keindahan dunia. Begitu besar peran manusia dalam mengelola serta menjaga keseimbangan ekosistem alam. Bukan semata berperan sebagai “juragan”.

Merespons dari apa yang menjadi keresahan warga, salah satu dari pendaki berinisiatif mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan penanaman bibit pohon yang berpotensi berbuah di sekitaran Gunung Payung. Masyarakat Baturetno akrab menyebutnya Mbah Dedy. Beliau adalah salah satu tokoh masyarakat Baturetno yang aktif menemani warga sekitar dalam majelis ilmu dan sholawat.

Hidup adalah sebab – akibat. Suatu siklus kehidupan yang saling berkaitan satu sama lain. Manusia hanya mampu berjuang dan berusaha kemudian Allah yang memberi hasil. Manusia hanya mampu menanam, Allah yang memberi panen. Ngunduh wohing pakarti dan juga Faman ya’mal mitsqoola zarrotin khoiron yaroh, wa man ya’mal mitsqoola zarrotin syarron yaroh.

Minggu, 30 Oktober 2016, masyarakat Baturetno melakukan penanaman bibit pohon di sekitaran Gunung Payung. Kegiatan itu banyak melibatkan elemen masyarat. Beberapa data informasi yang saya himpun, kegiatan itu diikuti kurang lebihnya 28 komunitas yang berada di wilayah baturetno dan sekitar. Bekerja sama dengan perhutani cab. baturetno, koramil baturetno, anggota pramuka cab. baturetno dan ketua DPRD Wonogiri. Beberapa anggota membawa minimal 10 bibit pohon yang akan ditanam. Dengan kerjasama yang cukup baik, berhasil terkumpul dan ditanam sekitar dua ribu bibit pohon di sekitar Gunung Payung.

Pengetahuan, ilmu, kekuatan sangat baik dan indah jika ditransformasikan menjadi kebijaksanaan. Merespons keresahan warga yang bermukim di sekitaran Gunung Payung, tentu yang dilakukan bukan dengan membasmi kera-kera itu. Belajar mengenai siklus kehidupan sebab-akibat, yang menjadi titik fokus permasalahannya bukan hanya pada kera-kera tersebut ketika merusak tanaman, perkebunan hingga masuk ke rumah. Namun juga yang menjadi pokok persoalan, mengapa kera-kera itu berlaku seperti itu? Why?

Dalam pepatah jawa terdapat pesan: kena iwake aja nganti butheg banyune. Dapat ikannya jangan sampai keruh airnya. Menyelesaikan masalah jangan sampai membuat keadaan menjadi keruh atau semakin kacau. Begitu pentingnya ketepatan sikap untuk menjadi suatu kebijaksanaan. Hal itu yang menjadi brainstorming dan mendasari terselenggaranya kegiatan penanaman bibit pohon di sekitaran Gunung Payung. Inshaallah, harapannya ketika bibit itu tumbuh dan berbuah, kera-kera itu tidak akan merusak tanaman, perkebunan bahkan masuk ke rumah-rumah warga, karena tersedianya konsumsi yang cukup bagi hewan-hewan itu dalam habitatnya. Sehingga populasi kera juga tetap terjaga. Atau untuk jangka panjangnya, kera tidak hanya menjadi bagian dari cerita atau dongeng bagi anak-cucu. Mereka tetap bisa melihat bagian dari keindahan alam yang telah Tuhan ciptakan.

Tidak hanya mengupayakan keselarasan, keseimbangan hubungan antara manusia dengan hewan. Namun saya rasa hal itu juga bentuk upaya untuk mencapai “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang seluruhnya juga bisa bermakna untuk generasi hingga ke generasi selanjutnya.

Cikarang – Bekasi, 27 Oktober 2017

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib