Bersyukur ada Daur
Daur ibarat sumber mataair. Tak pernah kering dan terus menerus meneteskan butiran-butiran air. Mili setiap hari. Ngaliri, nyirami dan membasahi siapa saja yang mau mereguknya. Sifatnya air adalah cair. Tidak kaku, tidak padat. Ia akan berbentuk sesuai dan menyerupai bentuk wadahnya. Bagi saya, begitu pula tulisan dalam rubrik Daur.
Kalau kita memakai gelas untuk nadahi-nya, maka kita akan memperoleh ilmu gelas. Kalau kita menggunakan ember, maka ilmu ember yang akan kita dapatkan. Atau dengan botol kita menampungnya, maka ilmu botol-lah yang akan kita dapatkan pula.
17 Oktober 2017 adalah hari digelarnya Mocopat Syafaat di Kasian, Bantul, Yogyakarta. Lagi-lagi saya harus absen melewatkannya. Terhitung sudah 3 kali ini saya mangkir tidak bisa hadir Maiyahan. Terakhir kali ikut melingkar di Mocopat pada bulan Juli lalu.
Tanggal 17 Oktober jatuh pada hari selasa. Bukan hari libur, bukan juga tanggal merah. Artinya besoknya saya tetap masuk sekolah. Mau ngajak istri berangkat motoran ke Kasian, kasihan. Ia sedang lekasan alias hamil muda. Tapi kalau ditinggal sendirian di rumah rasanya juga ndak tega. Serba dilema. Kecewa, iya. Kangen, banget. Marah, tidak. Mau marah sama siapa? Ya sudahlah off dulu ndak papa.
Untuk sedikit mengobati kekecewaan karena tidak bisa hadir Maiyahan, saya pantengin lini masa di Twitter. Menyimak cuitan beserta update seputar acara Maiyahan #MSOkt yang sedang berlangsung. Selalu muncul rasa geregetan dan iri hati menyaksikan teman-teman yang bisa hadir melingkar di sana. Oh tidak.
“Hambok streamingan aja kan bisa bang…”, ucap istri saya.
“Tapi aura, atmosfer, gairah dan nuansa-nya bedaaa kalau bisa dateng langsung.”
“Ya berarti Allah belum izinkan. Pasti ada hikmahnya.”
Aih, kalau sudah bawa-bawa Allah, maka saya ndak bisa komen lagi. Oke fine.
***
Tanggal 17 memang spesial. Hal pertama yang saya ingat ketika tanggal 17 adalah Mocopat Syafaat. Bahkan tanggal 17 teramat sakral bagi bangsa Indonesia. Presiden Soekarno memilih tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu itu bukan tanpa alasan. Tidak main-main. Ora baing-baing. Soekarno seorang Jawa yang masih mempercayai mistik. Pasti ada hitungannya, alasan mendasarnya, makna teoretisnya, filosofinya, kenapa yang dipilih tanggal 17. Bukan 16 atau 18.
Menurut Soekarno dalam buku Samudera Merah Putih karya Lasmidjah Hardi (seorang asisten Mendikbud masa Orde Lama), diceritakan bahwa tanggal 17 Agustus ’45 jatuh pada hari Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat agung. Bertepatan pula dengan bulan suci Ramadlan. Al-Qur`an diturunkan tanggal 17. Orang Islam shalat/sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia, melainkan kreasi Tuhan.
Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa beserta pertimbangan hitungan mistik itu, dipilihlah hari jumat legi tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari untuk memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
***
Ketika sirah mumet, ati sumpek, maka salah satu “obat penenangnya” adalah membaca. Mencari pencerahan dan mereguk air sebagai pelepas dahaga. Dan salah satu sumber mata air itu bernama Daur.
Saya buka Daur II-017 sesuai tanggal hari itu: 17 Oktober 2017 bersamaan digelarnya Mocopat Syafaat di Kasihan.
Tertawanya nongol lagi. “Maaf saya sedang merasa geli kepada diri saya sendiri. Kalau tidak salah ada ayat Allah, saya lupa surat dan ayat berapa, tapi intinya ”dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain”. (An-Nisa: 32). Bagaimana mungkin saya tidak mentertawakan diri saya sendiri? Atas dasar sejarah keilmuan dan pengalaman yang mana saya kok menyebut ayat Al-Qur`an….” –Daur II-017 – Tertawa Itu Sungguh-sungguh
Jebreett! Saya langsung ditegur Allah dalam surah An-Nisa: 32 melalui tulisan tangan Simbah. Intinya “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain”.
Ndak perlu iri, kecewa apalagi marah jika tak bisa datang melingkar di Maiyahan. Pasti ada rencana lain dari Tuhan. Pasti ada hikmahnya, kata istri saya. Hikmahnya adalah bahwa bisa berangkat ke Maiyah itu hidayah. Sebuah keajaiban. Tidak bisa dibuat-buat. Tidak cukup sekadar niat dan usaha. Perlu restu dan acc dari Allah Ta’ala. Dengan kata lain kita dapat berkumpul Maiyahan itu diperjalankan Tuhan. Tidak sanggup berjalan sendirian. Tidak bisa tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Tak berselang lama, smartphone saya berbunyi. Pesan dari salah satu teman, mengajak saya untuk ikut yasinan ke tempat seorang sahabat lama yang meninggal kemarin. Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakannya.
“Iya kan ada hikmahnya.., jenengan diminta untuk ngombyongi doa bagi teman jenengan yang meninggal. Itu juga perbuatan yang mulia.” Jelas istri saya.
Mungkin Tuhan bilang: kamu berbuat kebaikan yang paling dekat dulu dari rumahmu. Dan melingkar bersama untuk baca yasin-tahlil, shalawat, doa-doa juga merupakan bentuk dari ‘maiyahan’. Yaitu bebrayan, guyub, empati, peduli dan kasih sayang.
“Saya tertawa ini sungguh-sungguh”, Tarmihim membela diri, “Tertawa itu suci, ia keluar apa adanya dari perasaan melalui mulut. Tertawa itu bukan bermain-main. Tidak semua tertawa itu bergurau. Tertawa itu murni sebagai akibat dari suatu sebab. Hubungan antara sebab dengan akibat yang berbentuk tertawa itu serius dan nyata. Bukan permainan. Bukan cengengesan. Bukan senda gurau”
“Meskipun Tuhan berfirman bahwa “tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau”, tetapi hidup saya sangat sungguh-sungguh (Al-An’am: 32). Entah siapa yang main-main dan senda gurau. Tapi saya tidak. Saya hanya tertawa karena bersyukur”. –Daur II-017 – Tertawa Itu Sungguh-sungguh
Rasa kecewa tak bisa berangkat ke Yogya, diganti dengan cara berkumpul-bercengkrama bersama teman, rekan, dan handai tolan. Duduk bareng, doa bareng, mendoakan bagi kebaikan almarhum disisi-Nya. Usai kirim doa, teh manis, kudapan kecil, remikan, buah, berikut nasi gulai ayam dihidangkan. Cuaca mendung, hawa dingin disuguhi yang hangat-hangat, wuihh mantap. Sikat dab! Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kami dustakan. Mendoakan itu baik. Baik bagi yang mendoakan maupun yang didoakan. Jan nyenengkeh tenan. Wis oleh ganjaran, wetengé wareg sisan. Hehe...
***
Sepulang tahlilan, saya tersenyum dalam. Tertawa dengan sungguh-sungguh. Tertawa bahagia, lega, penuh syukur.
Bersyukur ada Daur. Yang setia menemani jiwa-jiwa yang tersungkur. Ibarat Daur-nya Mbah Nun sumber mata air yang mengucurkan butiran-butiran air. Maka Tadabbur Daur dari JM menjelma ‘pipa pralon’ yang berfungsi menyalurkan atau mendistribusikan air dari sumber mata air (Daur) menuju ke rumah-rumah, pasar, toko, perkantoran, warung makan, angkringan, masjid, rumah ibadah, rumah sakit, pabrik, perusahaan dan ke berjuta arah dan tempat lain-nya.
Mari bersedekah ‘pipa-pipa pralon’ kepada Maiyah.