CakNun.com

Bersama Kita Bangun Maiyah Rahmatan Lil’Alamin

Ahmad Syaiful Rizal
Waktu baca ± 2 menit

Ini mungkin akhir atau mungkin sebuah awal dari sebuah perjalanan. Gelar “教育学学士学位/Bachelor of Education” akhirnya bisa aku raih setelah perjuangan empat tahun. Perjalanan dalam perjuangan itu bukanah hal yang mudah. Beberapa kali justru aku ingin berhenti dari bangku perkuliahan karena aku merasa mahasiswa di sini hanya diberi “ikan” bukan diberi “pancing”.

Empat tahun hanya demi selembar kertas, untuk apa? Apakah hanya untuk deretan angka-angka yang sering kita sebut sebagai nilai? Pikirku saat itu.

Revolusi nilai? Nilai apa? Sejak di raport sekolah SD, ada daftar nilai-nila padahal yang dimaksut adalah deretan angka-angka. Angka bukan nilai. Angka itu rangka dasar materialisme. Seluruh pelajaran sekolah hinga undang-undang negara dan peraturan pembangunan, berisi angka-angka, bukan nilai-nilai”. Daur 62 – Revolusi Tlethong.

Di sisi lain, Mbah Nun sering dawuh, paling tidak kita menyelesaikan pendidikan untuk membahagian kedua orangtua. Hal itulah yang membuatku berpikir ulang dan memutuskan melanjutkan kuliah hingga selesai. Kalau bukan karena Bapak yang setia mengendarai sepeda motor tuanya berkeliling ke luar kota menjajakan brambang dagangannya, kalau bukan karena Ibu yang juga ikut banting tulang demi mengurangi beban keluarga, niscaya aku sudah berhenti dua tahun yang lalu dari kampus ini.

Dan kini, aku akan kembali ke kampung halaman membawa sebutir debu pengalaman hidup di negeri komunis untuk aku ceritakan kepada sanak famili di kampung halaman. Ini semacam perjalanan ke kampung sejati, tapi versi di dunia. Setelah ngampung ngombe di rumahnya Mbah Mao Zedong, aku harus mempertanggungjawabkan semuanya ke keluarga, termasuk masalah pekerjaan.

Orang mungkin beranggapan bahwa lulusan luar negeri ketika kembali ke Indonesia akan menjadi orang sukses. Akan tetapi permasalahannya adalah sering kali masyarakat kita menganalogikakan kesuksesan hanya sebagai pencapaian karir yang memuncak dan memiliki harta kekayaan yang melimpah. Padahal, menurutku yang dimaksud dengan kesuskesan adalah apakah kita lulus menjadi khalifah Allah di muka bumi. Boro-boro menjadi khalifah, menjadi manusia saja kita seringkali gagal. Maka setelah pulang dari China aku tidak terlalu peduli untuk berkerja di mana dan sebagai apa karena yang terpenting adalah apakah aku bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitar dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Silahkan memilih apa saja yang membuatmu bergerak mendekat ke Allah dan membuat Allah mendekat kepadamu. Tidak peduli kegembiraan atau kesengsaraan, asalkan membuat Tuhan dan engkau berdekatan. Tidak peduli uang sedikit atau banyak, rumah besar atau kecil, mobil atau sepeda, hafal Qur`an atau tidak, jadi presiden atau kuli pasar, hidup mapan atau gelandangan, apapun saja, asalkan engkau olah menjadi alat untuk mendekatkan jarak antara Tuhan denganmu.” Daur 51 – Apa Yang Perlu Direnungi Dari Nasib.

Kalau aku kemukakan pendapatku ini ke orang lain, mereka pasti akan menertawakanku, syukur-syukur tidak mengafirkan. Maka, aku simpan kebenaranku ini di dapur dan tetap berupaya sebisa mungkin menyuguhkan makanan yang lezat untuk saudara-saudara di sekitarku. Memang sangat terasa sepi, tapi di dalam kesepian justru sering kali kutemukan kedamaian.

Pergaulan dengan Markesot membuat pandangan hidup mereka jadi kacau. Kehidupan di dunia ini menjadi tampak berbeda. Sangat berbeda. Dunia ternyata bukan kampung halaman. Bukan rumah. Bukan tempat di mana manusia membangun kemapanan dan kejayaan. Dunia ini hanya area kerja bikin batu-bata, untuk bangunan rumah mereka kelak di kampung halaman yang sejati. Ada saat di mana pandangan itu membuat hidup mereka menjadi tegar, tangguh dan tenang. Tapi di saat lain muncul situasi di mana mereka seperti ditimpa kesedihan dan rasa putus asa.” Daur 52 – Peradaban Bayi-Bayi.

Sepulang dari China, besar harapanku untuk sering mengikuti pengajian Maiyah untuk Sinau Bareng. Syukur Tuhan memperkenankan kita bersama-sama membangun Maiyah Rahmatan Lil `Alamin seperti tulisanku pada Tadabbur Daur sebelumnya. Amin, aku melangkah dalam samudera semoga, semoga dalam semesta amin.

Xiamen, China, 28 Juni 2017

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Maiyah Rahmatan Lil ‘Alamin

Maiyah Rahmatan Lil ‘Alamin

Empat tahun menjadi “gelandangan” di negeri orang, menelusuri hutan belantara, berpetualang mencari jati diri.

Ahmad Syaiful Rizal
A. Syaiful Rizal