CakNun.com

Berlebaran Jangan Garing

Rizky D. Rahmawan
Waktu baca ± 3 menit

Panggung Maiyahan meskipun bentuknya selayaknya panggung, yang tersuguh di atasnya bukanlah pertunjukkan, melainkan kesungguh-sungguhan. Sadar maupun tidak sadar di Maiyah memang kita dibiasakan untuk bersungguh-sungguh dalam mengerjakan apa saja. Termasuk hal sederhana, membuat bahan candaan di panggung misalnya, kalau tidak berangkat dari kesungguh-sungguhan, niscaya akan garing, jayus bahkan norak.

Di atas adalah sepenggal perbincangan dengan seorang kawan yang juga Jamaah Maiyah ketika saya bertandang ke kota tempat tinggalnya di Putrajaya. Kesungguh-sungguhan sangatlah lekat dengan profesinya. Berada di balik kemudi burung besi, tentulah tidak mungkin ia kerjakan kecuali dengan kesungguh-sungguhan.

Lebih lanjut, kawan saya tersebut menuturkan bahwa di Maiyah kita dibekali sensor, untuk memilah mana sesuatu yang sungguh-sungguh dan mana yang bukan. Menarik pengamatan kawan tersebut terhadap apa-apa yang berlangsung di atas panggung Maiyahan. Meskipun sering kali karena keterbatasan jarak, ia hanya bisa menyaksikan dari channel YouTube.

Kalau seorang tamu yang masih mencari panggung, terlebih ia gila panggung, maka sensor kita akan mengenalinya. Sebab motivasinya mencari panggung untuk dirinya, maka orang tersebut akan kehilangan daya untuk bersungguh-sungguh. Walhasil, misalnya ia bercanda, tidak dari hati, makanya tidak mutu. Yang lebih parah adalah, sudah candaannya tidak mutu, bahkan lebih parah ‘mendiskreditkan’ Simbah pula. Dalam artian melibatkan Simbah dalam guyonan tetapi tidak empan papan.

Ketika mendapati jenis guyonan semacam itu, kawan saya mengaku heran ketika Simbah diperlakukan tidak empan papan, lah kok jamaah masih tertawa terpingkal-pingkal pula. Ia menawarkan, “Harusnya yang kita lakukan adalah boikot tertawa!”. Sebab kalau kita terpancing tertawa, itu sama saja memberikan panggung kepada orang itu. Padahal hal tersebut yang memang orang itu inginkan.

Sebuah fenomena yang nampaknya remeh, tetapi bagi seseorang yang mengemban profesi yang menuntut manajemen tingkat dewa semacam kawan saya tersebut wajar jika hal seremeh itu tidak luput dari pengamatannya. Sejenak saya jadi membayangkan, betapa “krik-krik”-nya aksi boikot tertawa jika itu benar-benar terjadi.

Orang yang menjadi objek boikot tertawa itu bisa-bisa trauma bertahun-tahun berhadapan dengan panggung lagi, sebab ulah jamaah yang demikian jeli mengaktifkan sensor di dalam dirinya. Yakni sensor yang mampu memilah antara mana kebersungguh-sungguhan dan mana yang hanya artifisial atau kepura-puraan, cosmetic lah, pencitraan atau apapun namanya.

Untunglah di panggung-panggung Maiyahan amat jarang kita jumpai tamu yang menyengaja ingin berpencitraan, atau pun kaum fakir apresiasi dan pengemis tawa. Di samping karena memang bentuk panggungnya yang tidak wangun selayaknya panggung pertunjukan, yang tingginya hanya 40 cm tanpa pot kembang dan dekorasi macam-macam, juga bagi orang-orang yang hadir bertamu beranggapan audience yang mereka hadapi tidaklah marketable.

Begitulah, sementara begitu banyak orang di luaran sana mengidap maniac-panggung. Ya, banyak orang bahkan menjadikan apa-apa saja sebagai panggung untuk mereka tampil. Masyarakat kita sampai saat ini masih membutuhkan untuk diakomodir adanya ruang aktualisasi diri yang seluas mungkin. Entah aktualisasi diri adalah kebutuhan atau sekadar itu keinginan, yang jelas begitu banyak orang hari ini gila panggung.

Kalau orang masih gemar mencari panggung, maka apa saja rela ia lakukan. Tampil melawak padahal bukan di arena lawakan. Hadir di kelompok pergerakan A, B hingga Z padahal belum tentu ia punya target dan bekal yang jelas. Atau memaksakan diri ikut aksi-aksi, baik aksi jilid ke-1, jilid ke-2 hingga jilid ke-1000 tetapi hanya asal ikut-ikutan.

Apa saja dijadikan panggung untuk tampil, untuk membangun citra. Maka apa saja yang ia kerjakan adalah cosmetic, bukan kesungguhan hati.

Bahkan hingga momentum lebaran, bagi mereka lebaran pun adalah panggung.

Di saat yang bersamaan orang-orang berbondong-bondong pergi ke kampung halaman dengan nawaitu yang murni, hendak sungkem kepada orang tua dan melepas rindu kepada sanak saudara, lah mereka yang masih haus akan panggung justru menjadikan mudik ke kampung halaman sebagai sarana menampilan apa-apa yang sudah mereka capai, apa-apa yang sudah mereka miliki.

Mendapati orang seperti itu njengkelin, tidak sih? Tapi karena masih dalam momentum hari raya, kembali kita harus kosong-kosong. Akan tetapi, dari fenomena ini kita dapat menyaksikan bahwa sama-sama berlebaran tetapi beda nilainya. Antara yang bersungguh-sungguh dengan yang melakoni lebaran sekedar untuk unjuk tampil.  Antara yang benar-benar dari hati dan yang sekedar pamer aksesoris.

Betapa ilmu Maiyah begitu berguna dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kawan Pilot yang saya ceritakan di atas, ia mengaplikasikan ilmu Maiyah berupa “menghidupkan sensor kesungguh-sungguhan” di atas ketinggian terbang, kita pun dapat memanfaatkan ilmu yang sama dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, diantaranya di saat menghadapi momentum lebaran.

Kita tidak perlu menghakimi kesungguh-sungguhan orang dalam berlebaran. Tetapi kita khusdudzon saja bahwa semua orang sedang berlebaran dengan sungguh-sungguh. Kalau ndilalah ada kerabat atau tetangga yang memakai baju baru yang begitu modis, atau foya-foya membagi bingkisan atau pergi berbondong-bondong membawa keluarga besarnya berlibur, maka khusnudzon saja bahwa mereka sedang dalam rangka sungguh-sungguh ingin membahagian keluarganya. Bukan sedang ajang tampil atau pencitraan atau apapun.

Sebaliknya, janganlah kita memaksakan diri berlebaran dengan cara orang lain yang tidak terjangkau bagi kita. Di situ justru harus kita tanyakan lagi kepada diri sendiri, “Ini saya sedang bersungguh-sungguh berlebaran, atau sebetulnya sedang ingin pencitraan?” Kalau jawabannya yang kedua, paling tepat kita lakukan adalah aksi boikot baju baru! Lupakan bingkisan! Coret agenda liburan!

Apa sih yang akan kita peroleh dari momentum yang kita jalani dengan tanpa kesungguh-sungguhan? Hanya mengharap pujian dan sanjungan orang yang garing? Kita tidak tahu saja, bahwa dibalik pujian dan sanjungan yang orang lontarkan, dalam hati mereka bilang “ih, krik-krik banget sih..”.

Akhirnya, Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang menjalani momentum hari raya ini dengan kesungguh-sungguhan hati. Mohon maaf lahir dan batin. []

Lainnya

Fenomena Emha

Fenomena Emha

Ketika kondisi sosial  politik dan birokrasi menjadi begitu angkuh dalam menghadapi manusia, kita akan terkenang kepada puisi-puisi Emha, seperti juga kita mengingat karya-karya Rendra atau Taufiq Ismail.

Halim HD
Halim HD