CakNun.com

Berkahnya Jamaah Maiyah Antar Kota Antar Provinsi

Galih Indra Pratama
Waktu baca ± 4 menit

Sebelumnya saya minta maaf dahulu, karena yang mau saya ceritakan ini peritiwa beberapa bulan lalu setelah Hari Raya Idul Fitri. Bagi saya cerita ini menarik sekali kalau saya mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin. Bahkan juga saya menyebutnya melepas rindu kepada Mbah Nun, KiaiKanjeng dan JM yang lainya.

Suasana memang sudah mengharukan. Setelah Hari Raya dan Puasa saya tidak bertemu, menjadikan pertemuan yang sekaligus juga sebuah perjumpaan rindu bagi saya sendiri atau JM yang lainya dengan Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Selama bulan puasa saya memang tidak menghadiri acara Sinau Bareng atau Majelis Maiyah yang dekat dari tempat kerja saya. Mungkin jarak yang saya tempuh terlalu jauh, jadi saya tidak memutuskan untuk pergi ke acara tersebut.

Bagi saya sampai di lokasi lebih awal sudah jadi keinginan saya setiap hadir di acara Sinau Bareng, atau di Majelis Maiyah Gambang Syafaat yang selalu saya hadiri di setiap tanggal 25.

Pada saat itu saya sampai di lokasi menjelang Maghrib. Tampak masyarakat Desa Sukodono Sragen mulai berdatangan ke lokasi acara Sinau Bareng, juga terlihat beliau-beliau KiaiKanjeng juga baru turun dari bus. Begitu turun langsung check sound memegang alat musik mereka. Terdengarlah suara alunan musik Beliau-beliau KiaiKanjeng saat check sound, rasa rindu ini sudah sedikit terobati meski hampir tiga bulan tidak berjumpa dengan Beliau-beliau.

Jamaah Maiyah juga sudah banyak yang hadir pada malam itu, meski harus melewati jalan yang rusak dulu dan agak jauh dari kota Sragen. Saya juga bertemu JM dari berbagai kota seperti Surakarta, Boyolali, Magetan, Yogyakarta dan Sragen, yang sebagian saya mengenalnya. Suasana semakin tambah akrab lagi ketika bertemu dengan JM lainnya atau yang saya baru berkenalan pada malam itu.

Ada juga yang lama tidak bertemu alhamdulillah dipertemukan malam itu juga. Kadang niat kita ingin bertemu teman kita atau saudara kita selalu terhambat oleh apapun, seperti yang selalu Mbah Nun menuturkan kepada anak dan cucunya. Kalau kita ingin Allah ridlo sama kita, kita harus ridlo dulu sama Allah, apalagi kalau Allah sudah menghendaki, di manapun saja kita pasti akan dipertemukan.

Setelah acara Sinau Bareng di Desa Sukodono Sragen mau selesai, Mbah Nun selalu membekali Doa-doa untuk semua yang hadir di acara tersebut, kemudian diakhiri salaman. Saya dan teman-teman yang lain kembali ke tempatnya masing-masing. Tetapi saya istirahat di tempat saudara yang ada di Gemolong Sragen.

Pagi menjelang siang perjalanan saya lanjutkan, mengingat niat saya ingin datang ke Desa Menturo Sumobito Jombang saat itu. Pada waktu itu ada jadwal di sana, acara Miladnya Cak Fuad.

Panas terik matahari menyengat. Meskipun ada kemacetan yang panjang tetap saya lalui, tidak menyurutkan langkah saya, meski hanya pakai sepeda motor. Hanya bermodalkan keikhlasan hati untuk hadir ke sana, kota demi kota saya lalui. Sempat berhenti di utara Madiun lalu saya iseng foto tanda arah jalan, kemudian saya kirim ke aplikasi grup Whatsapp di handphone.  Kebetulan ada yang langsung balas chatting saya. Saya ditanya oleh salah satu orang yang berada di dalam grup tadi. Singkat cerita dia tanya apa saya ada di deket tanda tadi, saya menjawab iya. Terus dia kaget lalu berkata, di seberang jalan itu tempat kerjanya dia, saya disuruh ke sana. Akhirnya saya juga memenuhi permintaannya. Ternyata memang benar, dia JM Jember yang bekerja di Madiun.

Lagi-lagi ada kejutan yang unik padahal tadinya cuma iseng malah akhirnya bertemu kerabat baru lagi dan baru kenal waktu itu juga. Alhamdulillah saya malah diajak makan bersama. Saya tidak lupa mengajak ke Menturo, tetapi dia ada acara lain. Kemudian saya izin pamit melanjutkan perjalanan saya. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih sudah diperkenankan mampir di tempat dia singgah tadi.

Perjalanan saya lanjutkan, sekitar satu setengah jam lagi untuk sampai ke Menturo. Dengan berbekal aplikasi peta di handphone, ketika sampai di Jombang, saya menelusuri desa demi desa sebelum sampai di Menturo. Tidak ada rasa takut salah arah atau kesasar sekalipun, padahal jalannya juga membingungkan. Alhamdulillah saya akhirnya sampai di Desa Menturo.  Sempat bertanya sekali, kata orang di sana kalau mencari itu rumah Cak Nun, baru orang-orang disana mengerti. Mungkin karena saya baru sekali wajar kalau tidak tahu.

Sampai di lokasi tampak panggung dan gamelan sudah disiapkan. Sempat heran juga hati ini, rumah Mbah Nun ternyata desa pelosok utara di Jombang. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, ada juga yang mengembalakan kambing dan hewan yang lainnya. Beberapa jam kemudian banyak pedagang dan JM lainya. Mungkin ada juga yang dari luar kota atau dari Jombang sendiri yang berangkat lebih awal, seperti saya ini.

Saya berkenalan dengan orang yang ada di sekitar saya. Ada juga penggiat simpul Maiyah dari berbagai kotanya masing-masing. Saya salami satu per satu. Rasanya tidak ada rasa lelah sekalipun padahal habis perjalanan jauh.  Dan semalam juga habis dari acara Sinau Bareng. Suasana malah tambah mengharukan setelah bertemu. Saya sedikit mengerti atau pernah melihat wajah penggiat-penggiat simpul Maiyah tadi.

Yang menarik bagi saya adalah setelah berkenalan dengan JM yang lainya. Jika jamaah Maiyah yang datang ini tinggal di kota tempat acara diselenggarakan, maka hal itu wajar saja. Tetapi bila mereka datang dari kota yang jauh maka itu cukup menarik dan istimewa. Seperti yang sudah saya salami dan ada juga yang mengajak berkenalan dengan saya. Terlihat mereka adalah jamaah Maiyah yang datang dari Purwokerto, Surakarta, Semarang, Surabaya, Magelang, Yogyakarta, dan bahkan Bandung. Mereka antar kota antar provinsi. Ada yang menempuh dengan bus dan kereta, bahkan banyak dari mereka yang menempuhnya sama seperti saya dengan mengendarai motor. Ada juga yang kemarin hadir di Sragen dan malam ini datang lagi.

Terasa sekali militansi dan kesungguhan mereka untuk menimba ilmu, tanpa rasa jenuh sedikit pun. Mereka datang tidak tampak sebagai suatu kelompok atau golongan tersendiri. Yang terasakan dari mereka adalah kesetiaan dalam mencari ilmu. Di lokasi, mereka berbaur dengan hadirin atau jamaah pada umumnya. Duduk mereka juga tersebar, di mana saja. Ada yang di samping panggung. Ada yang di dekat pagar, ada juga tentunya yang mengambil tempat di antara jamaah di tengah-tengah halaman. Ada pula yang berdiri di sisi panggung berbagi dengan panitia. Usai acara, mereka juga akan menempuh kembali perjalanan berkilo-kilometer jauhnya untuk sampai ke rumah masing-masing. Saya juga pasti akan kembali menempuh perjalanan berkilo-kilo lagi menuju tempat saya bekerja.

Banyak kejadian-kejadian yang menarik selalu hadir di acara tersebut. Apalagi saya kembali bertemu kerabat lagi ketika saya chatting di grup Whatsapp tadi. Kebetulan ada empat orang kemudian membalas chatting saya. Mereka malah duduk di samping panggung. Ada juga yang duduk di belakang. Saya langsung menyapa mereka semua dengan perasaan terharu lagi karena saya waktu itu duduk di depan panggung. Ada lagi teman saya memberi tahu, kalau temannya ada yang hadir, lalu saya dikasih nomer handphone-nya. Setelah saya hubungi, akhirnya juga bertemu lagi. Dan semua itu tidak masalah, meski tidak tahu asal-usul kita terlebih dahulu, padahal baru bertemu sudah membaur satu dengan yang lain layaknya kerabat sendiri.

Sampai saat ini mereka semua tadi akhirnya jadi saudara seperti layaknya kerabat sendiri. Setiap bertemu sudah akrab, sampai-sampai selalu ditawari singgah di rumahnya atau kos yang mereka singgahi. Pada waktu mengikuti Maiyahan itulah kerabat saya selalu bertambah, memang indah sekali nyedulur kepada yang bukan kerabat kita sendiri. Kadang saat saya pamitan mau kembali ke tempat saya bekerja, rasa terharu ini selalu hadir. Ingin sekali membalas kebaikan-kebaikan yang sudah mereka berikan pada saya. Hanya doa yang bisa saya panjatkan sebelum bisa membalas kebaikan-kebaikan mereka tadi atau JM yang lainnya.

Jepara, 18 Oktober 2017

Lainnya

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Seribu Idul Fitri Untuk Seribu Diri

Pencapaian diri-rakyatmu mungkin adalah ketangguhan untuk tidak terhina oleh pelecehan, tidak menderita oleh penindasan, tidak mati oleh pembunuhan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib