CakNun.com

Berdaulat untuk Menta’dhimi

Sugeng Riyadi
Waktu baca ± 2 menit

Selama saya berproses dan menyimak ilmu Maiyah, saya sangat terkesan dengan pesan dari Simbah: “Muhammadkan hamba”. Ketika mendengar kalimat tersebut, yang ada di benak saya adalah bahwa Nabi Muhammad bukan sebatas sebagai manusia, tetapi beliau adalah ilmu dan cahaya, beliau menerangi manusia menuju Yang Maha Ada dengan La illaha illallah.

Karena pemahaman saya yang terlalu sederhana, kadang di benak saya muncul keinginan untuk menyalahkan ajakan para ustadz bahwa kita harus mengikuti jejak Nabi Muhammad. Batin saya, kenapa hanya mengikuti, kenapa tidak me-Muhammad sekalian?

Perjalanan me-Muhammad bukanlah perjalanan yang ringan. Bukan pula perjalanan yang tanpa jebakan dan rintangan. Yang menjadi jebakan seringnya adalah karena kita tidak mampu berpikir dengan baik. Ketika seorang santri tidak mau belajar berpikir, maka dia justru bisa terjebak pada sikap ta’dhim, nurut dan sendiko dhawuh yang buta. Ia ta’dhim tapi hanya karena ikut-ikutan santri kebanyakan, ia hanya mengikuti tren ta’dhim belaka.

Sedangkan ketika seorang ustadz yang kurang menjaga kemurnian hati, ia justru bisa menjadi penghalang santri dan umatnya menuju Muhammad. Kemurnian hati yang seringkali terganggu oleh godaan kemasyhuran ilmu. Atau karena ia terlalu membanggakan diri dan ketokohannya.

Kita harus memiliki alasan untuk ta’dhim kepada guru yang kita ikuti. Kita harus memiliki alasan yang benar, yakni karena memang kita ta’dhim kepada tajjali Allah pada sang guru. Sehingga kita ta’dhim atas kedaulatan kita sendiri. Dan sebetulnya tajjali Allah ada pada setiap manusia, oleh karenanya kita hendaknya memang hormat dan ta’dhim satu sama lain.

Saya termasuk yang setuju dan berharap Maiyah tidak perlu menjadi apa-apa. Maiyah kalau bisa tetap menjadi sesuatu yang cair. Sebab saya paling tidak kuat dan tidak tega ketika Maiyah disalahpahami orang. Sebab Maiyah tidak punya kepentingan sebagaimana komunitas keagamaan pada umumnya. Kalau ada kepentingan di dalam Maiyah, kepentingannya adalah ilmu. Kalau di dalam Maiyah ada ta’dhim, nurut dan sendiko dhawuh, itu pun tidak ada dalam rangka lain selain proses mengilmui.

Sungguh saya ngeri dengan pandangan manusia, termasuk pandangan mereka yang menyalahpahami Maiyah. Simbah di Daur 102 – Kemerdekaan adalah Hak segala Jin dan Manusia tentang mengerikannya pandangan manusia :

Pandangan manusia justru sangat mengerikan, karena umumnya ngawur, tanpa data objektif dan asal omong. Kalau pandangan Tuhan malah aman, karena jernih, pasti benar. Asalkan kita benar, maka benar juga menurut Tuhan. Kalau manusia, kita benar bisa jadi salah. Kalau kita salah malah bisa dibenarkan.

Maiyah tidak perlu menjadi apa-apa, saya juga tidak ingin menjadi siapa-siapa, semata-mata hanya karena saya ingin belajar ta’dhim kepada yang sudah Simbah ajarkan. Seperti yang Simbah sering sampaikan, betapa beliau berusaha untuk meniada. Simbah tidak mau dianggap guru, kiai, atau tokoh apapun. Walaupun untuk menjaga kondisi masyarakat yang gonjang-ganjing ini beliau telah berkorban begitu banyak untuk menemani dan membantu masyarakat.

Beliau melakukan semua itu, sebab beliau sungguh-sungguh tidak mau menjadi penghalang manusia untuk me-Muhammad.

Lainnya

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i Pluralisme

Meng-Hakim-i bukan menghakimi, pluralisme bukan pluralitasnya. Meng-Hakim-i maksudnya di sini adalah menempatkan kesadaran Al-Hakim kepada objek yang sedang kita bedah bersama.

Muhammad Zuriat Fadil
M.Z. Fadil
Falyatanaffas, Falyataglobal

Falyatanaffas, Falyataglobal

Ketika membaca Daur 115, Jam Terbang Bopo Adam beberapa waktu lalu, tiba-tiba ide ini muncul.

Muhammad Humaidi
M. Humaidi