CakNun.com

Berat Hati dan Tidak Tegaan

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Sohaib Al Kharsa on Unsplash

Takfiry adalah perjuangan menegakkan keIslaman dengan semangat meng-kafir-kan. Tamkiry adalah perjuangan menegakkan kebenaran dengan semangat me-makar-kan. KeIslaman dan kebenaran ada pada diri seseorang, tudingan kafir dan makar terhadap yang bukan dirinya.

Kosakata takfiry lazim dipakai dalam Bahasa Arab, sedangkan Tamkiry meskipun belum pernah dipakai, tetapi ia tidak menyalahi pola gramatika Bahasa Arab. Bangsa Indonesia, dengan kepeloporan suhu panas politik Ibukotanya, mengalami perang brubuh pikiran dan hati, di mana dua pihak saling melemparkan tuduhan Kafir dan Makar.

Dialektika negatif Takfiry dan Tamkiry berlangsung tanpa ada gejala akan mereda, dalam berbagai lapisan gelombang serta bermacam-macam narasi, idiom, dan medium ekspresi. Di satu kutub siapa saja yang tidak meneriakkan kata yang sama dituduh Kafir, Munafik, Sesat, Musyrik. Di kutub lainnya kalau tidak turut menyalakan lilin atau menyanyikan lagu yang sama, disimpulkan sebagai anti-NKRI, anti-Pancasila dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.

Bagi yang tidak ikut kedua orkestra itu, menanggung beban Kafir sekaligus anti-NKRI, Munafik sekaligus anti-Pancasila, serta Musyrik sekaligus anti-Bhinneka Tunggal Ika. Sejumlah penduduk Indonesia tidak lagi bisa menemukan dan menikmati keberadaannya di Negeri Katulistiwa, karena ia harus mengambil sikap untuk berada di Kutub Selatan atau beralamat di Kutub Utara.

Firman Allah di Surat Al-Maidah menjadi hulu ledak awal yang memuaikan uap panas. Sedemikian rupa sampai ada yang tak kuat. Karena pada dasarnya setiap manusia memerlukan kesejukan, maka diterbitkanlah Kitab Al-Qur`an dengan menghilangkan narasi Al-Maidah yang dirasanya merupakan ayat-ayat hulu ledak.

Sementara saya justru menemukan mata air kesejukan yang luar biasa darinya.

Allah menginformasikan di Ayat-54: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.

Kalimat yang diterjemahkan “murtad dari Agamanya” mohon izin saya pahami berbeda, dengan mengambil esensi universalnya: “tidak melakukan prinsip yang semestinya dilakukan”. Manusia tidak menegakkan komitmen yang seyogyanya ditegakkan oleh manusia. Kesadaran dan kesetiaan “bebekti” (: Agama) — pengabdian kepada hakiki hidup makhluk yang tertinggi derajatnya, yang oleh Penciptanya dibikin memiliki kelengkapan dibanding alam dan binatang. Bebekti kepada Tuhan, yang Ia tak akan menerimanya jika tak diejawantahkan menjadi kasih sayang dan rasa bersama dengan sesama manusia dan alam, yang lazim disebut “rahmatan lil’alamin”.

Yang bikin penasaran adalah janji Allah “mendatangkan suatu generasi yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya”. Subjek primer cinta di situ adalah Allah sendiri. Kausalitasnya bukan manusia mengabdi kepada-Nya sehingga memperoleh cinta dari-Nya. Melainkan Allah sendiri pemrakarsanya, pelopor dan inisiatornya: Ia merancang, mendesain lahirnya suatu generasi yang sejak semula memang Ia cintai dan Ia bimbing untuk memiliki potensi-potensi yang kompatibel untuk bercinta dengan-Nya. Dengan sangat menekan “rasa GR” dan irasionalitas, saya merasa berjumpa dengan generasi yang Allah maksudkan itu, rata-rata sekitar 50.000-an kaum muda dalam seminggu di berbagai titik Nusantara.

Saya menemukan berbagai indikator bahwa mereka adalah sebagian dari yang disebut “Generasi Millenial”, yang karakternya, sifatnya, kecenderungannya serta pilihan-pilihannya mungkin berbeda dengan Generasi Millenial pada umumnya. Maka karena saya sangat menjunjung Pancasila, dengan Sila Pertama yang sangat rasional, ilmiah dan historis, yang diaplikasikan melalui sistem nilai Sila Kedua, Ketiga dan Keempat, dengan goal Sila Kelima — saya mencoba melakukan “pointers” yang disebut oleh Allah kepada mereka setiap kali berjumpa dengan saya, sebagaimana yang tertera di Ayat 54.

Utamanya sifat “a’izzah ‘alal kafirin”, sesudah “adzillah ‘alal mu`minin” yang lemah lembut kepada sesama orang beriman. Selama ini “a’izzah ‘alal kafirin” diterjemahkan “bersikap keras kepada orang-orang kafir”. Mohon izin dengan segala keterbatasan, saya menemukan yang berbeda. Sebagaimana kosakata yang sama yang dipakai oleh Allah dalam menjelaskan salah satu sifat utama Rasulullah saw ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittum: berat hatinya atas derita yang kau alami. Maka “a’izzah ‘alal kafirin” adalah berat hati atau tidak tegaan kepada sesama manusia yang belum beriman. Ini konsep peneduhan yang luar biasa dalam “bebrayan” kemanusiaan.

Ada klausul lain, misalnya tidak takut dicela. Saya sendiri terus belajar untuk ini. Maka kalau tulisan-tulisan dan penyikapan saya selama ini melahirkan celaan, hinaan atau amarah — tak akan ada masalah dengan dan pada saya. Karena “haq”-nya terletak di tangan Yang Maha Memerintah saya. ***

Malang, 3 Juni 2017.

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik