Benteng Nusantara
Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Danang Sutawijaya selaku pewaris Bumi Mataram supaya membangun pagar di sekeliling Kutaraja. Dengan takdhim, Danang Sutawijaya pun menjalankan perintah gurunya. Namun, ternyata pagar yang dibuat oleh Danang Sutawijaya tersebut lebih menyerupai benteng. Bahkan, ia juga menanam pohon beringin kurung di alun-alun Mataram. Padahal, yang boleh menanam pohon beringin kurung saat itu hanya Kasultanan Pajang saja.
Lebih mengherankan lagi, selama setahun lebih Danang Sutawijaya tak mau menghadap (sowan) kepada Sultan Hadiwijaya selaku Raja Jawa di Kasultanan Pajang. Danang Sutawijaya, bahkan membiarkan rambutnya tergerai panjang; sesuatu kebiasaan yang tak lazim bagi seorang nayaka praja di bawah Kasultanan Pajang.
Pembangunan di Bumi Mataram pun terus menggeliat. Banyak rakyat dari berbagai daerah yang berbondong-bondong mengadu nasib di Mataram karena tanahnya subur-makmur dan gemah ripah loh jinawi. Dalam pada itu Danang Sutawijaya merekrut banyak prajurit, lalu digembleng dalam olah fisik dan kanuragan. Hari-hari Danang Sutawijaya pun dihabiskan untuk melatih kuda-kuda tunggangannya.
Nah, ada isyarat apakah semua itu? Apakah itu sebagai tengara bahwa Danang Sutawijaya hendak melakukan kudeta atau makar terhadap kepemimpinan ayah angkatnya sendiri Sultan Hadiwijaya di Pajang?
Dan, apakah momentum itu menunjukkan kebenaran ramalan Sunan Giri bahwa di Mataram kelak akan muncul kerajaan atau kasultanan baru Tanah Jawa yang lebih besar daripada Kasultanan Pajang?
Makna Pagar Dan Benteng
Dalam kehidupan, pagar memiliki fungsi yang sangat penting. Pagar rumah atau pagar yang mengelilingi areal pekarangan, misalnya, selain berfungsi sebagai batas wilayah pekarangan, ia juga dapat berfungsi menjaga keamanan dari gangguan orang jahat; maling atau pencuri, perampok hingga pemulung yang suka mengambil barang di areal rumah. Demikian halnya dengan pagar atau tanda batas di areal perkebunan atau tanah, setidaknya ia dapat menjadi tanda atau penanda yang jelas mengenai luas tanah kepemilikan seseorang.
Pagar rumah orang-orang dahulu biasanya hanya terbuat dari tanaman, lalu berkembang diganti dengan pagar dari batu-bata. Perkembangan mutakhir yaitu pagar yang terbuat dari besi. Pagar di rumah milik orang-orang kaya biasanya berukuran tinggi, bahkan demi pengamanan ujung pagar tersebut dibikin lancip seperti tombak.
Meski demikian, apakah pagar besi seperti itu benar-benar dapat menjamin keamanan? Yang namanya maling, tentu menggunakan seribu cara untuk menggapai tujuan. Pagar tetap penting demi penjagaan keamanan rumah, namun pagar yang sesungguhnya adalah para tetangga kita. Meski seseorang memiliki pagar besi tinggi sekali pun, tetapi kalau dia acuh tak acuh terhadap para tetangga kiri-kanannya, niscaya mereka tak mempedulikannya pula.
Sebut saja, Tembok raksasa China (great wall) yang tahap awal panjangnya sekitar 7.000 km lebih konon dibangun untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dari Mongolia oleh Dinasti Zhou pada tahun 770 SM – 476 SM. Meski demikian, apalah artinya pembangunan Tembok raksasa itu jika tak dibarengi dengan pembangunan mental para pegawainya. Jika para penjaga Tembok raksasa China tidak kuat mentalnya, niscaya mereka akan dengan mudah terkena suap dari pihak luar untuk memasuki pagar raksasa itu.
Di zaman kerajaan dulu, pagar seperti itu lebih dikenal dengan benteng yang berfungsi untuk membentengi istana kerajaan dari serangan para musuh. Tentu bentuk benteng lebih besar ketimbang pagar secara umum.
Kalau dalam kehidupan rumah-tangga, jangan pula seperti ungkapan “Pagar makan tanaman”; artinya janganlah seorang suami mengganggu isteri tetangganya. Atau jangan pula seperti paribasan (peribahasa) Jawa “ngrusak pager ayu” (perempuan nakal yang bertindak di luar kepantasan; laki-laki yang melanggar norma-norma sosial).
Dalam khasanah budaya Jawa, pagar juga sangat penting bagi pribadi. ‘Pagere awak’ (pagarnya badan) identik dengan hal-hal yang berkaitan keamanan fisik (diri) yang secara umum berhubungan dengan ngelmu kanuragan. Selain ‘pagere awak’, ada pula ‘bentenge dhiri’ yang identik dengan benteng pertahanan diri yang berhubungan dengan keruhaniaan atau spiritualitas. Jadi, pagar atau benteng tak hanya berkaitan dengan rumah atau istana saja, namun juga pagar atau benteng pertahanan diri pribadi.
Dalam hidup dan kehidupan, kita memang harus ekstra hati-hati terhadap segala hal. Semua orang tentu berharap agar jangan sampai tertimpa suatu musibah atau bencana yang tak disangka-sangka sebelumnya, sebagaimana bunyi paribasan Jawa: kesandhung ing rata (tersandung di tanah datar), kabentus ing tawang (tersandung di udara), dan ketatap ing pager suru (terbentur pagar maya). Itulah sebabnya dalam Islam, kita diharapkan untuk memperbanyak mengucapkan Istighfar (memohon ampun) atas segala kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak. Juga mengucap La haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah).
Tentu kita juga berharap memiliki kemerdekaan yang sejati, sebagaimana slogan orang Jawa: “Baya sira arsa mardika mardikan, hawya samar sumingkiring dur angkara” (Barangsiapa hendak menggapai kemerdekaan yang sejati, hendaknya menyingkirkan angkara murka dari dalam diri).
Ancaman Bagi Negara Kita
Beberapa waktu lalu, ketika tampil di acara TV swasta, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa Indonesia memiliki beberapa ancaman, baik dari dalam maupun luar. Dalam hal ini setidaknya ada beberapa alasan, yakni;
Pertama, terjadi pola hidup (life style) yang serba cepat dan instan yang kemudian mengakibatkan sering munculnya kriminal di berbagai tempat.
Kedua, negara kita sering dijadikan ajang pasar yang empuk bagi para pengedar NARKOBA.
Ketiga, negara kita memiliki kandungan SDA (sumber daya alam) yang luar biasa, seperti air, bahan makan, migas (minyak bumi dan gas), logam mulia, dan sebagainya sehingga dilirik para penguasa manca negara.
Keempat, terjadinya ketegangan di kawasan perairan China Selatan yang mau tida mau menyebabkan pihak keamanan Indonesia harus senantiasa waspada.
Kelima, sering terjadinya aksi penculikan terhadap para awak kapal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di kawasan Filipina Selatan yang berdekatan dengan Sulawesi. Bahkan, konon kabarnya ISIS hendak bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf yang bermarkas di kawasan Filiphina Selatan.
Keenam, adanya pembangunan pangkalan militer AS di Australia yang sangat dimungkinkan untuk mengamati perusahaan tambang emas Freeport di Papua.
Semua itu jelas membutuhkan perhatian ekstra serius bagi pemerintah, jangan sampai negara kita diobok-obok oleh para penguasa dunia. Kita tak dapat menyangkal bahwa aksi kapitalisme global dewasa ini benar-benar telah merambah hampir ke seluruh lapisan. Tak hanya SDA (sumber daya alam) dan SDM (sumber daya manusia) murah dari masyarakat kita yang hendak mereka kuasai, namun juga menyangkut berbagai kebijakan pemerintah yang dimaksudkan demi kepentingan mereka. Bahkan amandemen UUD 1945 mengenai calon presiden dan wakil presiden pun yang sebelumnya orang Indonesia asli diganti dengan WNI yang membuka lebar pintu masuk aksi kapitalisme (para pemegang modal).
Yang jelas, kapitalisme global atau kapitalisasi liberal berusaha mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari Bumi Nusantara dengan menebarkan virus materialisme dan takhayul kemewahan duniawi kepada rakyat kecil. Jika dipandang dari spiritual-tasawuf, hal itu identik dengan hubbud dunya (cinta dunia) yang berlebih-lebihan, sehingga kita harus membentenginya dengan sandaran hidup sederhana yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan.
Pancasila sebagai Benteng Nusantara
Adanya ancaman baik dari dalam maupun luar terhadap negara kita, maka senjata yang paling ampuh untuk membentengi Nusantara tak lain berusaha menjalankan dan menerapkan dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Jawabannya yakni bagaimana para pemimpin bangsa hingga rakyat kecil memiliki pemahaman, penjiwaan dan pengamalan terhadap Pancasila, sila demi sila secara utuh dan komprehensif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa puncak dari pengamalan Pancasila yaitu pada sila ke-5 yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, jika kenyataannya di negara kita masih banyak ketimpangan atau kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin, masih banyak pengangguran, belum meratanya hasil pembangunan dan seterusnya niscaya hal itu menunjukkan belum tercapainya sila ke-5. Kalau nilai keadilan telah tercapai, secara otomatis kedamaian dan kemakmuran akan terpenuhi. Sebaliknya, bila kedamaian dan kemakmuran belum terwujud, jelas mengisyaratkan belum tercapainya keadilan.
Menurut Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bila sila ke-5 belum tercapai, ada kemungkinan karena penerapan sila ke-4 nya belum benar. Demikian halnya bila sila ke-4 belum terwujud, boleh jadi karena ada kesalahan penerapan pada sila ke-3 dan seterusnya hingga pengamalan pada sila ke-1, yakni Ketuhanan Yang Mahaesa.
“Mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan Sila-1, “ tulis Cak Nun di Harian Kompas (19/1/2017).
Cak Nun menyindir mengenai parodi yang diungkapkan banyak orang dalam kehidupan sehari-hari bahwa sila ke-1 bukannya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi “Keuangan Yang Maha Esa.”
Itulah sebabnya mulai sekarang hendaknya kita berusaha belajar memahami serta meneguhkan kembali mengenai sila pertama Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
Resume Diskusi SEGI MAIYAH Sabtu Legi (17 Desember 2016)