Belajar Kerendah-hatian

Syukur Alhamdulillah, setahun yang lalu tepatnya pada tanggal 27 Mei 2016, saya beserta teman Jamaah Maiyah Gemolong Sragen diperjalankan Tuhan untuk menghadiri gelaran Ihtifal Maiyah di Dusun Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Itulah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah kelahiran para ulama kekasih Allah. Allah memberi kesempatan langka kepada kami untuk sowan ke kampung halaman sang guru besar. Menapak tilasi jengkal demi jengkal jejak langkah perjalanan dan perjuangan panjang seorang Muhammad Ainun Nadjib. Bahagia, terharu, abang-ireng dan tak kuasa menahan akhirnya airmata itu tumpah juga ketika bisa menatap-melihat-menyaksikan secara langsung aura, atmosfer dan suasana Padhangmbulan di Menturo Jombang. Menakjubkan.
Hari itu (27 Mei 2016), Mbah Nun genap berusia 63 tahun. Persis dengan usia Kanjeng Nabi ketika dipanggil Illahi. Momen bersejarah dan teramat spesial, di mana seluruh Jamaah Maiyah Nusantara hadir, tumplek blek, berkumpul di satu tempat, turut mangayu-bagyo Miladnya Simbah. Itu menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi semua JM Nusantara, tak terkecuali saya. Akan terekam indah dan rapi di lubuk sanubari.
***
Selang setahun gelaran Ihtifal Maiyah di Jombang kala itu, hari ini akan digelar Padhangmbulan edisi spesial yang bertajuk FUADUSSAB’AH. Momen spesial ini bakal dihelat dalam rangka mensyukuri hari kelahiran ke-70 tahun salah satu Marja’ Maiyah yang sekaligus kakang mbarep Cak Nun yaitu Bapak Ahmad Fuad Effendy, MA atau yang akrab disapa Cak Fuad.
Cak Fuad adalah pengampu Majelis Padhangmbulan. Dengan setia mengasuh dan menemani JM sejak tahun berdirinya Padhangmbulan yaitu pada tahun 1992 silam. Jujur, saya pribadi memang belum banyak mengkaji dan menyelami khazanah ilmu dari Cak Fuad. Namun begitu, Cak Fuad merupakan rujukan pertama bagi JM untuk mengetahui segala hal tentang Bahasa Arab. Dan sejak 2013 lalu, Beliau dipercaya menjadi salah satu anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdulaziz International Center of Arabic Language. Beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang dipercaya menjadi anggota lembaga tersebut selama dua periode. Membanggakan.
Tentu kita sebagai Jamaah Maiyah patut bersyukur dan berterimakasih kepada Cak Fuad. Kita bisa belajar banyak kepada beliau tentang arti kesungguhan, keikhlasan, dan terus-menerus mencoba menularkan serta melestarikan khazanah ilmu Bahasa Arab bagi seluruh JM Nusantara.
***
Ada satu pesan yang pernah di sampaikan oleh Cak Fuad, yang begitu ngena dan nancep dalam benak saya. Sebuah pesan moral sederhana namun sarat akan makna dan ke-tawadhu-an. Pada Maiyahan Padhangmbulan edisi #April 2016, Cak Fuad pernah menceritakan kisah tentang orang berkebangsaan Afrika yang tengah menjalani ibadah haji. Merasa dirinya awam tentang ilmu agama, tidak tahu harus memanjatkan doa apa, maka ketika melihat orang-orang yang sedang berthawaf mengelilingi ka’bah, ia seraya berucap, curhat kepada Allah.
“Ya Allah, maafkanlah hamba yang awam dan bodoh ini. Hamba tidak paham tatacara berdoa dan hendak minta apa kepada-Mu. Maka cukup satu saja yang saya pinta. Berikanlah segala doa-doa kebaikan yang dirapalkan oleh orang-orang yang berthawaf itu kepada saya.” — Selesai. Singkat-padat-jelas.
Menurut Cak Fuad, apa yang dilakukan orang Afrika tersebut adalah mulia. Sebab dalam ucapan doa-nya itu penuh kerendah-hatian, jujur dan apa adanya. Tidak ada muatan kesombongan. Tidak gemedhe, sok dan bertele-tele. To the point langsung pada intinya. Ini patut kita contoh dan tiru. Jelas Cak Fuad yang diikuti tawa renyah dari seluruh jamaah.
Dari kisah orang Afrika tersebut, kita bisa mengambil saripati-nya. Bahwa setiap kali berdoa, nyenyuwun apa saja sama Allah harus mengutamakan sikap rendah hati, tunduk-tawadhu, berserah-pasrah, ndherek kersane Gusti Allah. (La haula walaquwata ilabillaah). Dengan begitu Insya-Allah Tuhan akan terharu, terenyuh, ndak tega kalau sampai tidak mengabulkan doa hamba-Nya.
***
Islam itu indah. Agama kasih-sayang. Nyenengkeh pokoké. Islam bukan agama yang ribet. Islam bukan kata benda yang kaku, melainkan kata kerja yang luwes dan merangkul. Silakan berislam menurut kemampuan, dengan sukarela tanpa paksaan (laaa ikrooha fid-diin). Dan kepada Allah yang menciptakan Islam, silakan untuk bermanja-manja. Sitik-sitik Allah, opo-opo Allah, melek moto Allah, mapan turu Allah. Yakin saja, bahwa Allah tidak akan merasa risih dan sebel meskipun seluruh hamba-hamba-Nya gelendotan manja, meminta apa saja kepada-Nya. (iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin). Allah terlalu kaya raya kalau hanya untuk memenuhi segala kebutuhan dan keperluan kita. Dengan catatan, kita senantiasa utamakan sikap kerendah-hatian di hadapan Allah dan liyan.
Sugeng ambal warsa ke-70 Cak Fuad. Selamat, barokah dunia-akhirat.
Sragen, 06 Juni 2017