CakNun.com

Belajar Istiqomah Bersedekah di Gambang Syafaat

Catatan 18 Tahun Majelis Maiyah Gambang Syafaat
Redaksi
Waktu baca ± 5 menit

“Maiyah bukanlah salah satu aliran dalam Islam. Maiyah adalah salah satu cara mengungkapkan cinta kepada Allah dan Nabi Muhammad saw, serta dalam rangka bersedekah kepada Indonesia”, begitulah yang disampaikan oleh Pak Saratri di Gambang Syafaat tadi malam.

18 tahun tentu bukan perjalanan yang sebentar. Jika diukur dengan rentang usia seorang manusia, usia 18 tahun adalah usia seorang remaja yang memasuki fase remaja. Penuh gejolak, rasa ingin tahu yang semakin tinggi, jiwa berontak dalam dirinya semakin terlihat, ia ingin dilihat oleh semakin banyak orang, ia ingin diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Tetapi tidak dengan Gambang Syafaat. Memasuki usianya ke-18 ini, kita belajar sangat banyak hal dari Gambang Syafaat. Bisa dikatakan, Gambang Syafaat adalah kakak senior dari Simpul Maiyah yang ada saat ini. Ia lahir setelah Mocopat Syafaat di Yogyakarta. Tentu saja forum ini terinspirasi oleh PadhangmBulan embrio Maiyah yang berada di Menturo.

18 tahun perjalanannya, Gambang Syafaat membuktikan bahwa kesetiaan dalam memegang teguh nilai-nilai Maiyah itu bukanlah perjuangan yang mudah. Dinamika dan gesekan dalam proses perjalanan selama 18 tahun ini tentu memberi warna yang semakin variatif di Gambang Syafaat. Tak terhitung sudah berapa ide, gagasan, wacana, pengetahuan, serta khasanah ilmu multi dimensi yang sudah digelar dalam rentang waktu 18 tahun ini. Gambang Syafaat membingkainya dalam jalur kesetiaan.

Salah satu fondasi yang terus dijaga di Maiyah adalah tentang kedaulatan manusia di Maiyah. Maiyah, sebagai laboratorium ilmu yang unik memberikan suasana yang egaliter, bebas dan siapapun saja yang hadir di Maiyah berdaulat penuh atas dirinya. Tidak ada paksaan untuk setuju terhadap sebuah pandangan, tidak ada pula mekanisme hukuman bagi mereka yang tidak sependapat dengan wacana-wacana yang lahir di Maiyah. Seluruhnya berdaulat penuh atas pilihannya masing-masing.

Gambang Syafaat selama 18 tahun membuktikan betapa berdaulatnya manusia yang hadir di setiap tanggal 25 bulan masehi, di Masjid Baiturrahman Semarang. Berlokasi di pusat kota Semarang, sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, di mana masyarakat yang menghuninya juga sangat beragam, baik suku, ras, latar belakang budaya, pendidikan juga agama menjadi tantangan tersendiri bagi para Penggiat Gambang Syafaat dalam menjaga keberlangsungan forum ini. Bukan perjuangan yang mudah.

Layaknya sebuah perayaan ulang tahun, Penggiat Gambang Syafaat pun menyiapkan perayaan ulang tahun ke-18 ini dengan persiapan yang maksimal. Sejak beberapa hari sebelumnya, mereka sudah membagi tugas dan perannya masing-masing. Di hari H, sejak siang hari mereka pun saling bahu-membahu bertugas sesuai dengan tugasnya masing-masing. Dengan perasaan gembira, seperti hendak merayakan ulang tahun kekasih hatinya.

Mereka bergembira, berbahagia meskipun sewajarnya tanggal 25 Desember adalah tanggal merah, dan sah-sah saja mereka menggunakan hari libur kemarin untuk berlibur ke tempat wisata bersama keluarga mereka. Tetapi, mereka memilih untuk bergembira di ulang tahun ke-18 Gambang Syafaat. Para penggiat ini juga bukanlah orang-orang yang tidak memiliki kesibukan di hari-hari biasanya, mereka juga ada yang bekerja di kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta, ada juga yang berprofesi sebagai pengusaha. Beragamnya latar belakang profesi, nyatanya mereka membuktikan bahwa mereka sangat solid mengelola forum ini.

Tema besar yang diangkat dalam ulang tahun ke-18 ini adalah “Sedekah Kepada Indonesia”. Ketika kita mendengar kata sedekah, pasti ada banyak hal yang kemudian terasa akrab di telinga kita. Ada yang memiliki referensi, jika kita bersedekah maka kemudian Allah akan melipatgandakan apa yang kita sedekahkan. Ada juga yang memiliki pandangan bahwa dengan bersedekah, maka bisa menjadi penghapus dosa dan mungkin juga menjadi salah satu media agar sakit yang sedang diderita segera sembuh. Sementara kita di Maiyah, sejak lama kita belajar bahwa bersedekah adalah sebuah peristiwa yang sangat mulia, ia tidak bersifat wajib, tetapi jika kita melakukannya, apalagi di saat kita juga dalam keadaan yang sempit, maka di situlah letak kemuliaan bersedekah.

Ketika kita memiliki keterbatasan materi, energy, pikiran dan lain sebagainya, tetapi kita mau bersedekah, itulah letak kemuliaannya. Dan hanya keikhlasan yang menjadi penguat niat kita untuk bersedekah. Dengan segala keterbatasannya, Gambang Syafaat telah bersedekah banyak hal kepada Indonesia. Layaknya forum-forum Maiyahan di berbagai daerah, Gambang Syafaat menawarkan wacana keilmuan yang sangat beragam. Sebuah forum yang tidak bersifat otoritatif. Bahwa yang ditawarkan adalah apa yang benar, bukan siapa yang benar. Sehingga, siapa saja berhak untuk berbicara, siapa saja berhak untuk menyampaikan ide, gagasan, wacana, khasanah keilmuan di bidangnya masing-masing. Jamaah Maiyah yang menyimak, berdaulat penuh untuk setuju atau tidak setuju.

Kita semua melihat, bagaimana format dan tata letak panggung semua forum Maiyahan yang ada hingga hari ini. Antara audiens dan narasumber, tidak ada jarak yang membatasi. Perhatikan bagaimana tinggi panggung dengan tempat Jamaah duduk, seringkali tidak berjarak. Bahkan, tidak jarang ketika hujan turun di sebuah Forum Maiyahan, maka Jamaah meringsek mendekat ke panggung, sebagian dari mereka bahkan ikut duduk di panggung. Maka, jika ada yang tidak sepakat dengan apa yang dipaparkan oleh Narasumber, seketika itu juga ia berhak untuk membantah wacana yang disampaikan.

Salah satu credit point yang juga ditawarkan di Maiyah adalah tidak adanya pengkultusan terhadap figur seseorang. Tidak ada kewajiban untuk patuh kepada salah satu figur di Maiyah. Bahwa ada ketakdhiman kepada seseorang, tidak lebih dari ketakdhiman seorang santri kepada Kiainya. Inilah yang juga menjadi semacam kekuatan di Gambang Syafaat dan seluruh forum Maiyahan yang rutin diselenggarakan setiap bulannya di beebrapa daerah. Hadir atau tidaknya Cak Nun, Cak Fuad maupun Syeikh Nursamad Kamba sebagai Marja’ Maiyah, bukan menjadi satu acuan apakah forum akan diselenggarakan atau tidak.

Dan di Maiyah, kita melatih diri kita untuk senantiasa berpikir, bertindak, berlaku seimbang dalam segala hal. Mungkin ada saatnya di mana kita tidak mampu berdiri tepat di titik tengah keseimbangan, namun tidak lama kemudian, kita akan menyadari bahwa kita harus kembali pada posisi titik tengah itu. Karena kita menyadari bahwa kita adalah Ummatan Wasathon.

17 nampan Ambengan digenapi dengan satu tumpeng menjadi puncak perayaan ungkapan rasa syukur perjalanan ke-18 Gambang Syafaat tadi malam. Hadir di acara itu; Pakde Mus dari Lampung, Pakde Herman dari Solo, Habib Anis Sholeh dari Pati yang juga setia menemani Gambang Syafaat beberapa tahun terakhir, tidak ketinggalan Pak Ilyas dan Pak Saratri yang juga dalam beberapa tahun terakhir menjadi “orang tua” bagi para Penggiat Gambang Syafaat.

Pakde Herman, seperti biasanya membawakan dandang gulo untuk dilantunkan di Gambang Syafaat. Sebagai salah satu ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan serta kegembiraan untuk guyub bersama di Gambang Syafaat.

Di puncak acara, Pakde Mus mengungkapkan, bahwa di Maiyah ini, kita semua memiliki tujuan yang sama, yaitu menuju ridlo Allah. Di Maiyah ini, melalui wasilah “barokahe Mbah Nun”, kita menempuh perjalanan hidup dengan selalu menyapa Kanjeng Nabi Muhammad saw, karena hanya dengan itulah jaminan keamanan kita dihadapan Allah kelak akan kita dapatkan. Kata “Syafaat” yang disematkan di Gambang Syafaat bukanlah kata yang sembarangan dipilih. Kita semua ber-Maiyah ini dalam rangka gondhelan klambine Kanjeng Nabi.

Tidak mengherankan, bahwa suasana yang terbangun di Maiyah adalah suasana kekeluargaan yang sangat akrab. Meskipun baru pertama kali bertemu di Maiyah, seolah-olah kita sudah lama mengenal satu sama lain. Ikatan Al-Mutahabbiina fillah mengikat kita semua di Maiyah.

Selamat ulang tahun Gambang Syafaat. Selamat berbahagia atas 18 tahun perjalanan ini. Adik-adikmu di berbagai daerah telah belajar banyak hal darimu. Jangan pernah lupa, bahwa kita semua memiliki sedikit hak di dunia. Wabtaghiy fiima ataakallaha daarul akhiroh, walaa tansa nashiibaka minad-dunya. Kita berjuang semaksimal mungkin untuk akhirat kita kelak, karena memang itulah muara akhir perjalanan kita, meskipun demikian Allah menitipkan kepada kita sejengkal walaa tansa nashiibaka minad-dunya. (Fahmi Agustian)

Lainnya

Exit mobile version