Belajar di Universitas Maiyah
Seperti biasanya setiap berangkat ke acara Maiyahan di berbagai tempat, saya selalu berangkat dari tempat kerja di Jepara jam 3 sore. Kota demi kota selalu saya lewati, bahkan selau menempuh jarak 100 km untuk datang Maiyahan atau istilah yang sering disebut acara Sinau Bareng.
Butuh perjuangan bagi saya untuk datang Maiyahan, karena butuh konsentrasi terus saat di jalan. Tapi tidak masalah bagi saya karena sudah niat dan tidak menyurutkan langkah ini datang ke acara tersebut. Mungkin bagi JM yang lain juga banyak yang mengalami seperti yang sudah saya alami seperti itu.
Mungkin bagi saya dan JM lain sebagai anak dan cucunya Mbah Nun selalu ingin berjumpa dengan beliau, sudah seperti rasa yang melekat pada hati saya. Perjumpaan rindu bermesraan pada Mbah Nun, KiaiKanjeng dan dengan JM lainnya, yang selalu bergembira saat menyatu dalam acara Maiyahan. Apalagi setiap saya berkenalan dengan siapapun saat sudah sampai di lokasi, belum tahu nama dan asal usulnya saja sudah ditawari untuk singgah di tempat atau kos yang mereka singgahi. Itu sudah sering saya alami, meski baru kenal sudah dianggap sedulur. Kalau saya pikir kembali, menarik juga untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saya ataupun JM yang lain. Betapa indahnya nyedulur kepada yang bukan kerabat kita karena kadang mereka bisa melebihi kerabat kita sendiri.
Mengingat peristiwa yang saya alami, ada tulisan Mbah Nun di Daur 29 – Univesitas Patangpuluhan:
Sangat bahagia. Memang beginilah Universitas Patangpuluhan. Suasananya. Nuansanya. Pola interaksinya. Komposisi nilai-nilainya. Dimensi-dimensi yang baku, yang baru, yang mengejutkan, yang aneh, yang liar. Iklim Universitas Patangpuluhan menyeret setiap penghuninya untuk menemukan yang paling hidup dari kehidupan. Yang paling luas dari keluasan dan paling dalam dari kedalaman.
Universitas Patangpuluhan seakan punya ‘kedung kahuripan’ atau sumber daya hidup yang sangat sukar ditemukan di universitas yang secara resmi benar-benar universitas. Bukankah orang-orang di Pasar Patangpuluhan pun mafhum bahwa rumah hitam di belakang area pasar itu sama sekali bukan gedung Sekolah, apalagi Universitas. Melainkan tempat mangkalnya orang-orang atau entah siapa saja yang tidak jelas”.
Memang jujur tidak saya ragukan lagi di tulisan Daur tersebut, karena saya sendiri sudah merasakan semua kejadian-kejadian itu. Suasana di dalam kita ber-Maiyah memang yang saya rasakan seperti itu. Banyak kejadian-kejadian yang baru, unik dan aneh, tapi itu semua baik bagi saya untuk saya pelajari kembali.
Apalagi seperti yang sudah saya alami, setiap pulang dari Maiyahan selalu melewati jalan yang banyak hutan atau alas (dalam istilah jawanya), kendaraanpun jarang lewat. Kata orang, banyak yang takut kalau tengah malam lewat jalan yang banyak hutannya tadi. Tapi bagi saya Alhamdulillah tidak masalah. Tidak menyurutkan perjalanan saya meski selalu melewati hutan atau yang lainnya dan semua saya syukuri saja. Setelah mengikuti Maiyahan seolah-olah rintangan malah menghindar sendiri. Aneh juga kalau kita pikir kembali rintangan bisa minggir sendiri.
Kembali saya mengingat apa yang selalu Mbah Nun sampaikan di acara Sinau Bareng, memang beliau mengajak kita untuk selalu belajar bersama, beliau juga tidak merasa dirinya lebih pintar dari siapapun, beliau selalu mengajak kita memperbaiki diri kita semua yang hadir dan sinau bareng. Kepada semua JM yang hadir selalu diberi waktu tiga atau empat orang untuk bertanya kepada beliau, kepada meraka yang bertanya selalu diberi solusi yang terbaik dari Mbah Nun.
Beliau juga selalu menuturkan kepada semua para JM, jangan tergesa-gesa untuk mendapatkan berkahnya setelah acara Maiyahan seperti ini. Mungkin baru dapat tiga hari, satu bulan, ataupun beberapa bulan kemudian. Maiyah tidak melarang siapapun yang hadir, boleh saja tidak sependapat dengan beliau atau hanya sekedar hadir lalu pergi dan itu tidak masalah bagi beliau.
Kejadian seperti itu sudah sering beliau alami, beliau juga tidak ada niat membalasnya.
Tanpa syarat apa-apa. Bahkan tidak harus mencuci piring tempat mangga itu. Setelah kenyang mereka boleh langsung pulang. Boleh tidak menyapa saya. Boleh tidak berterima kasih. Juga tidak dilarang untuk bercerita kepada keluarga dan para tetangganya bahwa mangga yang tadi mereka makan adalah beli di pasar, atau dikasih orang lain yang bukan saya.
Lebih dari itu mereka tidak dihalangi untuk mengambil mangga saya sebanyak-banyaknya, tidak hanya yang dimakan di tempat. Ia tidak diawasi untuk membawa keranjang atau karung. Memasukkan mangga sebanyak-banyaknya, diangkut pergi kemudian dijual di pasar. Selama berinteraksi dengan masyarakat di pasar, para jamaah Maiyah juga sangat merdeka untuk tidak sekedar menyembunyikan asal-usul mangga jualannya itu — ia bahkan punya peluang besar untuk meng-ghibah-i saya, ngrasani, mendiskreditkan nama saya, memanipulasi, bahkan pun menjelek-jelekkan dan memfitnah.
Kreativitas dagang dan eksistensialisasi lain juga terbuka. Ambil mangga dari rumah saya dua tiga karung, kemudian dibawa ke pasar, dicampur dengan mangga yang diambil dari kebun atau rumah yang lain. Kemudian dijual dengan promosi bahwa itu adalah mangga saya.
Silahkan. Kebun saya adalah Maiyah lil’Alamin. –Daur 15 – Maiyah Lil’alamin
Memang sudah ditanamkan seperti itu di Maiyah. Maiyah juga tidak melarang siapapun untuk datang di Maiyahan. Bahkan tidak harus memakai pakaian yang bagus, peci atau kopiah dan yang lainya. Beliau sendiri juga berpakaian seperti layaknya orang yang hadir di acara tersebut. Seorang pengamen saja pernah saya liat bertanya di atas panggung, saat itu sebelum bertanya malah disuruh Mbah Nun membawakan lagu dengan gitar kentrongnya.
Di situlah menariknya Universitas Maiyah, banyak ilmu-ilmu yang tidak pernah saya dapatkan di sekolah ataupun yang lainnya. Semua orang di Maiyah adalah guru bagi kita, tidak ada saling curiga ataupun barang yang hilang. Semua mengamankan satu sama lain, memang persis apa yang selalu disampaikan Mbah Nun: “Kebun saya adalah Maiyah Lil’Alamin.”