Belajar Ala Maiyah
Seorang pemuda berpenampilan ala Korea masuk area pengajian Gambang Syafaat (25/08) dan duduk di bawah tiang bendera. Masih pukul 19.30, pengajian belum mulai. Para jamaah juga baru beberapa yang datang. Aku mendekatinya, menanyakan asalnya, juga namanya. Tapi seperti biasa, aku tidak mudah mengingat nama.
Aku masih ingat, pemuda itu mengaku berasal dari Surabaya dan sekarang tinggal bersama saudaranya di Solo. Ia sengaja meniatkan datang dari Solo ke Semarang untuk menghadiri Majlis Ilmu Gambang Syafaat. Ia sudah tahu Mbah Nun tidak terjadwal di acara ini pada malam ini. Alasan orang-orang datang ke majelis Maiyah menempuh jarak yang tidak dekat kadang-kadang tidak masuk akal bagi orang kebanyakan.
Aku lanjutkan cerita tentang pemuda berpenampilan rambut dan jaket ala Korea ini. Ia lulusan SMA, orangtuanya menyuruhnya kuliah tetapi dia tidak mau. Ia mengaku sudah kapok di kelas yang mengekangnya. Akhirnya orangtuanya mengalah dan tidak menyuruh sang anak ini untuk kuliah. Tapi Sang Ibu punya persyaratan, “Oke kamu boleh tidak melanjutkan kuliah tetapi kamu harus menghadiri acara-acaranya Cak Nun.” Begitu kata ibunya.
Anak itu menyanggupi. “Saya lebih nyaman begini Mas. Kemarin ketika Cak Nun berturut-turut di Yogya aku selalu hadir, besok beliau ke Surabaya aku juga akan ke sana.” Begitu kata pemuda itu.
Orangtua gila, pikirku. Orangtua semacam apa yang menyuruh anaknya untuk sekolah bersama Cak Nun. Aku tidak sempat ngobrol lebih jauh karena harus mengurus ini-itu menjelang acara Gambang Syafaat dimulai. Tapi sampai sekarang aku masih tercenung memikirkan peristiwa itu. Aku memikir-mikirkan apa bedanya dan apa persamaannya antara kuliah yang berbentuk kelas itu dengan kurikulum yang ketat dengan Maiyahan.
Selama ini kampus menganggap dan dianggap sebagai pusat pengembangan pengetahuan. Orang yang belajar di sana memiliki atau memosisikan dirinya dan diposisikan oleh masyarakat sebagai kaum elit yang stratanya di atas orang kebanyakan. Sampai untuk menyebut orang yang belajar saja menggunakan sebutan ‘maha’. Orang mau belajar ya di kampus, mau mengembangkan pengetahuan ya di kampus. Akumulasi pengetahuan tidak ada yang lain selain di kampus.
Kemudian hadir Maiyahan di mana semua manusia dari jenis apa saja bisa belajar dengan cara, kurikulum, metode yang dikembangkan sendiri. Gila. Yang hadir di Maiyahan bisa saja Profesor, mahasiswa, tetapi juga tukang becak, buruh bangunan, petani, membaur tidak ada sekat. Dalam forum ini tidak menutup kemungkinan profesor teraliri ilmu oleh tukang becak. Tiba-tiba Tukang Becak bertanya kepada Profesor, “Pak, saya itu mangkal di suatu tempat yang sebenarnya itu dilarang untuk mangkal. Saat ada ketertiban ya saya lari. Terus rezeki saya halal apa tidak itu Pak?” Pertanyaan yang tidak mudah dijawab oleh profesor sekalipun.
Sekarang ini hampir setiap kabupaten di Jawa memiliki forum Maiyah. Mereka mendirikan sendiri-sendiri tanpa izin siapa-siapa dengan bentuk masing-masing. Di pantura mulai dari Pemalang, Tegal, Pekalongan, Kendal, Ungaran, Demak, Kudus, Jepara, Blora, Pati, Rembang, terselenggara setiap bulan sekali.
Ada yang berkembang menjadi semacam laboratorium ilmu pengetahuan tentang Jawa. Ada juga yang menjadi semacam pusat terapi di mana setiap datang menjadi ajang curhat masalah yang terjadi di keseharian. Maiyahan yang tumbuh di mana-mana itu menunjukkan bahwa siapa saja boleh belajar. Metodenya Sinau Bareng karena tidak ada guru. Semua berkewajiban untuk belajar dan mencari untuk kemudian saling memberi.
Setiap forum Maiyahan memiliki kekhasan masing-masing. Hal itu berkembang ditentukan oleh banyak hal misalnya minat jamaahnya ke mana, atau ditentukan oleh kekhasan lokalitas Maiyahan itu diselenggarakan. Jika majelis-majelis besar sebagaimana Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Padhangmbulan, Kenduri Cinta menggunakan model panggung tidak demikian dengan Maiyahan lingkaran-lingkaran itu.
Di Ungaran, Majlis Gugur Gunung yang saya saksikan tumbuh sebagai laboratorium kebudayaan Jawa, yang kajiannya kadang lebih mendalam dibanding Program Studi Bahasa Jawa di Universitas. Di Kudus ada Sedulur Maiyah Kudus (Semak) yang konsentrasi mengangkat potensi lokal seperti menggali ilmu yang dikembangkan oleh Sastro Kartono, membahas tentang Shalawat Asnawiah dan lain-lain. Pagarnya adalah weling-nya Mbah Nun, pelajarilah leluhurmu.
Di Demak, tempat tinggalku berdiri Maiyah Kalijagan Demak. Beberapa tahun yang lalu Mbah Nun hadir di Demak, di depan Masjid Agung Demak itu Mbah Nun dawuh, Demak harus menjadi Serambi Madinah. Orang-orang pemerintah boleh lupa tetapi kami harus menjadi pasukan yang memperjuangkannya. Pertama-tama yang didiskusikan adalah Madinah itu apa? Madinah adalah kota yang dikembangkan oleh Rasulullah, suku-suku yang tadinya terpecah belah kemudian didaulatkan dengan sebuah piagam. Di Madinah tidak ada pemeritah, pemerintah adalah Allah dan aturan terdapat di Al-Qur`an dengan Nabi sebagai suri tauladan.
Bahasan-bahasan selanjutnya tentang serat-serat karya Kanjeng Sunan Kalijaga seperti Kidung Remeksa Ing Wengi, Suluk Ling Lung, Dewa Ruci, dan lain-lain. Kami sempat khawatir tersesat karena ketidakpahaman mengurai tema tersebut. Karena di antara kami tidak ada yang dalang atau ahli Jawa, dan bukan keturunan Sunan Kalijaga. Tetapi kami melangkah karena kami dipagari oleh niat yang baik. Alasan lain adalah karena kami yakin bahwa rujukan Sunan Kalijaga adalah Al-Qur`an dan sunah Rasulullah juga. Tetapi tidak jarang forum ini menjadi ajang curhat dan terapi terhadap permasalahan hidup sehari-hari, seperti apa yang ditemui di pekerjaan tadi. Dengan berbagi cerita masalah menjadi ringan ya lur sedulur.
Sedulur-sedulurku, dari Maiyah kita mengerti belajar itu adalah hak kita, siapapun kita, di mana pun kita. Dan Ibu si anak berpenampilan Korea tadi berharap anaknya tumbuh dengan model pendidikan ala Maiyah seperti ini.