Belahan-belahan Kefasikan
Yang kemudian dilakukan oleh Pemuda Waliyullah Al-Kubro adalah mengajak warga Kerajaan besar itu untuk menatap ke depan dengan ilmu dan kebijaksanaan. Ilmu adalah alat untuk waspada, dan kebijaksanaan adalah jalan keselamatan.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”. [1] (Al-Hasyr: 18-19).
Kalau tanah tak bisa lagi menumbuhkan tanaman, harus dibersihkan segala kotoran dan anasir ketidaksehatan tanah itu. Kalau daya upaya tak mencukupi untuk proses pembersihan dan penyehatan, maka dicari kemungkinan untuk menemukan tanah yang lain.
Kerajaan Besar itu diajak oleh sang Pemuda Wali untuk mewaspadai masa depan penghidupan Kerajaan itu dengan seluruh rakyatnya. Setelah berhitung segala aspeknya, sang Pemuda Wali menguakkan pintu masa depan, di mana satu-satunya kemungkinan adalah melakukan hijrah. Tak ada jalan keselamatan bagi anak cucu kecuali melakukan perpindahan besar-besaran ke wilayah bumi Allah yang lain.
Sebagian warga Kerajaan memahaminya dengan nalar. Sebagian lain mencurigainya sebagai penghancuran kepercayaan. Mereka menolak terang-terangan ajakan hijrah itu dan menuduh Sang Pemuda Wali sebagai tokoh pemusnah tradisi untuk membangun sebuah tradisi baru.
Sang Pemuda Wali berbicara tentang penyelamatan masa depan anak cucu. Para penuduhnya menggeser masalahnya ke Agama yang dipeluk Pemuda Sang Wali. Terjadilah belahan-belahan kefasikan, dengan satu “delta” besar.