CakNun.com

Barokah Stanza Ketiga

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 4 menit

Saya tidak sengaja mendapatkan sebuah berita. Bahwa tepat pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2017 di studio Lokananta Solo, Jawa Tengah, sedang dilakukan perekaman ulang lagu kebangsaan Indonesia Raya berbagai versi, termasuk versi tiga stanza, yang tentu saja jumlah liriknya  lebih panjang dari lagu Indonesia Raya yang selama ini dinyanyikan di berbagai kegiatan kenegaraan atau acara seremonial di berbagai instansi termasuk sekolah. Karena yang dinyanyikan hanya stanza pertama saja.

Kali ini proses perekaman melibatkan para musisi dari Gita Bahana Nusantara. Diberitakan juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendy sampai mewacanakan bahwa setiap siswa harus hafal Indonesia Raya sampai tiga stanza. Tidak hanya stanza pertama. Katanya isi ketiga stanza ini mencerminkan Nawa Cita Presiden. Sepertinya, darurat ya?

Tebakan saya, mengapa hanya stanza pertama yang dipilih, mungkin saja untuk keperluan pengibaran bendera Merah Putih. Kalau semua stanza dinyanyikan untuk mengiringi pengibaran sang Merah Putih, terus berapa panjang tiang bendera yang dibutuhkan? Nggak selesai-selesai itu upacara benderanya. Wong satu stanza saja sudah terasa lama upacaranya. Apalagi sampai tiga stanza. Apalagi kalau murid sekolahnya kayak zaman saya sekolah dulu. Bisa-bisa banyak yang pingsan kepanasan nanti. Ini tebakan saya sangat bisa salah lho.

Stanza itu seperti kumpulan dari larik sajak, yang menjadi satuan struktur sajak, dan terkadang mengandung rima. Rima itu pengucapan bunyi akhir dalam setiap larik sama. Misal berakhir dengan bunyi ‘u’, maka larik atau baris selanjutnya berakhir dengan bunyi ‘u’ semua. Kalau dalam tembang Macapat, mungkin hampir sama dengan ‘guru lagu’ untuk menjaga keindahan ketika dinyanyikan.

Oke kita lihat bersama-sama lirik lagu Kebangsaan Indonesia Raya, sesuai awal diciptakan oleh Wage Rudolf Soepratman tahun 1924, yaitu dengan tiga stanza dengan bagian refrain yang sama. Tentu saja dengan penyesuaian penulisan ejaan yang sekarang digunakan. Nanti juga kalian paham.

Stanza I

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri, menjaga pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku.
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah badannya, bangunlah rakyatnya,
Untuk Indonesia Raya

Reff:
Indonesia Raya……... (kalian hafallah ya)

Stanza II

Indonesia, tanah yang mulia, tanah kita yang kaya
Disanalah aku hidup untuk slama-lamanya
Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semua
Marilah kita mendoa, “Indonesia Bahagia”
Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

Reff:
Indonesia Raya…. (sama untuk bagian refrain)

Stanza III

Indonesia tanah yang suci, bagi kita di sini
Disanalah kita berdiri, menjaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri, tanah yang kucintai
Marilah kita berjanji, “Indonesia bersatu”
Slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya
Pulaunya, lautnya, semua
Majulah negerinya, majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya

Reff:…… (sudah dibilang sama lho)

Stanza ini mengalami dua kali perekaman dan dua kali peggubahan lirik. Rekaman pertama dilakukan tahun 1950 di sebuah studio di Bandar Lampung dan diaransemen oleh orang Belanda Jos Cleber. Terjadi perubahan lirik di stanza pertama dan kedua.

Menjaga Pandu Ibuku’ diganti ‘Jadi Pandu Ibuku’. Entah apa maksudnya.

Marilah kita berjanji Indonesia Bersatu’ diganti ‘Marilah kita berjanji Indonesia Abadi’. Kalau ini sepertinya karena estetika rima tadi.

Perekaman kedua dilakukan di Australia dengan konduktor oleh Adie MS, tepat ketika geger Reformasi 1998.

Begitu kabar yang saya dapat dari koran lokal beberapa hari yang lalu.

Kemudian ingatan saya melayang ke tanggal 30 November 2011. Saat itu Cak Nun dan KiaiKanjeng dengan ditemani Mbah Sudjiwo Tedjo dan beberapa orang perwakilan orang dari KPK dan aparat hukum berada dalam satu forum. Sepertinya sedang mengadakan rembug tentang negara hukum dan negara akhlak. Dalam kesempatan tersebut, Cak Nun dan KiaiKanjeng memperkenalkan kembali kepada jamaah yang hadir lagu Indonesia Raya stanza ketiga dengan komposisi digabung dengan lagu Kebyar-Kebyar milik Gombloh dan musikalisasi puisi dari pujangga Ranggawarsita.

Di kurun waktu-waktu tersebut Cak Nun dan KiaiKanjeng seolah menyampaikan kepada rakyat Indonesia betapa sangat bermakna kehadiran lagu Indonesia Raya khususnya stanza ketiga. Tentu saja dengan tidak mengenyampingkan dua stanza lainnya. Saya baru ‘ngeh’ kalau lagu Indonesia Raya punya tiga bagian stanza dari Cak Nun dan KiaiKanjeng.

Sila dicermati lagi lirik di stanza bagian ketiga. Sila temukan apa yang menarik dan diperlukan oleh bangsa Indonesia saat ini di stanza ketiga. Kalau memang kata adalah bagian penting dari doa, saya rasa sangat relevan sekali mengapa Cak Nun dan KiaiKanjeng menyoroti bahkan di stanza ketiga tersebut terus menerus diperkenalkan di forum-forum sinau bareng yang lain.

Ada gambaran betapa menyelamatkan kedaulatan sebuah bangsa di sana. Ada refleksi bahwa Indonesia adalah tanah yang suci, tanah yang tak boleh dinodai kedaulatannya oleh bangsa lain. Ada upaya saling mengamankan kondisi dan posisi keselamatan ibu pertiwi. Ada dorongan kuat untuk mencintai dengan segenap waktu, energi, materi dan ruhani yang dimiliki menjaga bangsa ini agar tetap tegak dan percaya diri dan memiliki harga diri.

Saya tidak pernah mendapatkan informasi, bagaimana seorang WR. Soepratman mendapatkan hidayah untuk membuat lagu yang sangat menggugah tersebut. Bagaimana laku beliau. Mungkinkah wangsit itu datang begitu saja? Atau itu terjadi begitu saja tanpa sengaja ketika beliau menggesek biolanya?

Yang jelas, bangsa ini mulai menata diri. Supaya generasi penerusnya tidak lantas lupa dan tidak peduli dengan sejarah kelahiran lagu kebangsaan ini. Saya tidak bisa membayangkan, kalau posisi bangsa ini menyatakan merdeka dahulu, baru kemudian bingung rembugan bikin lagu. Dan lagu Indonesia Raya ini adalah  lagu yang disetujui. Mereka kompak. Mereka tidak bersitegang. Sebagaimana saat dasar negara ini dirumuskan.

Saya tidak bisa membayangkan betapa sepinya pengibaran sang Merah Putih tanpa iringan lagu Indonesia Raya. Kalau pun pada akhirnya tetap stanza pertama yang dipilih sebagai pengiring pengibaran bendera Merah Putih karena alasan teknis upacara tertentu, setidaknya generasi putra-putri masa depan bangsa ini hafal dan paham bahwa tidak hanya satu bagian melainkan ada tiga kemungkinan bagaimana lagu kebangsaan ini dinyanyikan.

Perekaman yang kedua terjadi saat kelahiran orde Reformasi. Semoga perekaman yang kali ketiga ini sebagai tanda bahwa bangsa ini perlu lebih dalam lagi dan menengok sejauh mungkin serta menelusur keluasan-keluasan masa lalu tentang siapa sejatinya bangsa ini. Mengumpulkan kembali serpihan-serpihan semangat penyatuan. Mencatat ulang apa-apa yang dianggap usang dan mulai dilupakan. Sehingga bangsa ini tidak begitu saja tercerabut kedaulatannya. Sehingga bangsa ini kembali menjadi bangsa bermartabat tinggi.

Dan jangan lupa, kalau kita makan, barokahnya ada di bagian paling akhir dari makanan itu. Karena di situlah letak kenikmatan makan kita. Kadang bagian akhir itu awalnya memang sengaja disisih-sisihkan karena bagian itulah yang paling lezat dan sengaja pula dimakan paling belakangan. Kalau orang Jawa bilang ‘gong’nya. Siapa tahu, barokahnya lagu kebangsaan bangsa ini ada di stanza ketiga. Barokah stanza ketiga lagu Indonesia Raya.

Lainnya

Topik