Banjir Tanpa Perahu
“Kalau melihat limpahan rahmat Allah kepada manusia, kan jelas itu berkecenderungan Sorga”, Jitul meneruskan, “Tapi kalau menyaksikan keadaan manusia yang selalu bingung, cemas, panik, takut miskin, rakus kepada dunia, suka yang panas-panas, sehingga yang keluar dari mulut maupun tindakan mereka cenderung yang panas-panas – maka apa hipotesisnya kalau bukan seperti yang Allah firmankan: “maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga”. Artinya bukan sekedar Bapak Adam Ibu Hawa sudah diturun-derajatkan dari Sorga ke Dunia, tapi kehidupan semua manusia anak turunnya ini juga sudah berpindah dari iklim Sorga ke iklim Neraka”
Seger meneruskan. “Kami ketemu ayat yang mana saja, muncul sensitivitas seperti yang diomongkan Jitul itu, Pakde. Kalau membaca Nabi Yunus, kami merasa jangan-jangan Bangsa kita ini memang sedang berada di dalam perut ikan yang sempit dan pengap. Dan kami sudah selalu mewiridkan ini, tapi tidak ada sehelai rumput yang mengering, atau sehelai daun kering yang menjadi hijau: “…maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”. [1] (Al-Anbiya: 87).
“Bangsa Indonesia adalah”, Toling tak mau kalah, “Yusuf yang dicemplungkan ke dalam sumur oleh saudara-saudara kami sendiri, tanpa kunjung Allah menganugerahkan mimpi seperti: ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”. [2] (Yusuf: 4). Bangsa Indonesia adalah Ismail yang disembelih Ibrahim tanpa diganti oleh kambing. Rakyat Indonesia adalah ummat Nabi Nuh yang ditimpa banjir besar tapi bikin perahu tidak kunjung jadi, karena digerogoti dan dikorupsi”.