CakNun.com

Bangsa Golongan Sejak Hindia Belanda

Mif Irfan Bimantara
Waktu baca ± 3 menit

Riuh rendah persoalan perebutan kepemimpinan tidak lagi menarik apabila dianjurkan misalkan, saling menasehati untuk kebaikan, mencari kemanfatan atau mungkin memimpin untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Sepertinya akan sangat naif jika kondisi saat ini media cetak, media elektronik menyodorkan headline ideal seperti itu.

Model fermentasi kasus dan politik saling sandera masih terjadi. Tidak ada lagi yang boleh paling baik atau mengungguli prestasi tokoh satu dengan yang lain, tidak boleh ada pemimpin yang lebih bagus dari presiden atau paling tidak, tidak ada gubernur sebaik yang Jakarta miliki bahkan Jawa Timur, misalkan.

Struktur jabatan sebagai tolok ukur jam terbang, apakah seseorang layak untuk naik posisi di masa yang akan datang, maka menjadi bupati hingga gubernur adalah arenanya. Untuk mencapai tahap selanjutnya. Dengan memakai segala bentuk isu yang layak dijual. Orang akan memiliki kecondongan pada wilayah Se-agama, Se-suku atau setidaknya dia Melayu, Bugis, Arab, Tionghoa atau Jawa. Menarik ketika ada yang mempersoalkan bahwa faktor di atas dinilai dalam kategori cara-cara tak terpuji dan rasialis.

Indonesia; Eropa, Cina-Arab, Bumiputera-Pribumi

Merujuk mengenai hal-hal yang sebenarnya secara subtansi, merupakan pembahasan “kadaluarsa dan hambar”. Namun memancing saya untuk urun andil membahas tentang SARA khususnya golongan penduduk.

Di dalam indische staatsregeling Pasal 131 dan 163 atau jika diistilahkan, seperti UUD untuk Hindia Belanda (Nusantara) zaman Belanda masih berkuasa di Indonesia. Secara tegas UUD itu membedakan bangsa pendatang dan asli di Nusantara saat itu, yang masih digunakan hingga sekarang. Disebut Bumiputera yang di dalamnya ada yang namanya Pribumi. Faktanya bahwa keberadaan konsep pembedaan Suku, Ras dan Agama masih dilegalkan.

Hal yang menjadi sumir di saat over konsumsi informasi ini, seharusnya hanya menjadi pembahasan hukum dan kenegaraan justru lebih dominan dijadikan komoditas penyanderaan politik.

Tampaknya membahas gubernur lama seorang keturunan Tionghoa lebih “seksi”. Kemudian membahas gubernur baru keturunan bangsa Arab lebih menarik. Juga menjadikan persoalan kalau Tionghoa itu dianggap tidak identik Muslim, sedangkan bangsa Arab itu pasti muslim. Khayalan tentang seluruh kepemimpinan berbau Arab itu sudah pasti baik, kemudian jika Ras yang lain memimpin sudah pasti buruk. Doktrin cara berpikir seperti ini, sepanjang yang saya pelajari di dunia pendidikan dan dunia nyata di masyarakat, kategorinya adalah dihindari atau minimal harus tepo seliro.  Nuwun sewu mbok ya lebih baik tahu sama tahu saja daripada untuk dibahas. Bagi orang desa juga sudah lulus urusan bagaimana urusan identitas ini. Setidaknya itu pesan Ibu saya sejak dini.

Jika dibahas secara substansi, ada 3 penggolongan penduduk di Indonesia saat ini, walau terus mendapat kritik dan perdebatan, adalah; golongan Eropa, golongan Timur asing (India, Arab, Cina, Pakistan dsb), golongan Bumiputera yaitu Pribumi. Secara tertulis dan diakui dalam Hukum, bahwa memang Negara dan Bangsa Indonesia masih melegalkan konsep SARA. Hal ini tentu berakibat pada struktur sosial di masyarakat, keluarga, bisnis, ibadah dan hubungan emosional.

Fermentasi Kasus, Korban Golongan

Jika ada seseorang yang dianggap paling bersih, cerdas, pro-rakyat, Muslim apalagi Jawa dan Populer, maka itu merupakan sesuatu yang paling berbahaya bagi rezim yang sedang berkuasa. Setidaknya akan menyulitkan dalam kompetisi memperebutkan kursi presiden, gubernur atau bupati. Itu yang terjadi saat ini. Maka harus ada penetralnya, dengan mencari celah adakah kasus yang pernah dilakukan, minimal bisa dijadikan kasus. Jika tidak maka harus disandera dengan komitmen melalui partai politik dan lain sebagainya.

Fermentasi aib, isu dan sekiranya sebuah kasus hukum yang menjerat seseorang akan dilakukan yang diprediksi akan menjadi bagian yang merepotkan di kemudian hari. Menjadi jurus yang jitu untuk digunakan di waktu yang genting saat injury time. Maka harus ada golongan yang akan meruntuhkan lawan seketika.

Maka semua pemimpin yang muncul harus memiliki celah supaya suatu saat dapat diajak berkompromi. Pola untuk melawan model ini biasanya dengan “saling sandera”. Dengan mengumpulkan sumber daya yang ada, untuk melakukan perlawanan balik terhadap Fermentasi Kasus. Dengan mendapatkan bukti-bukti aib lawan maka akan menciptakan status quo. Di sinilah saling menahan sandera terjadi, hal ini menjadi pilihan menarik.

Begitu seterusnya sehingga sampai dengan saat ini, masyarakat mulai muak dengan yang namanya Pilkada. Di mana kurang lebih 400 kepala daerah terjerat korupsi dan saat ini, lebih dari 900 kepala desa tersangkut kasus dana desa. Disusul juga, dengan mulai cerdasnya orang tua di daerah dengan fenomena calon bupati atau walikota tunggal.

Persoalan ini tentu sangat mencederai semangat kepemimpinan yang kita impikan selama ini. Menunggu sosok yang amanah lahir dan bathin. Seorang ksatria yang bisa adil dan bijaksana. Memikirkan apa yang menjadi persoalan Ummat dan masyarakat, yang memiliki misi untuk mewarnai bahwa tidak ada orang yang lebih baik.

Problem konflik kepentingan yang selalu berujung pada persoalan SARA, akan meningkat seiring dengan besarnya posisi yang akan dikejar. Gubernur atau presiden misalkan, akan berbicara bahwa Rahmat yang diberikan Tuhan untuk bangsa kita yang memang majemuk, beraneka warna kulit dan suku, banyaknya agama dan kepercayaan. Ini semua harus menjadi bahan untuk dikampanyekan padahal itu tema biasa, lumrah dan anggaplah sebagai sajian sehari-hari.

Sesungguhnya tidak perlu membangun suasana yang penuh ketegangan dan kebencian, untuk menyebut anda itu Cina atau Arab, menyebut anda Jawa itu pribumi atau Bugis dan Madura itu bumiputera, yang berujung diterjemahkan sebagai isyarat permusuhan. Tidak perlu canggung bahwa kemajemukan itu semestinya diperlakukan dan disamakan saja seperti saat bertamu kemudian kita ditawari kopi atau teh dan kalau ada ubi yang disediakan di atas meja saat jagongan.

Lainnya