Balita di Dunia
Wajah Cak Sot tiba-tiba tersenyum. Tak sengaja mereka memperhatikannya. Apakah senyum itu terbit dari “sudah disebut Ulama oleh ummat tapi rakus harta dan penjilat penguasa”?
Ternyata tidak. “Coba kalian perhatikan”, katanya, “kata Guru Ngaji saya zaman dulu, kata ‘inna’ berarti ‘sesungguhnya’. Kalau ‘innama’ memaksudkan penekanan terhadap yang ditunjuk. Pertanyaannya: apakah sudah ada yang disebut Ulama dulu, dengan kriteria yang entah benar entah salah di kalangan ummatnya, kemudian firman itu menunjuk Ulama yang sudah ada itu. Ataukah Allah memberi definisi tentang Ulama, dan Kaum Muslimin terus menerus mengamati dan mengidentifikasi siapa saja yang pantas disebut Ulama. Bukan berdasarkan pakai surban peci gamis sarung, tapi berdasarkan cuaca kepribadiannya yang diamati oleh masyarakat: apakah ia ‘yakhsyallah’ atau tidak”
Tarmihim mencoba mencari ketegasan: “Innama itu penegasan yang menitikberatkan ke identitas Ulamanya atau kualitas yakhsyallah–nya?”. Sundusin merespons: “Salah satu ciri kita semua ini adalah pemalas. Hampir tidak ada upaya sejarah untuk menemukan inti kebenaran”
“Kita suka makan buah, bahkan rakus”, lanjut Brakodin, “tapi tidak punya kebiasaan untuk mengenali pohonnya, apalagi akarnya. Kalau makan mangga, peloknya juga pasti dibuang”. Dan Tarmihim menyahut lagi, “Membuang pelok adalah kedhaliman ganda. Pertama tidak mempedulikan masa silam. Kedua, tidak menghargai masa depan. Tidak investatif dari belakang maupun ke depan”
Markesot tertawa. “Wajar kalau bangsa atau kaum lain menjajah kita dan mempermainkan kita. Mereka berpikir 300 tahun ke belakang dan ke depan, sedangkan kita berpikir kepastian makan hari ini dan mengejar laba eceran besok pagi. Bangsa dan Ummat kita ini bagaikan Balita di tengah masyarakat Dunia”.