Bainal Hisab wal Hisap
“Begitu mereka bekerja di Negeri orang itu, Paspor mereka dipegang oleh Lembaga Tenaga Kerja yang mengurusi proses sehingga mereka bekerja di situ. Gaji mereka sepenuhnya diambil oleh Lembaga itu sampai jangka waktu yang menurut para Mujahidin ini terlalu rakus, mengandung pemerasan dan penghisapan”, Brakodin bercerita.
“Setiap pekerjaan kan memang dilaksanakan dengan transaksi, setiap transaksi ada aturan hisab atau hitungannya”, kata Junit.
“Tetapi hisab jangan sampai menjadi hisap….”, celetuk Jitul, “huruf ‘b’ dengan ‘p’ beda Iqra`nya”
“Kaum muda Mujahidin itu mendapat rizki yang sangat lumayan di Negeri orang, bisa lima sampai sepuluh kali lipat dibanding pendapatan jika mereka mengerjakan hal yang sama di Negara mereka sendiri”
“Itulah sebabnya mereka disebut Pahlawan Devisa”, sahut Sundusin.
“Itulah sebabnya juga mereka diperas, dihisap, diporoti, dilintahi, baik di Penampungan, maupun setiap mereka pulang ke tanah air. Baik oleh sejumlah petugas di Bandara, terkadang juga di kampungnya sendiri”
“Maaf ya Pakde”, Junit memotong, “Kalau hal itu membuat saya jadi ingat firman Tuhan ‘dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” [1] (Al-Baqarah: 188), apakah saya menyalahi aturan dan prinsip Tafsir?”
Tarmihim tertawa. “Pakdemu Brakodin itu baca Turutan saja ndak bisa-bisa sampai setua itu. Jangan ditanya soal Tafsir”
“Yang jelas anak-anak muda Mujahidin itu memilih tinggal di Negeri orang dalam posisi fisabilillah, karena kalau mereka pulang, sangat sulit prosesnya untuk kembali lagi bekerja di sana. Apalagi meski pekerja gelap, mereka dibutuhkan dan dilindungi oleh perusahaan-perusahaannya”.