Auto-Adzab
Mbah Markesot itu seperti bakteri kecil yang menelusup-nelusup ke ruang-ruang sangat kecil dan sangat mustahil di dalam jiwa manusia. Seperti virus yang amat sangat mikro, yang merasuk ke dalam yang terlembut dari kehidupan internal maupun eksternal manusia dan masyarakat. Di dalam kesempitan yang amat sempit itu bahkan Mbah Markesot bisa merenggangkannya untuk menciptakan ruang, dan ruang itu ia pakai untuk mengambil jarak, sehingga segala sesuatu di dalam kesempitan itu bisa di-ilmu-inya.
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut terhadap apa yang Ia kehendaki. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” [1] (Yusuf: 100). Kata ‘lembut’ atau ‘kelembutan’ biasanya selalu diasosiasikan hanya pada peta silaturahmi manusia, perhubungan sosial dan tata budaya. Sangat jarang diproyeksikan ke konteks makro mikro, besar kecil, gunung raksasa dan batu kerikil kecil serta pasir yang lembut. Kemudian imajinasi menuju yang terlembut dari pasir, sampai ke tingkat lembut yang teknologi manusia mampu mencapainya.
Artinya, lembut dan kelembutan hanya dibayangkan sebagai urusan etika dan akhlak antar manusia dan makhluk. Kurang ditemukan keterkaitannya dengan ilmu, fakta fisika, dan kekayaan ciptaan Allah. Maka kebiasaan pikiran dan perasaan manusia untuk lebih terlatih berurusan dengan kasar dan keras, membuat mereka bernafsu terhadap pahala dan ambisius terhadap adzab. Sementara Mbah Sot karena melatih kelembutan dalam segala spektrum dan komprehensi konteks-konteks: menemukan bahwa soal adzab itu sudah sejak awal dipersiapkan oleh Allah.
Auto-adzab. Autopiloting. Kausalitas baik buruk, sebab akibat balasan dan pahala, surga dan neraka, justru merupakan rumus dasar, primer dan default-nya konsep penciptaan Allah atas kehidupan. Adzab itu dengan sendirinya berlangsung, meskipun seandainya Allah, sekali lagi: seandainya – Allah tidur atau lupa.